Di Desa kecil, tepat di unjung Pulau Halmahera Selatan hampir sebagian besar sudah dipadati orang-orang pertambangan. Keadaanya berantakan mirip proyek besar yang lagi mangkrak tak selesai-selesai. Namanya Bukit Emas. Sampai sekarang tidak diketahui alasannya, kenapa Tuhan meninggalkan ciptaannya.
Bukit Emas adalah areal pertambangan rakyat yang tidak jauh dari pemukiman warga. Di sana-sini terdapat timbunan-tanah merah, bebatuan, sisa-sisa limbah dan lobang-lobang besar yang digali secara manual dengan ukuran kedalamannya tidak menentukan. Aktivitas pertambangan dimulai pada tahun sembilan puluh enam hingga saat ini. Secara sadar, orang-orang di desa diuntungkan, mensyukuri atas potensi yang diberikan oleh Tuhan. Konon dapat menunjang perekonomian atau sekaligus menepis kemiskinan.
Jarak antara Bukit Emas dan pemukiman warga kurang lebih satu kilo meter. Hanya dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit atau kurang dari satu jam sudah tiba di Bukit Emas. Tidak membutuhkan waktu berjam-jam. Untuk tiba selain mengendarai sepeda motor bisa juga berjalan kaki. Tetapi tidak untuk Pak Mat, sering menggunakan mobil.
Orang-orang di desa biasanya menyapa dengan sebutan Pak Hi. Mereka sangat menghormati, menyanjunginya. Sebab keberpihakannya pada masyarakat tidak mengenal batas dan humoris. Sekaligus dibuktikan melalui kerja-kerja nyata, misalnya pembangunan jalan desa dan sekolah-sekolah. Pembangunan tersebut atas inisiatif atau usahanya melalui yayasan pribadi yang ditulis jelas dan bersyarat. Hasil pembangunan bersumber dari pendapatan potensi Bukit Emas yang peroleh lewat pungutan.
***
Pak Mat adalah kepala dusun atau kepala desa yang cukup lama menjabat. Konon ia adalah bagian dari orang pertama yang memperkenalkan Bukit Emas. Tidak tau dari mana asal-usul cerita yang sebenarnya. Potensi luas tanah Bukit Emas sebagian besar adalah milik Pak Mat. Saham pendapatannya tidak kalah besar seperti pengusaha-pengusaha emas di kota-kota besar. Pada tahun dua ribuan, sebagian para pengusaha-pengusaha di desa hampir tidak ada yang bisa menandinginya.
Angka pendapatan Pak Mat diakumulasi melalui jumlah pengusaha tromol dan usaha-usaha kecil di areal pertambangan Bukit Emas yang ia pungut per bulan sekali. Bukan memeras, katanya. Pungutan tersebut adalah haknya sebagai pemilik tanah, sekaligus bagian dari kebijakan seorang pemimpin dengan tujuan untuk pendapatan potensi desa. Tidak satupun dari mereka yang mengajukan protes atau bantahan.
Pada tahun dua ribu empat, ia membuat butir-butir peraturan-peraturan desa sementara yang akan disahkan melalui rapat terbuka bersama-warga. Ia berharap mendapat respons positif yang dihasilkan atas dasar kesepakatan bersama tanpa menuai protes. Satu di antara kesepakatan ialah mekanisme pengutan potensi desa.
“Desa kita memiliki potensi sumber daya alam,” kata Pak Mat, “Bukit Emas, misalnya adalah potensi desa dan akan kita kelola dengan baik berdasarkan butir-butir peraturan desa yang saya buat dan selanjutnya kita sepakati bersama,” lanjutnya penuh harap.
“Setuju,” sahut seorang kaur, “iya betul. Tapi bagaimana bunyi peraturan itu?” tanyanya polos.
Rapat berjalan sudah sampai pukul tepat dua puluh satu menit. Orang-orang turut serta berpartisipasi aktif menyaksikan, mendengarkan langsung dari Pak Mat. Pertemuan itu terlaksana di balai desa dalam suasana bercampur gembira, cemas, curiga dan emosi. Dengan rendah hati Pak Mat menjelaskan, membaca butir-butir kesepakatan dengan lambat, hati-hati agar dipahami warga.
“Saya akan memperlambat bacaan biar bisa dipahami jelas dan tidak ada saling curiga,” lanjutnya, “pertama, setiap orang, tanpa kecuali mempunyai hak yang sama membuat usaha baik usaha tambang, tromol, berdagang, jualan roti atau usaha-usaha lainya yang sedang berlangsung. Kedua, setiap pengusaha kecil dan besar akan dipungut biaya dua ratus lima puluh ribu rupiah per bulan tanpa terkecuali… eee….”
Belum selesai dibaca habis, spontan seorang Ibu penjual roti tepat di sudut pintu menuai protes.
“Ee… e… sebelum lanjut,” sahutnya terbata-bata, “saya penjual roti. Penghasilan saya sangat bergantung pada pembeli, kadang laris, kadang tidak sama sekali. Sepenggal pengalaman saya kalau dihitung-hitung sebulan pendapatan saya berjumlah seratur lima puluh ribu rupiah, belum lagi modal saya itu buat belanja bahan. Secara tidak langsung tidak mungkin saya bisa memberikan pungutan yang sama seperti pengusaha lain,” lanjutnya.
“Harusnya ada pengucualian, Pak Mat…,” teriak seorang Ibu PKK
“Ia benar, setuju. Tidak boleh ada peraturan pungutan tanpa berdasarkan hasil pendapatan yang sesuai,” sahut temannya penuh harap, “harus dipertimbangkan baik-baik. Apalagi kita-kita yang hanya penjual roti tidak seperti pengusaha-pengusa lain,” katanya.
“Saya juga setuju.”
Suasana rapat semakin sengit dan ekspresif. Rapat tertunda beberapa menit berjalan. Pak Mat menunjukkan ekspresi sinis pada warga. Sebagian dari mereka saling menjeling hanya bisa menggelengkan kepala. Menolak. Mendadak tiba-tiba hening. Berubah seolah suasana menjadi beku. Untuk terlihat mengalir dan tidak kaku, kesempatan itu dicuri Pak Imam dengan tingkah humoris menyulap suasan menjadi cair kembali.
“Silakan, Pak Mat. Mungkin diselesaikan baca semuanya dulu atau langsung menanggapi pernyataan ibu-ibu,” tegasnya
“Terima kasih, Pak Imam.”
“Iya silakan, Pak.”
“Baik. untuk menghindari tudingan yang tidak berdasar izinkan saya membaca butir-butir peraturan pungutan untuk pendapatan hasil desa atau demi kemajuan pembangungan desa,” lanjutnya, “seperti sudah saya sebutkan tadi, bahwa aturan pungutan tersebut akan berlaku pada siapa saja tanpa terkecuali,” tegasnya
“Tapi, Pak, penghasilan usaha kita ditentukan melalui seberapa banyak pembeli,” sahut seorang Ibu.
“Tidak ada tapi. Keputusan ini bersifat final,” bentaknya.
“Sialan, Pak Mat, yang ia pikir hanyalah pungutan sementara air sungai kita, yang setiap hari kita konsumsi itu berdekatan dengan pertambangan dan tidak ada perhatian,” kata seorang kaur pembangunan membatin
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh enam menit. Sudah menunjukkan waktu makan siang. Tanpa pemenuhan kebutuhan fisiologis akan menghambat aktivitas rapat. Sebab di siang petang bolong cuaca semakin panas, cahaya matahari seolah merogoh koceknya ruangan rapat dan membuat orang-orang bertamba gerah, akibatnya mengoceh pikiran, terganggu. Selanjutnya tidak ada lagi tukar pendapat atau saran.
“Rapat tidak akan berjalan baik, tidak akan berbuah solusi,” kata Pak Sekdes mengalihkan, “jika belum dipenuhi kebutuhan fisiologis. Atas dasar pertimbangan itulah rapat kita hari ini disudahi dulu. Selanjutnya akan kita bahas di lain waktu dan akan diumumkan di waktu yang tepat. Rapat ditutup, sekian dan terima kasih,” katanya sembari tersenyum.
Semua orang bersepakat bahwa rapat diakhiri. Sebagian masih berkerumun, menciptakan kelompok-kelompok diskusi kecil atas aturan yang dibuat Pak Mat. Sembari bertukar sinis, melempar curiga di antara satu sama lain dan meneriaki kata-kata sinis. Sebagian lainnya hanya bisa bersepakat tanpa menuai protes. Sedangkan Pak Mat adalah tipe pemimpin yang tidak mempersoalkan atau meresahkan protes warga. Setiap keputusan adalah benar dan tepat. Yang ia gemari bahwa setiap keputusan harus mendulang pujian bukan protes.
“Iya tutup saja, Pak.”
“Nanti tidak perlu dibuat rapat. Buatlah aturan berdasarkan kesepakatan pemerintah saja atau khusus kelompok-kelompok pengusaha.”
“Sebagai warga kami tidak punya kehendak kuasa apa-apa dan cuman bisa setuju.”
“Sebaiknya, Bukit Emas diambil alih perusahan besar.”
Di tengah kerumunan, usai menggelar rapat desa mendapat respons kritikan dari sebagian warga dan berunjung cerita-cerita yang didengar mengalir cacian. Ia lantas hanya membalas ekspresi senyum tanpa pandang perlu menarik kembali keputusan yang sudah dibuat. Ia justru tampak gagahan berjalan menyusuri jalan pulang ke rumah bersama-sama Pak Sekdes di depan warga dan menjadi tampak lebih bersemangat.
Tepat di tengah kerumunan ia membisik di telinga Pak Sekdes, “Menurut Anda, apakah keputusan saya dapat dicelah warga?”
“Biasa saja, Pak” lanjutnya, “untuk mendapat pujian kita hanya perlu sedikit pembuktian, misalnya kesejahteraan, pendidikan, dan infrastruktur lainnya…,” jelasnya.
“Iya Benar. Padahal yang saya lakukan hanya untuk kemajuan desa.”
“Bukannya itu semua sudah Pak buktikan?” lanjutnya, “bangun jalan, bangun sekolah, dan warga menikmati.”
“Benar. Sekarang kau sudah bisa bergabung bagian dari kelompok kita.” (*)