Jakarta, HN – Warga Buli, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato pada Selasa, 14 November 2023, menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta.

Said Marsaoly, warga Buli melalui siaran persnya meminta Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar agar tidak mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT Priven Lestari.

Ia mendesak untuk melakukan evaluasi dan mencabut izin Lingkungan PT Priven Lestari, serta melakukan penegakan hukum atas operasi PT Priven Lestari yang mulai membangun jalan tambang (hauling) di kawasan hutan.

“Menuntut Menteri ESDM, Arifin Tasrif dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia agar segera mengevaluasi dan mencabut izin tambang PT Priven Lestari,” tulis siaran pers tersebut.

Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM, Muh Jamil, menjelaskan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di Halmahera diperparah dengan rencana penambangan nikel di Gunung Wato-wato oleh PT Priven Lestari.

“Gunung Watowato ini adalah satu-satunya sumber air bagi hampir 20 ribu warga di Kecamatan Maba. Sumber air yang sama juga digunakan oleh warga di Subaim, Kecamatan Wasile, salah satu lumbung pangan (padi) terpenting di Maluku Utara,” ucap Muh Jamil.

Ia menyebutkan, di Gunung Wato-wato pula terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2021 yang memilki fungsi sebagai wilayah resapan air dan fungsi esensial lainnya.

Dari kawasan hutan Watowato ini pula, kata dia, terdapat lahan pertanian dan perkebunan warga yang ditanami pala, cengkih, dan nanas. Semua itu adalah sumber utama perekonomian warga setempat.

“Kini, Gunung Wato-wato yang esensial ini terancam dibongkar, salah satu modusnya dengan mengotak-atik RTRW Kabupaten Halmahera Timur untuk memasukan ruang tambang,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya menduga ada upaya kerja sama antara PT Priven Lestari dan Pemda Haltim, serta KLHK yang berencana melepas status kawasan hutan itu dengan skema pemberian IPPKH untuk perusahaan.

“Di saat yang sama, gelombang penolakan warga justru diabaikan, bahkan ada upaya mengkriminalisasi warga menggunakan tangan kepolisian. Hal ini ditandai dengan munculnya surat panggilan dari polisi terhadap tiga belas warga Kecamatan Maba yang menolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan mengada-ada, yakni penganiayaan, pengancaman, dan pengerusakan,” pungkasnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *