Ternate, HN – Halmahera Wildlife Photography dan Burung Indonesia mengadakan acara Talkshow Festival Keanekaragaman Hayati Maluku Utara di Taman Landmark, Kelurahan Gamalama, Kota Ternate pada Jumat malam, 6 Oktober 2023.

Dalam kegiatan ini juga telah diluncurkan buku burung-burung migran Maluku Utara hasil karya Akhmad David dan pameran fotografi hasil karya anggota komunitas pengamat keanekaragaman hayati di setiap daerah.

Koordinator Program Halmahera Burung Indonesia, Benny Aladin, mengatakan kegiatan ini dibuat dalam rangka merayakan keanekaragaman burung di Indonesia dan burung migrasi sedunia.

Ia menyebutkan, selain itu untuk memperkuat kapasitas sekaligus mempromosikan keanekaragaman hayati bagi kalangan luas terutama di masyarakat urban.

“Jadi penyelenggaraan ini di dalamnya termasuk rangkaian kegiatan berupa pameran fotografi, diskusi publik, dan pelatihan monitoring burung migran,” kata Benny.

Ia mengaku, Maluku Utara adalah rumah bagi 350 jenis burung, termasuk di dalamnya 40 jenis endemik. Beragam kelompok burung itu telah tersebar mulai dari pesisir pantai hingga puncak pegunungan.

Keragaman jenis burung yang besar ini menjadikan kepulauan Halmahera mulai dari Pulau Morotai hingga Pulau Obi, Halmahera Selatan menjadi salah satu daerah burung endemik di dunia.

“Di Maluku Utara sendiri memiliki 27 Key Biodiversity Area (KBA) darat yang spesies prioritasnya sebagian besar adalah jenis takson burung,” jelasnya.

Ia menambahkan, sejak tahun 2018 Burung Indonesia melaksanakan program konservasi burung paruh bengkok melalui pendekatan yang holistik. Program ini turut menginisiasi dan mendukung kelompok-kelompok pemuda untuk berorganisasi dan fokus pada pelestarian satwa liar dan keanekaragaman hayati.

Sebab, lanjut dia, dalam lima tahun terakhir inisiatif kelompok pemuda di wilayah Halmahera Utara, Ternate, Tidore Kepulauan, dan Halmahera Selatan semakin tinggi dalam partisipasi untuk isu keanekaragaman hayati.

“Setiap tahun sekurang-kurangnya terdapat 100 orang yang berpartisipasi dalam kegiatan rutin monitoring burung dalam acara-acara lokal, nasional, maupun internasional seperti Asian Waterbird Census, Global Big day, dan IBA Surveys,” ujarnya.

Benny menjelaskan, salah satu rangkaian kegiatan adalah pelatihan monitoring burung-burung migran ini dilakukan di Desa Kao dan Gayok, Halmahera Utara. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas individu atau organisasi yang fokus dan mendalami tentang keanekaragaman hayati dan burung migrasi.

“Burung migrasi kan tidak semua rata. Ada tempat-tempat tertentu yang memang khas dan unik karena ada ketersediaan sumberdaya makan yang banyak, dan salah satunya ada di Teluk Kao. Bahkan di kawasan itu sudah berstatus sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE),” tuturnya.

Meski begitu, ia mengaku bahwa Burung Indonesia belum pernah melakukan penelitian khusus dan mengkaji dampak perubahan tutupan hutan dari aktivitas tambang yang berpengaruh pada keberadaan habitat burung migran.

Namun yang dipahami, bahwa habitat adalah komponen paling utama bagi burung agar tetap hidup. Kemudian habitat juga tidak bisa disubtitusi dengan yang lain.

“Jadi tidak hanya tambang, tapi penyebab perubahan tutupan lahan, apalagi sifatnya pembukaan total, pasti ada dampaknya dan dampaknya adalah hilang, pasti. Burung-burung endemik yang tadinya ada lokasi-lokasi lokal pasti sudah tidak ada disitu,” pungkasnya.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *