Sebulan terakhir lagu “100 Juta” viral seantero Maluku Utara. Lagu yang dilantukan Alan Darmawan dengan irama wayase ini ramai diputar di acara pesta joget, oto-oto penumpang, hingga story di media sosial.
Orang-orang tampak bahagia menikmati lagu ini, bahkan sambil berjoget. Padahal kalau dicermati, lagu ini sebenarnya mewakili kegetiran, terutama para bujang yang berencana kawin.
Liriknya menggambarkan realita bahwa ongkos kaweng semakin hari semakin meroket. Sedangkan untuk mengawini anak orang tidak cukup bermodal cinta bukan? Ado kasiang.
Tapi irama wayase-nya membuat kita berjoget bahagia melupakan segala kegetiran. Sudah jadi tipikal orang Maluku Utara to, sesuram apapun liriknya kalau iramanya wayase, bajoget ceh!
Lagu “100 juta” turut membawa imaji banyak orang kalau bekerja di industri pertambangan adalah solusi dan langkah singkat mengumpulkan ongkos kaweng. Bisa jadi, kalau kerjanya di salah satu tambang emas yang ada di Kao sana. Tapi tidak semudah yang dibayangkan, karena, dengar-dengar, seleksinya ketat dan butuh “orang dalam”, ehm.
Sementara untuk bekerja di industri nikel yang ada di Halmahera Tengah, “Karja di Weda butuh tenaga kuda, kong 1 bulan ngana dapa gaji 6 juta, adodo ngana mati sengsara,” kata Angelbert Rap dalam lagunya. Tapi kan upah tergantung skill dan posisi juga toh.
Namun, terlepas dari itu semua, ada realita lain yang perlu saya ungkapkan. Yakni kegetiran berlipat yang dialami para bujang yang kampungnya berada di lingkar kawasan tambang.
Pertama, stereotipe bahwa orang-orang di lingkar tambang itu kaya alias banyak duit. Stereotip ini mulai terasa semenjak tambang merajalela di kampung kami.
Ada beberapa kawan yang melamar pacar mereka di kecamatan sebelah, terpaksa hela nafas karena permintaan ongkos yang jumlahnya kurang lebih 100 juta plus bahan ini, itu, bla bla bla.
Bagi sebagian bujang yang mapan dan memiliki harta berlebih mungkin tidak jadi persoalan, tapi ehmm barasa lagi. Kong apalagi bujang-bujang yang pengangguran. Alhamdulillah sih bagi yang keluarganya baku bantu patungan. Tapi ada juga yang terpaksa rela jual tanah dan kebun untuk tambah ongkos kaweng.
Ini so banyak kasus pa, jang ngoni bilang saya mengarang lagi.
Suatu waktu saya pernah bertanya pada salah seorang mama-mama dari kecamatan sebelah.
“Bikapa kong kalau orang Sagea pi maso lamaran di dong bibi pe daerah tuh, dong minta ongkos tinggi sampe e?”
“Ala me tong dengar kata orang Sagea banyak doi, ‘meledak’ terus.”
Istilah “meledak” ini merujuk pada momentum pencairan uang untuk pembayaran lahan-lahan masyarakat yang dilepas/dijual ke perusahaan.
Padahal kan tidak semua bujang itu punya lahan dan tidak semua orang juga melepas tanah dan kebunnya ke perusahaan. Jadi tra semua bujang ikut “meledak” to.
Tapi soal pelepasan tanah dan kebun-kebun masyarakat ini akan saya bahas lagi di lain kesempatan. Kedua, masa depan yang suram (?) di wilayah lingkar tambang.
Baik para bujangan maupun mereka yang baru menikah lantas memilih hidup menetap di wilayah lingkar tambang, sebenarnya menghadapai masa depan yang penuh waswas – untuk tidak mengatakannya suram.
Krisis lingkungan adalah kenyataan yang akan dirasakan akibat dari ekstraktivisme tambang yang ugal-ugalan merusak ekosistem dan menyulap ruang hidup kita.
Khusus di Pulau Halmahera, wilayah seperti Teluk Weda, Teluk Buli, dan Teluk Kao, paling rentan mengalami kerusakan lingkungan. Di tiga wilayah ini banyak bercokol tambang nikel yang daya rusaknya tidak perlu saya jelaskan panjang lebar. Konco-konco bisa baca laporan terbaru berjudul Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel yang diterbitkan Lembaga Aksi Ekologi dan Eemansipasi Rakyat (AEER).
Laporan tersebut mengkaji bagaimana perubahan sosial dan menurunnya kualitas lingkungan yang terjadi di kampung-kampung sekitar PT. IWIP.
Sadar atau tidak, kita tidak lagi berdaulat atas wilayah yang kita tempati. Semuanya dikuasai para oligarki tambang yang tak pernah memikirkan bagimana keberlanjutan ekosistem kehidupan di wilayah sekitar tambang.
Sungguh sebuah kenestapaan bukan? Siapa bakal menjamin hidup yang bahagia di tengah kerusakan lingkungan.
Untuk itu, bagi para bujangan, ada dua hal yang mestinya menjadi perhatian kita.
Pertama-tama, para bujang harus kuat berdoa agar keluarga si pacar tidak meminta ongkos yang tinggi saat lamaran.
Kedua, bersama-sama kita mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan perlindungan dan keberlanjutan ekosistem di wilayah lingkar tambang: hutan, air dan udara yang bersih.
Ini demi masa depan yang tenteram dan adil bersama orang-orang yang kita cintai. Lupakan 100 juta. Para bujangan di wilayah lingkar tambang, bersatulah!!
_____
Penulis: Adlun Fiqri