Usia Provinsi Maluku Utara kini sudah beranjak 24 tahun. Seumpama manusia, umur ini merupakan fase yang tergolong dewasa. Sayangnya, provinsi yang mekar tepat pada tanggal 4 Oktober 1999 ini terlilit beragam masalah. Dua yang paling mengemuka adalah problem kemiskinan dan penghancuran sumber kehidupan warga, namun sebenarnya kedua kekusutan tersebut saling bertalian pun juga erat.

Fenomena kemiskinan di provinsi berjuluk Al-Mulk ini cenderung nanjak di tengah masifnya pelbagai korporasi ekstraktif layaknya tambang. Tercatat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maluku Utara, penduduk miskin Maluku Utara pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang, kemudian pada September 2022 naik menjadi 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang.

Trend kemiskinan ini menjadi ironis dengan laju pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang kerap memperlihatkan lompatan. Misalnya, pada 2022 triwulan satu pertumbuhan ekonomi mencapai 25.50 persen kemudian pada triwulan dua naik 26.22 persen, triwulan tiga turun menjadi 23.28 persen, dan pada triwulan empat menjadi 17.74 persen. Pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara monoton disumbang serta didominasi oleh arus ekspor-impor barang yang berkaitan dengan tambang.

Apesnya, penerima manfaat atas aktivitas tambang di Maluku Utara justru bukan warga Maluku Utara apalagi warga yang menetap di tapak-sekaligus korban langsung monster tambang. Pun sebaliknya, orang-orang yang tidak diketahui asal-muasalnya yang terus mendulang cuan. Mereka diberkati stempel legal oleh negara untuk merampok kekayaan di sini atas nama pertumbuhan ekonomi.

Penghancuran Sumber Kehidupan

Berkelindan Sumber Daya Alam (SDA) di Maluku Utara justru menjurus ke kutukan dan malapetaka. Emas, bijih besi, kayu, hingga nikel merupakan komoditas paling primadona dengan rute pasar yang sangat menjanjikan, tapi sekali lagi itu semua hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kita hanya dihadiahkan bencana ekologi serta derita berkepanjangan.

Di semenanjung selatan pulau Halmahera, tak lain merupakan warga Gane yang harus kehilangan sumber kehidupan.  Lahan-lahan produktif yang sudah ditanami pala, cengkeh, kelapa serta tanaman penghasil lainnya berakhir tergusur, tak hanya itu hutan dan sungai sebagai ekosistem yang mereka jaga sebagaimana untuk keseimbangan alam serta warisan kepada anak-cucu juga telah musnah. Korporasi raksasa sawit telah menyulap lahan mereka berubah menjadi hamparan monokultur sawit.

Cerita perihal penghancuran sumber-sumber penghidupan di usia Provinsi Maluku Utara yang sudah lebih dari dua dekade ini seakan tak ada habisnya selama pemerintah masih berdansa mesra dengan korporasi ekstraktif. Jika keadaannya sudah seromantis itu maka tidak dipungkiri keruwetan yang sama juga menggapai pada daerah-daerah penyedia bijih nikel. Berbagai potret dan fakta menunjukkan bila gunung-gunung tanpa henti dibongkar oleh perusahaan perebut nikel, seperti di Weda, Buli, Gebe hingga Obi.

Di Desa Kawasi, Pulau Obi, [kampung yang terkepung industri raksasa pengelolaan nikel serta perusahaan penambangnya] seusai tambang nikel memporak-poranda sumber kelangsungan hidup warga. Kini, mereka hendak disingkirkan di atas tanah kampung mereka sendiri. Kampung yang susah-payah dibangun oleh para leluhur serta syarat akan pengetahuan lokal terancam lenyap diokupasi perusahaan nikel apabila Pemerintah tak unjuk gigi dengan tampil bebas tanpa tendensi mempertahankan kampung tua itu.

Peristiwa miris itu juga persis terjadi kepada warga di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara. Di perkampungan Lelilef dan Gemaf, kehidupan mereka dituntut oleh negara untuk senantiasa hidup rukun berdampingan dengan raksasa industri nikel. Padahal mereka tidak menginginkan raksasa tersebut terbangun, tapi tidak dengan para penyelenggara negara yang terus membual soal kesejateraan agar raksasa tersebut terbangun. Kini, cerita tentang berkebun layaknya mengolah sagu serta memanen pala, nyaris tak terendus di daerah perkampungan orang Sawai itu.

Sementara tak jauh dari Gemaf adalah kampung Sagea. Kampung dengan jumlah populasi manusia 1.317 orang ini, sesungguhnya masih memanfaatkan aliran sungai sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar agar mereka terus bertahan hidup. Celakanya atas nama elektrifikasi kendaraan yang konon lebih rendah karbon-tapi tinggi korban, lalu melalui tangan mulus negara mempersembahkan di balik kampung yang juga penuh dengan adat serta kearifan lokal ini kemudian dipadati dengan jejeran konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel serta Gamping.

Sebagaimana pola kerja perusahaan penambang untuk bisa mencapai jenis tanah yang disebut limonit [nikel kadar rendah] maka harus dikeruk secara terbuka mengikuti pengangkutan material tanah yang berwarna merah [Ore nikel]. Dengan begitu pekerjaan yang mustahil terlewatkan adalah membabat hutan serta meratakan bukit-bukit hingga membuat Sungai Sagea yang sejatinya kesatuan tidak terpisahkan dari hulu-hilir kawasan bentangan Daerah Aliran Sungai (DAS) kini ambruk dan membuat aliran sungai tersebut tak dapat dikonsumsi warga.

Buli, Kecamatan Maba, juga persis. Kampung yang terletak pada pesisir timur pulau Halmahera ini juga tak bisa mengelak dari cerita penghancuran oleh tambang nikel yang kian hari kondisinya semakin akut. Teranyar adalah pengunungan Wato-Wato, bentangan pengunungan yang memberi kehidupan bagi warga sekitar layaknya bagaikan seorang ibu tengah berada dalam ancaman tambang. Dan sesungguhnya pegunungan ini merupakan benteng terakhir sekaligus penyedia air bersih bagi kelangsungan hidup warga setelah deretan hamparan pegunungan lainnya sudah luluh lantak disikat tambang nikel.

Peristiwa penghancuran sumber-sumber kehidupan di Maluku Utara atas tambang ataupun perkebunan monokultur layak disebutkan sebagai ecocide [pemusnahan habitat atau lingkungan]. Di sisi lain apa yang terjadi di Maluku Utara dewasa ini mengingatkan kita pada sekitar kurang lebih 150 tahun silam, dimana kekayaan biodiversitas di Maluku Utara sangat berkontribusi dan mengambil peran dalam dinamika Sains Global.

Yang mana, kala itu seorang saintis, Alfred Russel Wallace setelah sekembalinya berkelana [termasuk dari belantara Halmahera] pengetahuan, tepat pada 8 Januari-25 Maret 1858 mengirimkan sebuah surat dari Ternate disertai makalah yang diberi judul On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitelty from the Original Type ke Charles Darwin di Inggris. Catatan tersebut pada akhirnya menunjang teori evolusi yang  dipopulerkan Darwin melalui bukunya The Origin of Species tahun 1859.

Itu artinya, kabar tentang Maluku Utara bukan hanya soal daya rusak industri ekstraktif yang terus mengahantui warga lebih daripada itu termasuk kekayaan keanekaragam hayati yang terancam musnah imbas dari pemerintah yang cenderung berpihak kepada korporasi ekstraktif.

Deretan klise di atas semestinya memberikan tamparan keras bagi para penyelenggara negara baik itu lembaga legislatif serta lembaga eksekutif, mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga jajaran kepala daerah Bupati  dan Walikota serta Gubernur, bahkan Presiden. Dengan demikian, pada usia Provinsi Maluku Utara yang ke-24 tahun ini Pemerintah perlu mengevaluasi seluruh izin korporasi ekstraktif serta mengembalikan dan memulihkan seluruh sumber-sumber penghidupan warga.

 _____

Penulis: Julfikar Sangaji/Pegiat di Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Maluku Utara

Bagikan:

Julfikar Sangaji

Divisi Advokasi & Kampanye Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *