Haltim, HN – Warga Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara, menyuarakan nasib gunung dan hutan Wato-Wato yang kini tengah menjadi wilayah atau kawasan industri pertambangan.

Melalui siaran pers yang diterima halmaheranesia, Said Marsaoly, warga Buli menyebutkan, aktivitas penambangan di Halmahera Timur, telah berdampak buruk pada hancurnya ruang hidup warga, mulai dari wilayah daratan hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Di wilayah yang sebelumnya kaya akan pala dan cengkih ini, terdapat 27 izin usaha pertambangan (IUP), dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektar,” ucap Said, Rabu, 6 September 2023.

Said mengatakan, dari total izin tambang itu, PT Aneka Tambang (ANTAM) adalah salah satu perusahaan pemegang konsesi terbesar yang menguasai wilayah daratan Halmahera, hingga pulau kecil Gee dan Pakal.

Menurutnya, selain operasi PT Antam, kini gunung Wato-Wato yang penting bagi warga juga diincar oleh PT Priven Lestari. Di gunung Wato-Wato ini terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang berfungsi sebagai wilayah resapan air.

“Dari kawasan hutan Wato-Wato ini pula, terdapat mata air yang mengalir melalui tiga sungai besar dan beberapa anak sungai yang selama ini menjadi sumber air utama bagi ribuan warga, bahkan menjadi sumber air baku bagi PDAM Buli,” katanya.

Selain itu, di kaki gunung Wato-Wato ini juga terdapat lahan pertanian-perkebunan warga yang ditanami pala, cengkih, dan nanas. Semua itu adalah sumber utama perekonomian warga.

Kini, kata dia, upaya pemerintah dan PT Priven Lestari untuk membuka industri tambang di gunung Wato-Wato berpotensi besar melenyapkan seluruh sumber kehidupan warga tersebut.

“Upaya paksa ini terlihat dari proses pembahasan atau konsultasi publik dokumen AMDAL sejak 2015 hingga 2018 yang tidak mengakomodasi suara penolakan warga,” paparnya.

Ia menjelaskan, rentetan aksi penolakan warga selama ini justru ditanggapi dengan upaya kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang.

“Upaya kriminalisasi itu terlihat dari munculnya surat panggilan dari polisi terhadap sebelas orang warga penolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan penganiayaan, pengancaman, dan pengrusakan,” ungkapnya.

Padahal, apa yang dilakukan warga adalah semata-mata mempertahankan ruang hidup terakhirnya, yakni gunung Wato-Wato dari industri tambang.

Ia menyebutkan, berangkat dari situasi tersebut, warga Halmahera Timur yang berhimpun dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato, mendesak beberapa tuntutan.

“Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan dan cabut izin tambang PT Priven Lestari. Mendesak Menteri LHK untuk tidak memproses pengajuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT Priven Lestari, serta memberikan sanksi hukum yang tegas atas operasinya yang merusak kawasan hutan,” jelasnya.

Lalu, mereka juga mendesak kepolisian untuk hentikan proses hukum terhadap warga yang dilaporkan, dan meminta Bupati dan DPRD Haltim, Gubernur dan DPRD Malut untuk segera mengeluarkan rekomendasi penghentian operasi dan pencabutan izin PT Priven Lestari ke Menteri ESDM.

“Mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan PT Priven Lestari, pemerintah, dan kepolisian,” pungkas Said.

Hingga berita ini ditayangkan, sedang berupaya mengonfirmasi pihak PT Priven Lestari dan pihak lainnya terkait desakan dari warga Buli.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *