“Benarkah semua laki-laki memang sepertimu?”

KALAU kecewa telah menghantam gadis-gadis kota, mereka akan percaya pada kebencian, seperti memaki lelaki, atau mengutuk kenangan dengan air mata, seolah-olah lelaki yang telah berkhianat memang pantas disumpahi. Tapi lebih pantas manakah, lelaki yang merana atau perempuan yang terluka?

Ernia punya jawaban atas hal ini. Bertahun-tahun menahan luka dalam dada, menyaksikan matahari terbit dan tenggelam dengan cepat, saat beberapa lelaki berdinas menggendong anak-anak mereka bersama istri-istri tersayang, anak-anak kecil yang girang bermain sepeda, dan anak-anak gadis yang asyik berbicara dengan boneka-boneka lucunya. Seorang diri seperti Ernia teramat pedih menyaksikan pemandangan seperti itu. Penyesalan atau kekecewaan barangkali awal dari semua monografi sunyi ini.

***

Ernia barangkali gadis remaja paling beruntung saat gadis-gadis yang lain masih dilarang mengenal lelaki. Di usia lima belas tahun ia sudah menikah, lebih tepatnya dinikahi. Lelaki bertubuh tegap dari selatan Antromero mempersuntingnya saat ia masih senang-senangnya berbicara dengan boneka.

Barangkali, lelaki berkumis yang lama bermukim di pesisir Playa de los Cristales ini tahu betul saat yang tepat menikahi seorang gadis. Bukankah begitu, lelaki memang tahu seorang gadis remaja mungkin lebih mudah diajak percaya, daripada perempuan dewasa yang mafhum semua hal tentang kecemburuan.

“Kamu itu beruntung, mengenal lelaki gagah seperti saya yang benar-benar mencintaimu,” kata Cortez, dalam suatu perbincangan di tepi pantai saat senja mulai condong ke arah barat.

Gadis remaja berambut ikal itu hanya bisa tersenyum. Barangkali, anak perempuan memang ditakdirkan untuk tersenyum setiap kali mendapat rayuan laki-laki dewasa. Orang-orang di Antromero memang mafhum, Cortez adalah laki-laki yang paling suka memuji perempuan, bahkan pujian-pujiannya sudah diakui di seantero negeri itu.

Pemuda di pinggiran kota Galesia juga sudah mengenalnya dan mungkin ia memang laki-laki yang paling tersohor. Gadis-gadis remaja, selain Ernia memang banyak yang selalu percaya kata-katanya.

Saat malam jatuh, senar gitar sudah dipetik pelan-pelan, dan apabila gelas bir sudah beradu, orang-orang sering menyaksikan Cortez pulang-pergi membopong gadis-gadis secara bergantian.

Di sebuah sudut kota, di antara bangunan flat, gadis-gadis banyak memeluk kakinya sendiri, menjatuhkan air mata, setelah sadar laki-laki bernama Cortez baru saja membawa mereka keluar dari kamar tanpa daya seperti baru saja percaya pada lelaki yang tidak harus dipercaya.

“Tapi kamu harus yakin, aku tetap mencintaimu.” Begitu Cortez sering berujar saat melihat Ernia mulai mengeluarkan air dari matanya. Ernia memang sering mendengar cerita-cerita tentang Cortez, tapi entah, perasaan cinta selalu mengalahkan segalanya.

Ernia memang mencintai Cortez, meski gadis kecil itu belum banyak mengerti bagaimana menggenggam tangan laki-laki atau semacam memeluk mereka dari belakang. Ernia hanya tahu, bila ia mendengar tentang Cortez, tentang Cortez dengan beberapa perempuan dewasa, ia hanya bisa memegang dadanya dan membiarkan air berjatuhan dari matanya dengan lirih, tanpa suara, dan memang tanpa suara.

“Istriku kamu tetap yang terbaik. Semua yang kamu dengar itu tidak benar. Wajar aku kan laki-laki gagah.” Cortez selalu punya alasan dan kata-kata setiap kali melihat Ernia mulai murung. Tapi siapa yang tahu hati perempuan, air mata yang sudah meleleh pun mereka masih bisa tersenyum. Meski sesak, meski dadanya sesak.

“Bagaimana kalau kita berlibur?”

“Ke mana?” “

“Di tanah kelahiranku. Playa de los Cristales.”

“Kapan?”

“Minggu depan. Bagaimana?”

“Hmmm …”

“Akan kuperlihatkan kau senja dan pantai yang indah. Di sana, anak-anak kecil akan menghapus kegalauannmu, Sayang.”

“Tapi-”

“Sudahlah. Sini, Sayang.” Cortez menarik tangan istrinya dan membiarkan ia masuk dalam pelukannya. “Semua hal akan terasa indah kalau kita bersama. Mau, ya, Sayang?”

“Baiklah. Tapi kita tidak boleh lama, masih banyak hal yang harus aku selesaikan di Galesia.”

“Apa itu?”

“Ada banyak kesedihan yang harus diselesaikan di sini.”

“Maksudmu?” Cortez sontak memegang kepala Ernia dan menarik dekat dengan bibirnya. Ia mencium dahi istrinya berkali-kali, sungguh berkali-kali. Ernia tersenyum dan ia hanya tahu tersenyum.

***

Waktu selalu beranjak berserta kenangan, saat orang-orang baru terbangun dari kesedihan, waktu sudah melaju dalam satu titik yang tak tertebak. Ketika beberapa orang baru saja bertengkar dengan kekasihnya, lalu pisah, lalu nikah, lalu pisah lagi, dan entah mengapa yang lain begitu kuat memilih bertahan dengan wajah-wajah lama meski kekecewaan semacam sesuatu yang berulang dalam hidup.

Ernia memahami itu dan dirinya menyadari, dalam suatu waktu, suara-suara yang ia dengar dari tetangga dan beberapa pemuda di pojok kota, memanglah benar. Ini semua bermula saat sepulang dari liburan yang menyenangkan, meskipun ada beberapa hal yang tertahan dalam dada Ernia.

“Dengarlah dulu, Ernia.” Kali ini Cortez tak menyebut ‘Sayang’, barangkali pertengkaran membuat seseorang tak menahan diri. Dalam banyak perbincangan, Cortez memang selalu menyebut atau memanggil ‘Sayang’, namun seringkali saat emosi memuncak di kepala, Cortez bahkan menyebut dengan sebutan nama yang terdengar keras, bahkan dalam keadaan yang tak bisa dibendung lagi, Cortez sering membentak dan mengganti nama ‘Sayang’ dengan nama-nama hewan atau serupa cacian.

Ernia mungkin gadis remaja tapi hatinya tak sekecil boneka yang sering ia bopong bila keluar rumah atau ketika Ernia sedang menenangkan dirinya di kamar. Hatinya dewasa. Ia tahu, suaminya pemarah, sekaligus pemuji, lebih tepatnya pemarah pada Ernia, tapi pemuji pada semua perempuan.

“Begini, Ernia. Jadi Adonia itu teman baikku. Apa yang kau lihat di flat kemarin itu tidak seperti yang kau curigai. Dia teman kerjaku. Katanya dia mau membelikan rumah untuk kita berdua.” Cortez bila sudah bicara begitu, segalanya akan luluh. Apalagi Ernia mengerti, selama setahun ini, mereka hanya tinggal di kamar kontrakan.

“Tapi, pekan depan Adonia ajak aku ke Alhambra.”

“Ke Alhambra? Apa aku tidak salah dengar?”

“Katanya ada proyek besar di sana. Nanti kalau sudah kembali dia janjikan rumah untuk kita.”

“Terserah.” Ernia menyahut dan menundukkan kepalanya. Entah mengapa perempuan kalau sudah cemberut mereka hanya bisa menjawab seperti itu.

Cortez mendekat dan memegang jemarinya. “Sini …” Ernia luluh dan masuk dalam pelukan Cortez.

Barangkali benar, pelukan kadang dapat membayar kesedihan, begitu juga kekecewaan, meskipun teramat sesak menahannya. Ernia mafhum, kegalauan yang ia rasakan hanya dapat dijelaskan dalam sunyi dan dirinya berjanji tidak akan pernah berkata-kata di depan suaminya.

Pernah ketika ia mendengar kabar tentang Adonia yang genit di sebuah pesta kecil di pesisir La Barrosa bersama suaminya, dirinya malah memilih menghabiskan banyak waktu di dalam kamar. Seperti gadis-gadis kota, hanya bisa berlari, menuju kamar, meloncat ke atas tempat tidur, dan memeluk bantal sekuat tenaga, seolah-olah dengan memeluk bantal seperti itu dapat menghapus kesedihannya.

Tapi apa daya, sekuat apapun memeluk bantal, Cortez tetap memilih pergi bersama Adonia. Kali ini menuju Alhambra, sebuah kompleks istana dihiasi taman-taman buatan bertengger di atas sebuah bukit dengan puncak bersalju di pegunungan Sierra Nevada.

Ernia tahu, keberangkatannya hanya untuk pekerjaan. Bisnis, katanya. Namun, pada senja yang memerah, di pinggiran kota Galesia, Ernia baru membaca sebuah surat yang diberikan Cortez melalui temannya.

“Aku rasa Adonia bisa memberikan aku anak yang manis dan gagah. Aku ingin punya anak, Ernia. Aku ingin punya anak …”

Angis berembus dan senja perlahan-lahan menenggelamkan dirinya, sontak orang-orang di hadapannya seperti patung, suara-suara kenalpot dan mobil menjadi senyap, sebuah pesawat dan beberapa burung di atasnya tiba-tiba tak bergerak, entah kesedihan menghentikan segalanya. Hening. Ernia menengadah dan membiarkan air menetes dari matanya dengan pelan, sangat pelan lalu jatuh ke tanah seperti daun-daun yang berjatuhan di sudut kota Galesia.

Gadis kecil ini berusaha menguatkan dirinya. Dirinya memegang perutnya yang kecil dan seperti berbicara, dan memang benar, Ernia seperti berbicara dengan seseorang dalam perutnya.

“Nak, mungkin Ayah belum tahu kabar tentangmu.” (*)

 

Halmahera, Mei 2016.

Cerpen ini sudah pernah diterbitkan Malut Post.

___

Rajif Duchlun, lahir dan besar di Halmahera. Bekerja sebagai jurnalis dan menyukai karya-karya fiksi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *