
Halteng, HN – Hasil investigasi sementara yang dilakukan tim dari DLH Provinsi Maluku Utara, DLH Kabupaten Halmahera Tengah, dan pihak terkait lainnya yang menyatakan keruhnya Sungai Sagea di Halmahera Tengah bukan karena aktivitas tambang mendapat tanggapan dari ahli.
Ketua Bidang Konservasi, Kampanye dan Advokasi, Masyarakat Speleologi Indonesia, Mirza Ahmad Heviko, mengatakan keruhnya Sungai Sagea dari hulu ke hilir akibat adanya pembukaan lahan yang dilakukan untuk pembukaan akses jalan dan pertambangan pada tanggal 28 Juli 2023.

“Kesimpulan sementara oleh Tim Investigasi yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya perubahan pada warna air di Sungai Sagea dan Gua Bokimoruru bukan karena dampak dari aktivitas pertambangan sangat tidak tepat,” ucap Mirza melalui siaran pers yang diterima halmaheranesia, Kamis, 7 September 2023.
Ia menjelaskan, berdasarkan hasil analisis di lapangan dan analisis citra yang dilakukan oleh Koalisi Save Sagea menunjukkan pembukaan jalan menuju area pertambangan mengakibatkan kondisi tidak stabil pada lapisan tanah di mana bila terjadi hujan maka run off akibat pembukaan lahan akan membawa sedimen masuk ke alur sungai terdekat dengan jumlah yang besar.
“Peningkatan sedimentasi yang cukup tinggi menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran dan selama bulan Agustus di wilayah hulu kawasan ini terjadi hujan secara terus menerus,” ungkapnya.
“Akibat adanya pembukaan lahan untuk akses jalan pertambangan, air yang tidak bisa terserap menjadi aliran run off atau aliran permukaan mengalami proses pelumpuran yang membawa material sedimentasi berupa tanah dan lumpur dalam jumlah yang sangat besar masuk ke dalam sistem Sungai Sagea yang menjadikan air di sepanjang Sungai Sagea dan Gua Bokimaruru menjadi tercemar,” sambungnya.
Menurutnya, sedimentasi akan terjadi secara terus-menerus selama proses pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan, dan butuh proses yang sangat lama untuk mengembalikan fungsi Sungai Sagea seperti semula.
Hal ini, kata dia, pada kegiatan pembukaan lahan untuk akses jalan dengan kondisi curah hujan yang tinggi sudah dapat menimbulkan pencemaran pada air, apabila pengupasan lahan secara besar-besaran di wilayah hulu terus terjadi.
“Terutama pada wilayah-wilayah konsesi pertambangan nikel, maka peningkatan sedimentasi akan terjadi, dan ekosistem Sungai Sagea tidak akan bisa dipulihkan,” paparnya.
Ia mengatakan, speleologi adalah ilmu tentang gua dan lingkungan sekitarnya dapat membantu dalam menganalisis peristiwa pencemaran yang terjadi.
Berdasarkan karateristik Gua Bokimoruru, lanjut dia, potensi terjadinya longsor di dalam Gua Bokimoruru sangat tidak mungkin apabila tidak dipicu oleh adanya gempa bumi, collaps, rock fall yang dapat memicu adanya longsoran di dalam gua.
“Apabila terjadi longsoran di dalam gua maka longsoran ini hanya bersifat lokal dan tidak akan berpengaruh pada skala yang sangat luas apalagi sampai membawa material sedimen berupa tanah dan lumpur, mengingat kondisi Gua Bokimoruru disusun oleh batu gamping masif.”
Ia menyebutkan, dalam beberapa bulan terakhir tidak ada catatan gempa bumi dangkal dengan skala yang besar terjadi di Halmahera, hal ini tidak perlu harus ada pembuktian geologi, namum secara geologis kondisi kawasan karst memiliki keunikan tersendiri yang hanya bisa diungkap oleh penelitian Speleologi.
Ekosistem kawasan karst Sagea tidak berdiri sendiri dan sangat terhubung oleh sistem di sekitarnya. Lingkungan gua sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
“Izin pertambangan di bagian hulu akan berpotensi terhadap hilangnya fungsi Sungai Sagea yang selama ini adalah sebagai pusat kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di wilayah Sagea dan sekitarnya akan terdampak secara terus menerus selama kegiatan penambangan terus dilakukan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dan akan sangat berdampak pada ekosistem kawasan karst yang akan berisiko terjadinya bencana di masa yang akan datang, terutama terhadap masyarakat yang berada di kawasan Sungai Sagea.
“Masyarakat Speleologi Indonesia mengajak semua pihak untuk dapat menjaga keberlanjutan dan fungsi kawasan karst sebagai cadangan air di masa yang akan datang, dimana proses karstifikasi/pelarutan batuan pada kawasan karst dapat memberikan manfaat untuk penyerapan karbon, yang dapat menjadi bagian dalam upaya pengurangan emisi dan dampak dari perubahan iklim,” pungkas Mirza.