Ternate, HN – Panwaslu Kecamatan Pulau Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara, pada Rabu, 15 November 2023 menggelar sosialisasi anti politik uang, SARA, ujaran kebencian/hoaks pada masa kampanye Pemilu 2024.

Dalam sosialisasi yang dipandu Ketua Panwaslu Pulau Hiri, Junaidi Dahlan ini menghadirkan pembicara di antaranya akademisi Andri Idrus, dan pemimpin redaksi halmaheranesia.com, Rajif Duchlun.

Kordiv Pengawasan Panwaslu Pulau Hiri, Jumhar Malik, mengatakan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengantisipasi berita bohong dan politik uang di tengah masyarakat.

“Kami ingin memastikan Pemilu 2024 itu berjalan dengan aman, damai, dan tentram. Hal itu karena politik uang ini, pengalaman di beberapa Pemilu sebelumnya sangat berbahaya,” ucap Jumhar.

Ia mengaku, sosialisasi ini tidak hanya berlangsung di Pulau Hiri. Namun juga dilakukan di delapan kecamatan di wilayah Kota Ternate.

“Sosialisasi ini untuk mewujudkan demokrasi yang jujur dan adil di Pemilu 2024 nanti,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, akademisi hukum, Andri Idrus mengatakan, politik hukum pidana memiliki hubungan dengan elemen-elemen dari suatu tindak pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan, baik itu elemen perbuatan maupun elemen kesalahan.

“Kaitannya dengan politik hukum pengaturan tindak pidana politik uang dalam pemilu, maka akan dilihat perumusan perbuatannya, perumusan sanksi pidananya hingga proses hukum yang tersedia ketika terjadi tindak pidana politik uang dalam UU pemilu,” ucap Andri.

Selain itu, kata dia, bagi penyebar ujaran kebencian akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi danTransaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

“Perbuatan yang dilarang dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan,” ucapnya.

Ia mengaku, ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

“Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil,” paparnya.

Sementara itu, Rajif Duchlun menyebutkan penting bagi penyelenggara maupun masyakarat untuk mengenali disinformasi dan misinformasi pada saat Pemilu 2024.

“Disinformasi dan misinformasi sama-sama informasi yang tidak valid dan tak sesuai dengan kenyataan, namun perbedaannya berada pada tujuan,” ucap Rajif.

Ia menjelaskan, misinformasi ini ketika seseorang ingin menyebarkan informasi, tanpa sadar ternyata apa yang disebarkannya adalah berita bohong alias hoaks. Sedangkan disinformasi jika seseorang dengan sengaja menyebar dan memproduksi informasi yang keliru, dengan tujuan agar fakta yang sebenarnya tertutupi, dan membuat publik jadi tidak mengetahui kebenaran aslinya.

“Penggunaan teknologi termutakhir, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan (voice changer) juga kini diwaspadai karena sudah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, terutama untuk menyalurkan atau memproduksi informasi bohong,” ungkapnya.

Menurutnya, terbukanya ruang maya mendorong hadirnya informasi yang bukan lagi berdasarkan esensi, melainkan eksistensi. Sifat serba cepat yang ditawarkan pun turut mendorong masyarakat menjadi tidak kritis dan irasional dalam mencerna informasi.

“Kehadiran buzzer dan influencer dalam tahun-tahun politik pun kerap dipakai sebagai saluran dan alat untuk memproduksi informasi. Era post-truth menandai adanya jalan mulus bagi buzzer maupun influencer untuk mendistribusi informasi ke ruang maya,” jelasnya.

Sehingga itu, Rajif meminta agar siapapun untuk tidak terburu-buru percaya setiap informasi yang didapatkan melalui internet, baik Facebook, Tiktok, hingga aplikasi media sosial lainnya.

“Pastikan tidak mudah cepat menyebarkan informasi yang masih diragukan, cek betul-betul sumber informasinya, siapa penyebarnya, jelas kah akunnya, medianya, dan semua latar dari informasi itu berasal. Jika berkendala, masyarakat bisa menghubungi Panwaslu untuk meminta petunjuk jika mendapat informasi yang bisa menimbulkan kekacauan,” pungkas Rajif.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *