
Ternate, HN – Magazine Art Space berkolaborasi dengan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) menggelar pameran foto esai dan ilustrasi di Benteng Oranje, Ternate, pada tanggal 4 -15 Agustus 2023.
Pada kegiatan tersebut menampilkan karya foto yang membahas kehidupan dalam dua fragmen yang melibatkan petani dan pedagang rempah yang ada di Kota Ternate, Maluku Utara.

Karya-karya indah itu adalah milik tiga fotografer Maluku Utara, yakni Rifki Anwar yang saat ini bekerja sebagai pewarta foto di media halmaheranesia, Layak Susanto, salah satu fotografer, videografer dan desain grafis yang bekerja sebagai frelancer di tribunternate, dan Andi Saputra kontributor foto di Kantor Berita Antara.
Kurator dari Magazine Art Space, Fadriah Syuaib, mengatakan kegiatan ini adalah untuk melakukan riset performance lecture, fotografi, dan ilustrasi dengan tema besar Makududara, atau hubungan rekonsiliatif pada petani dan pedagang terhadap rempah di Ternate usai tahun 1999 dan pendekatan agronomi.
Makududara, kata dia, dalam pendekatan humanis merupakan ikatan persaudaraan yang melebihi dari saudara kandung. Istilah ini dipakai sebagai penyambung emosional tanpa melihat latar belakang atau perbedaan seseorang berdasarkan agama, suku, bangsa, dan lainnya.
“Kata ini berasal dari bahasa daerah Ternate yang terdiri dari dua kata yang berarti saling menjaga. Maku adalah baku (bahasa melayu Ternate) yang dalam bahasa Indonesia artinya saling,” kata Fadriah.
Ia mengatakan, menurut KBBI, kata ini juga memiliki makna saling menerangkan perbuatan yang berbalas-balasan, bahwa di dunia ini harus saling berkasih sayang.
Sehingga dengan pengertian inilah, Makududara dimaknai sebagai persaudaraan yang esensinya menjaga tanpa alasan atau batasan apapun.
“Kadangkala istilah batasan menimbulkan perselisihan yang memisahkan hubungan tertentu. Misalnya karena jarak, hasil pikiran, atau pendapat. Namun, Makududara justru menempatkan batasan itu dengan tidak melihatnya sebagai suatu perbedaan,” jelasnya.
Ia mengaku, hal ini yang kemudian diangkat sebagai tema dalam program Ephemera #3. Kolaborasi IVAA dengan Magazine Art Space untuk mewacanakan makna dan nilai Makududara ke dalam konteks kemanusiaan usai tahun 1999.
Kondisi ini dijalin kembali oleh masyarakat Maluku Utara melalui pendekatan-pendekatan sosiokultural atau kebaikan humanis yang telah ada sejak abad 7 melalui perdagangan orang-orang Cina yang datang ke Ternate jauh sebelum bangsa Eropa ada.
“Tentu saja, kedatangan mereka menghadirkan cara-cara yang menyatukan hubungan atau interaksi melalui praktik perdagangan. Salah satunya adalah dengan metode barter,” ujarnya.
Menurut Fadriah, konstruksi sosial juga sudah dibangun meskipun masih menggunakan pendekatan isyarat berbahasa. Tetapi kongsi perdagangan merupakan prioritas, terutama pada hasil bumi, pala, cengkeh dan coklat yang tidak hanya dipakai sekadar perjanjian jual-beli saja.
“Bahkan sampai pada perjanjian hubungan yang paling dekat, seperti perkawinan silang yang dikenal sebagai akulturasi kebudayaan,” ungkapnya.
Setelah melalui satu periode 1999 sampai 2004, nilai Makududara dihadirkan kembali melalui ingatan visual yang diilustrasikan saat ini. Bagaimana rasa percaya dan sikap toleransi dipraktikkan lebih rekonsiliatif. Praktik ini mengungkap kondisi pedagang dan petani rempah dalam menjalani hubungan yang terpelihara sampai sekarang.
“Begitulah esensi Makududara yang sebenarnya. Esensi ini kemudian dituangkan dalam visual melalui penelusuran riset dalam metode artistik sebagai arsip yang tidak biasa,” ujarnya.
Ia menambahkan, selain pameran foto, kegiatan seperti diskusi tentang bagaimana perspektif hubungan dengan kondisi-kondisi sosial usai konflik 1999 di Ternate.
“Kemudian Lecture Performance yang merupakan pertunjukkan dengan menggunakan metode penjelasan langsung dari petani rempah melalui pendekatan agronomi juga dilakukan,” pungkasnya.