Gemercik air mengalir sepanjang irigasi, berkelok mengikuti hamparan sawah. Satu dua traktor terpakir. Hanya keheningan yang terasa dan suara angin yang menyapu pepohonan di bawah pegunungan kawasan Subaim, Halmahera Timur.

“Tapi debit air memang sudah mulai mengurang,” ucap Achmad Suwarno (63), seorang petani hortikultura yang sebelumnya adalah petani sawah.

Achmad ditemui halmaheranesia pada Minggu, 8 Oktober 2023, saat sedang sibuk memanen lemon cui di kebunnya. Ia memang memilliki kebun di Desa Dakaino, Kecamatan Wasile Timur, Kabupaten Halmahera Timur. Luas kebun lemon cui miliknya hanya setengah hektar atau 5.000 meter persegi.

Hamparan pohon lemonnya tumbuh beraturan di atas bekas lahan sawah. Di atas lahannya, juga tumbuh satu dua pohon nangka dan sebuah saung kecil sebagai tempat berteduh.

Tak jauh dari kebunnya, ada beberapa bidang sawah yang baru saja ditanami padi. Tak banyak. Pada bidang yang lain, tanahnya bagai retak rambut, dan terlihat satu dua traktor tak terurus seperti besi tua.

Siang itu, ia duduk di samping istrinya dan bercerita mengapa memilih berganti jenis tanaman, dari padi sawah ke lemon cui. Suaranya pelan, tapi sorot matanya begitu kuat.

“Sudah lama, mulai ini (lahan sekitar) dibeli perusahaan, saya sudah tidak bisa menyawah,” kata Achmad, sambil menunjuk jalan hauling perusahaan nikel yang berada tepat di sisi kebunnya.

Lahannya ternyata tak hanya itu. Ia memiliki satu lahan lagi yang berada di sebelah jalan perusahaan. Namun, lahan sawah tersebut sudah bongkor, mengering.

Jalan perusahaan memang membelah kawasan sawah. PT Indo Bumi Nickel (IBN) membebaskan kawasan sawah tersebut sejak tahun 2009 dan baru mulai membuka jalan pada awal tahun 2023.

Aktivitas perusahaan sempat terhenti pada tahun 2014 karena adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba.

Undang-Undang tersebut mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah.

Pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT IBN, perusahaan ini beraktivitas dari tahun 2009 sampai 2029 dengan tahapan kegiatan adalah operasi produksi, dan luas lahan mencapai 2.117 hektar. Saat ini, kawasan IUP belum dibuka dan baru jalan hauling yang dikerjakan.

Kawasan perusahaan ini berdampak untuk empat desa, yakni Desa Dakaino dan Rawamangun, Kecamatan Wasile Timur, serta Desa Mekarsari dan Gulapapo, Kecamatan Wasile.

Dua kecamatan ini dikenal sebagai wilayah Subaim atau kawasan transmigrasi dari Pulau Jawa yang sudah menetap sejak tahun 1982. Dari tiga desa tersebut, hanya Gulapapo yang tak punya lahan sawah.

Semenjak pembebasan jalan oleh PT IBN, Achmad beserta petani lain di kawasan tersebut sudah tak bisa lagi menggarap sawah. Lalu ketika jalan perusahaan mulai dibuka, satu aliran bendungan kecil di Desa Dakaino terputus.

“Jadi jalan (perusahaan) kan sudah tepat di tengah-tengah (sawah), jadi ada bendungan kecil yang tidak bisa ke sana, makanya ditutup sama yang punya lahan. Jadi sawah yang sebelah sana sudah tidak bisa lagi digarap,” ungkapnya.

Benar saja, saat melihat langsung kondisi bendungan, ada aliran yang sudah ditutup. Tersisa satu aliran kecil. Debit airnya pun tak banyak. Tak jauh dari situ, sekitar 100 meter, ada aktivitas alat berat perusahaan yang bekerja di area jalur air yang mengalir ke bendungan tersebut.

Bendungan kecil di bekas lahan sawah yang sudah ditutup di sisi sebelah. Penutupan bendungan karena adanya pembukaan jalan hauling PT IBN. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

Selain itu, pada tahun 2009, jadwal tanam padi mulai terganggu. Hasil panen pun tak lagi menggembirakan. Biaya pengeluaran lebih besar, ketimbang pendapatan dari hasil panen.

Mulai tahun itu, petani perlahan mengganti lahan sawah mereka dengan tanaman hortikultura dan dimanfaatkan untuk ternak sapi. Sebagian meninggalkan lahan dan memilih menjadi pekerja bangunan. Sebagiannya lagi masih bertahan, meski tak banyak.

Menurut Achmad, jadwal tanam yang tidak serentak membuat tanaman padi mudah diserang hama.

“Kalau padi tidak ditanam secara serentak, itu percuma, sama dengan gak panen,” katanya.

Produksi Padi Menurun

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Halmahera Timur 2021-2025 menyebutkan, bahwa Halmahera Timur merupakan wilayah di Provinsi Maluku Utara dengan lahan pertanian tanaman pangan terluas, terutama padi sawah.

Namun, cerita Achmad akan memberikan kenyataan lain semenjak banyaknya petani sawah yang beralih jenis tanaman dan profesi pekerjaan.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Halmahera Timur, lima tahun lalu atau 2018, jumlah produksi padi sawah di Halmahera Timur mencapai 35,399 ton. Jumlah ini paling banyak disumbang oleh dua kecamatan, yakni Wasile dan Wasile Timur. Pada tahun itu, Wasile menyumbang 14,384 ton, sementara Wasile Timur 14,908 ton. Sisanya dari Wasile Selatan 1,440 ton, Maba Tengah 3,123 ton, Maba Utara 1,544 ton.

Pada tahun 2019 produksi padi sawah di Halmahera Timur mencapai 24,789. Wasile menyumbang 9,869 ton, sementara Wasile Timur 10,223 ton. Sisanya dari Wasile Selatan 972 ton, Maba Tengah 2,316 ton, Maba Utara 1,410 ton.

Sementara pada tahun 2020 hanya mencapai 10,943 ton. Wasile sebanyak 4,358 ton, Wasile Timur 5,754 ton, Wasile Selatan 306 ton, Maba Tengah 375 ton, Maba Utara 150 ton. Pada tahun 2021 malah merosot menjadi 9,471,5 ton. Wasile 4,550 ton, Wasile Timur 3,881,5 ton, Wasile Selatan 18 ton, Maba Tengah 186 ton, Maba Utara 45 ton.

Jumlah itu menurun drastis dengan tahun 2022 atau setelah lima tahun berlalu. Produksi padi sawah di Halmahera Timur pada 2022 hanya mencapai 10,362 ton. Wasile menyumbang 5,495 ton, dan Wasile Timur sebanyak 3,598 ton. Sisanya berasal dari Maba Tengah 435 ton, Maba Utara 834 ton. Artinya sejak lima tahun terakhir, Halmahera Timur kehilangan padi sawah kisaran 25.000 ton lebih.

Tiga desa terdampak PT IBN, seperti Desa Mekarsari memiliki luas lahan baku sawah 606 hektar, Dakaino 346 hektar, dan Rawamangun 275 hektar. Data luas sawah ini tercatat tahun 2019 pada Dinas Pertanian Halmahera Timur. Luas kawasan tersebut sebagian besar beralih jenis tanaman.

Namun, informasi yang didapatkan dari Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Wasile Timur menyebutkan, satu tahun terakhir dari luas sawah yang ada di Dakaino, tersisa 10 orang saja yang menggarap sawah. Sementara Rawamangun hanya satu orang. Rata-rata satu hektar sawah dikelola oleh satu petani.

Sedangkan dari BPP Kecamatan Wasile mencatat, di Desa Mekarsari sendiri masih memiliki lahan aktif seluas 310 hektar. Artinya, masih ada sekitar 300-an petani yang menggarap sawah di desa tersebut.

Sebagian dari mereka menanam hanya menyambung hidup. Lahan tersisa lainnya sudah bongkor dan terisi tanaman hortikultura.

Menurut Suharto, Koordinator BPP Kecamatan Wasile, penurunan aktivitas menggarap sawah ini selain faktor jalan hauling PT IBN, juga karena biaya operasional yang tinggi, sementara penghasilannya tak seberapa.

“Jalan perusahaan itu juga pengaruh, tapi hanya di kawasan sekitar. Memang lahan di situ sudah dibeli (perusahaan), tapi kok saya lihat ini kok bikin jalan, ya (di atas sawah),” katanya.

Aktivitas jalan hauling itu diakuinya juga bisa berdampak terhadap tanaman, seperti debu yang menutup daun atau stomata. Dalam pengertiannya, stomata adalah sel epidermis khusus yang umumnya ditemukan pada daun, tetapi kadang-kadang pada batang.

Hal itu membuat proses fotosintesis terganggu karena pori-pori daun tertutup debu. Namun, baginya dampak itu hanya untuk radius tertentu dari titik aktivitas jalan hauling.

Mengancam Sungai dan Air Terjun 3 Bidadari

Sebelum matahari benar-benar miring ke barat, halmaheranesia sempat mengunjungi area Bendungan Dakaino, aliran air yang mengairi 1.198 hektar sawah. Perjalanan ke tempat ini melewati jalan tani yang berlubang di mana-mana.

Fahri Salasa (44), warga Rawamangun yang pernah menjadi Sekretaris Tim Pembebasan Lahan IUP PT IBN menyebutkan, bendungan tersebut berada tak jauh dari kawasan IUP. Tapi ia tak tahu berapa jarak pasti dari lokasi bendungan ke kawasan perusahaan.

“Sejumlah sungai akan kena dampak, terutama di lokasi IUP maupun sekitarnya yang langsung ke Sungai Kalimeja,” ucap Fahri, sambil mengeluarkan peta pembebasan kawasan PT IBN yang ditaruh di bawah meja tamunya.

Ketika berada di area bendungan dan jika melihat peta kawasan IUP, maka lokasi operasi produksi perusahaan berada di sekitar pegunungan Subaim dan Dodaga, wilayah yang juga masuk sebagai kawasan suku Tobelo Dalam.

Melalui peta itu, terlihat pula beberapa sungai berada tepat di lokasi IUP PT IBN. Sungai-sungai kecil, termasuk Bendungan Dakaino, terhubung ke Sungai Kalimeja, salah satu sungai terbesar di wilayah Subaim yang melewati perkampungan dan bermuara langsung ke laut.

Tak hanya itu, kawasan ini juga terdapat Air Terjun 3 Bidadari, salah satu destinasi paling asri di punggung hutan Halmahera Timur. Di tempat ini, air mengalir mengikuti pola bebatuan yang berbentuk seperti tangga, gemerciknya terdengar jelas, memantul terbawa angin di antara pepohonan lebat.

Air Terjun 3 Bidadari, Halmahera Timur, Maluku Utara. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

“Saya sering bilang beberapa warga, ini nanti kalau (perusahaan) sudah produksi bisa berbahaya untuk warga yang tinggalnya tak jauh dari sungai, bisa kena banjir lumpur,” ungkapnya.

Ia bercerita, wilayah yang menjadi jalan hauling PT IBN sebenarnya masuk kawasan pertanian. Kawasan sawah yang dibebaskan diperkirannya mencapai 200 hektar, termasuk lahan redis atau redistribusi.

Secara pengertian, lahan redistribusi adalah pembagian lahan-lahan yang dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi obyek landreform kepada para petani penggarap yang memenuhi syarat ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.

“Jadi lahan pertanian itu harus dilindungi, bukan dialihfungsikan, bukan dirusaki,” pinta Fahri.

Kegelisahan Fahri turut dirasakan Abu Muid (61), warga Rawamangun yang rumahnya berada tak jauh dari jalur air Sungai Kalimeja.

Abu benar-benar cemas kalau saja kegiatan produksi perusahaan berjalan dan berdampak langsung pada kampungnya.

Lokasi rumahnya memang sudah menjadi langganan banjir tatkala tingginya intensitas hujan. Abu lalu berdiri dan memperagakan tinggi banjir dengan menunjuk tepat di lututnya. Tapi, ia mengaku banjir yang meluap dari Sungai Kalimeja itu tak tercampur lumpur.

“Jadi saya bayangkan, kalau IUP-nya jalan, ini seperti lautan, meluap dari jalur Kalimeja. Kalau sudah ada tambang, yang datang (banjir) pasti terbawa material tambang,” ucapnya.

Bagi Abu, jika nanti PT IBN mulai membuka kawasan IUP, maka tak hanya hutan, perkebunan, dan peternakan yang kena dampak. Tapi warga pun ikut merasakan dampaknya.

Melawan Regulasi

Kepala Dinas Pertanian Halmahera Timur, Din Adjision, saat ditemui di kantornya, Senin, 9 Oktober 2023, menjelaskan jalan hauling PT IBN memang berada tepat di atas kawasan pertanian yang diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Halmahera Timur Tahun 2010-2029 Nomor 06 Tahun 2012 dan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Nomor 1 Tahun 2023.

Peraturan daerah tersebut secara tegas mengatur bahwa kawasan pertanian atau lahan pertanian pangan berkelanjutan wilayah Wasile mencapai 3.001,83 hektar, dan Wasile Timur 3.463,75 hektar.

Dalam Perda LP2B Nomor 1 Tahun 2023 menyebutkan, pada Pasal I BAB I Ketentuan Umum, lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

“Logikanya kan gak boleh (bikin jalan hauling) di kawasan pertanian. Tapi masalahnya jadi pertimbangan psikologis juga, karena petani sudah jual lahan mereka ke perusahaan,” ucap Din.

Pihaknya merasa kesulitan menertibkan PT IBN karena urusan pengembangan kawasan dan investasi sudah menjadi bagian kewenangan pemerintah pusat.

Ia malah mengaku tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat mengenai masuknya jalan hauling PT IBN di kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

“Setiap rapat saya tidak dilibatkan dalam perspektif lahan atau kawasan pertanian, tidak pernah tatap muka. Perusahaan tidak pernah membuat surat ke kami,” kata Din.

Pihaknya sendiri pun sampai saat ini belum pernah turun ke lokasi jalan hauling perusahaan. Ia memilih tak merespons secara serius karena belum mendapat surat atau laporan resmi dari petani.

“Petani yang kena dampak pun tidak mengeluh ke kami, kita punya penyuluh, jadi maksudnya kami, petani terdampak (mesti) menyurat ke saya atau cerita ke saya, yang kami minta yang formalnya, ya. Dasar surat itu baru kita bisa tindaklanjuti,” tuturnya.

Din justru menawarkan, jika masalah ini tak menemukan titik temunya, maka harus ada solusinya, seperti mengganti lahan atau kompensasi atas lahan yang telah dialihfungsikan sebagai jalan perusahaan.

Sementara itu, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT IBN, Setyo Wibowo, yang ditemui pada Rabu, 11 Oktober 2023, menjelaskan pihaknya saat mengurusi pembebasan lahan, belum ada Perda Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perda LP2B.

“Kita membebaskan lahan itu tahun 2009-2012 prosesnya, dan waktu itu kita juga koordinasi dengan pemerintah daerah, waktu itu Pak Bupati Haji Rudy Erawan,” ucap Setyo.

Ia mengaku, sejak pembukaan jalan hauling, memang belum pernah bertemu dengan Kepala Dinas Pertanian Halmahera Timur, Din Adjision.

Pihaknya bahkan belum mengantongi peta kawasan yang disebutkan dalam Perda LP2B. Sehingga dalam waktu dekat, timnya akan mengecek lokasi jalan hauling yang masuk dalam wilayah pertanian pangan berkelanjutan.

Area pembebasan jalan hauling berdasarkan keterangan dari PT IBN hanya mencapai 100 hektar. Lahan tersebut sudah termasuk lahan redis.

Kawasan jalan hauling PT Indo Bumi Nickel (IBN), Halmahera Timur. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

Tahun 2009, ketika pembebasan jalan tersebut, Setyo menyebutkan banyak lahan sawah yang tak aktif. Bahkan ketika proses pembukaan pun, pihaknya merasa tak pernah menutup jalur air.

“Tanah yang kita bebaskan itu gak ada yang aktif, semua lahan tidur, pokoknya kita tidak memutus satu pun aliran,” katanya.

Hanya saja ia tak menampik kalau Sungai Kalimeja memang akan terkena dampak ketika PT IBN mulai melaksanakan kegiatan produksi. Pihak perusahaan bakal membuat rekayasa jalur air Sungai Kalimeja untuk mengendapkan sedimentasi dari material tambang.

Sayangnya, PT IBN sendiri tak memiliki rekomendasi teknis Daerah Aliran Sungai (DAS). Aktivitas PT IBN yang menggunakan jalan nasional yang menghubungkan Sofifi-Maba pun tak mengantongi Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin).

Tak hanya itu, mereka juga tak memiliki perizinan Galian C meski melakukan aktivitas galian untuk penimbunan badan jalan hauling serta kolam pengendapan.

Setyo mengaku, pihaknya masih mengurusi semua perizinan dan dalam tahap revisi beberapa dokumen. Kendati begitu, kondisi di lapangan, truk dan alat berat sudah berlalu-lalang.

“Kita memilih jalan duluan (operasinya) karena kita dapat desakan dari Komisi III DPRD Provinsi Maluku Utara untuk secepatnya melakukan kegiatan, kalau kita menunggu perizinan-perizinannya kan semua kita nggak bisa, istilahnya nggak bisa sebulan dua bulan selesai (izinnya),” jelasnya.

Selain itu, PT IBN pun akan melakukan pembukaan kawasan hutan mangrove di area Desa Gulapapo untuk dijadikan jetty atau tambatan kapal-kapal perusahaan. Pembukaan kawasan ini berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan SK.627/Menhut-11/2014.

Menjaga Ruang Hidup

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Faisal Ratuela, mengatakan pihak PT IBN harus menghentikan proses pembukaan jalan hauling karena tak memenuhi syarat legal.

“Jadi ini tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan lisan, ini harus penghentian aktivitas karena ini ada perubahan bentangan alam, seperti Andalalin itu untuk pembukaan jalan hauling,” ucap Faisal.

Menurutnya, dengan adanya analisis dampaknya untuk menghitung beban tampung jalan berdasarkan muatan kendaraan serta dampak sekitar, baik dalam konteks sosial dan kecelakaannya.

Termasuk soal rekomendasi teknis DAS, karena kawasan Subaim atau daerah yang menjadi titik jalan hauling memiliki banyak daerah aliran sungai.

“Subaim itu lembah, ketika (dulu) ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi, berarti ada aliran sungai yang bisa memenuhi kepentingan transmigrasi dalam konteks pertanian, itulah kenapa wilayah itu ditetapkan sebagai lahan cadangan swasembada beras,” ungkapnya.

Ia mengatakan, warga Subaim atau wilayah yang meliputi Wasile dan Wasile Timur ini sekitar 90 persen bergantung pada pertanian, terutama padi sawah dan hortikultura.

Lahan sawah di kawasan Subaim, Halmahera Timur. Irigasi lahan ini dialiri langsung dari Bendungan Dakaino. Foto (Rajif Duchlun/halmaheranesia)

Sehingga itu, menurutnya pemerintah daerah harus benar-benar peduli dan mengutamakan kebutuhan ruang hidup warga Subaim. Tak boleh memprioritaskan investasi atau industri pertambangan yang hanya beroperasi dalam batas waktu tertentu.

“Investasi hanya diletakkan berjangka, berbatas waktu sesuai dengan kandungan yang ada, tapi warga akan hidup berlangsung antargenerasi terus-menerus,” tutur Faisal.

Pernyataan Faisal itu tak dapat dielakkan, seperti pengakuan Suparman (54), saat halmaheranesia menemuinya di kebun jeruk miliknya di Desa Rawamangun.

Bertani sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia pernah memiliki lahan sawah. Tapi itu dulu. Kini ia sudah berganti pada tanaman hortikultura.

Hari itu, suaranya pelan, seperti tertahan pesimisme karena sulitnya mengelola lahan di tengah tingginya biaya operasional dan ancaman tambang.

“Yang namanya tambang, bukan cuma tanaman yang kena dampak, manusianya juga akan kena dampaknya,” kata Suparman, suaranya lirih, sangat pelan. (*)

____

Liputan ini merupakan kerja sama AJI Ternate dan independen.id.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *