Halteng, HN – Baru-baru ini, pada 12-16 Agustus 2023, warna sungai di Desa Sagea dan Kiya, Kabupaten Halmahera Tengah, yang dikenal sebagai sumber air minum warga tampak berubah keruh kecoklatan. Video dan foto keruhnya sungai tersebut pun sempat beredar luas di media sosial.

Adlun Fiqri, pemuda Sagea yang ikut mendokumentasikan perubahan warna sungai itu kepada halmaheranesia menyebutkan, sungai Sagea ini memang sering keruh kalau hujan lebat 1-2 hari.

“Tapi keruhnya biasa. Belakangan ini keruhnya jadi coklat pekat. Kami mencatat mulai terjadi pada 14-15 Juli, kemudian 28 Juli, 2-5 Agustus, 12-16 Agustus ini,” ucap Adlun saat dihubungi melalui aplikasi pesan singkat, Rabu malam, 16 Agustus 2023.

Adlun menjelaskan, dari pengamatan visual dan membandingkan dengan sungai yang ada di Kobe, Kecamatan Weda Tengah, warnanya sama dan indikasi kuat ini tercampur sedimen dari bukaan lahan.

“Dan saat ini yang masif membuka lahan adalah tambang. Kami dapat citra satelit Mei 2023 dan dari proses interpretasi terdapat bukaan jalan di bagian hulu DAS Ake Sagea,” ungkapnya.

“Dari informan katanya ada moving rig (pengerahan alat untuk eksplorasi di bagian situ) dan itu berada di dalam konsesi Weda Bay Nickel. Kemudian jalan itu menyambung ke lokasi tambangnya Halmaera Sukses Mineral. Jadi kedua perusahaan ini yang diindikasi kuat melakukan pencemaran sungai Sagea akibat aktivitas mereka,” sambungnya.

Ia mengaku, sungai Sagea ini sumber hidup bagi masyarakat Desa Sagea dan Desa Kiya, karena dimanfaatkan sebagai air minum dan mandi serta ekowisata di Gua Batulubang/Bokimoruru.

“Banyak masyarakat bersedih melihat kondisi ini dan meminta pemerintah untuk peduli dan melakukan penyelidikan serta pemulihan agar sungai Sagea bisa seperti biasanya,” jelasnya.

Founder Fakawele Project ini menyebutkan, jika menganalisis penyebab keruhnya sungai Sagea, tentunya perlu menelusuri hingga ke hulunya.

Sungai Ake Sagea yang alirannya masuk ke Gua Legaoel terbukti sebagai salah satu sumber (inlet) sungai bawah tanah menuju Gua Bokimoruru dan Sungai Sagea, maka perlu juga melihat kondisi DAS di sekitar sungai Legaelol.

“Di sebelah barat laut di sekitar DAS Legaelol memang terdapat aktivitas pembukaan lahan oleh tambang, namun untuk membuktikan penyebab tercemarnya sungai Sagea akibat tambang perlu investigasi mendalam menelusuri aliran sungai Legaelol dan DAS-nya,” paparnya.

Menurutnya, di bagian hulu ada PT. Weda Bay Nickel yang memiliki konsesi tambang paling besar, lalu ada PT. Halmahera Sukses Mineral, dan PT. Tekindo Energi.

Sementara di dalam wilayah Sagea ada PT. First Pasific Mining dan rencana tambang gamping PT Karunia Sagea Mineral (KSM), hanya saja kedua perusahaan ini belum beroperasi karena terus mendapatkan penolakan dari warga.

“Sementara di bagian timur ada PT. Harum Sukses Mining, mereka juga dalam proses pembukaan jalan.”

Pihaknya lalu mendesak DLH, KLHK untuk turun melakukan menyelidiki terkait dugaan tercemarnya sungai Sagea ini, dan tentunya harus ada penegakan hukum kepada perusahaan yang melakukan pencemaran.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya, ketika dihubungi mengatakan saat ini sudah dilakukan investigasi oleh tim DLH Kabupaten Halmahera Tengah.

“Hasil investigasi akan dilaporkan ke provinsi dan pusat untuk dilakukan aksi bersama,” ucap Fachruddin.

Ia mengaku, DLH memiliki bidang terkait dengan pengawasan dan pengendalian pencemaran serta kerusakan lingkungan, dan mereka sudah dua kali pertemuan untuk membahas masalah sungai Sagea.

“Salah satu kesepakatannya adalah menunggu laporan hasil dari kabupaten,” jelasnya.

Sementara itu, pihak DLH Kabupaten Halmahera Tengah, yakni Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Lingkungan Hidup DLH, Abubakar Yasin, saat dihubungi melalui aplikasi pesan singkat belum merespons hingga berita ini ditayangkan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *