Ketika Belanda kalah perang melawan rakyat Aceh dan mengalami kerugian besar, mereka mengirim Christian Snouck Hurgronje pada tahun 1891, menyamar sebagai muslim, dan meneliti orang Islam Nusantara di Mekkah selama enam bulan (Dhofier, 2011).
Dalam keadaan terdesak dan ancaman menimpa, peran Snouck membuahkan alternatif strategi “penghancuran dari dalam” paling ampuh.
Belanda perlu tahu apa dasar para milisi Aceh berjuang mati-matian. Hurgronje menerangkan di kalangan masyarakat muslim Nusantara tumbuh spirit sangat mendasar, dimana ulama dengan ajaran Islam Jihad Fisabilillah adalah poros utama, jantung dari seluruh kekuatan berlawan.
Dalam Hikayat Perang Sabil, orang Aceh merumuskan tiga poin penting yang diterima sebagai tiga tiang penyangga agama; pertama, iman kepada Allah SWT, kedua, sembahyang, dan ketiga, perang melawan Belanda (Buku Kompas, 2017).
Ia meninggalkan kesan supaya “berbaur” dengan rakyat, tetapi juga membatasi gerak-gerik ulama dalam menyalakan api perjuangan. Metode etnografis dari Hurgronje berhasil mengantarkan Belanda memegang kendali Aceh tahun 1904, dan menganggap pemerintahan mereka menundukkan Nusantara (Vlekke, 2010).
Perlu digaris-bawahi bahwa ajaran ulama tidak datang dari dan bukan disebarkan melalui ruang kosong. Orang Aceh memanfaatkan Dayah, jenis lembaga pendidikan agama yang sejak lama terbentuk di setiap kampung di Aceh. Berkat konsolidasi lembaga inilah, rakyat Aceh di pelosok-pelosok saling mentransmisi pengetahuan agama, memperdalam iman, dan memperteguh ideologi gerakan melawan kolonial Belanda.
Untuk mengalahkan orang Indonesia, urusan agama dan kultural dicampuri sampai ke akar-akarnya, termasuk membunuh mentalitas Nusantara dari tipikal masyarakat kepulauan/maritim ke corak masyarakat agraris (Dhofier, 2011; Farid, 2014; Vlekke, 2010).
Saya membaca jajahan paling utama bangsa Belanda adalah jajahan pengetahuan dan mental/keyakinan, dengan cara menghancurkan struktur dasar kebudayaan orang Indonesia.
Masyarakat Nusantara telah membentuk pusat peradaban dengan membekali diri sejak dini berdasarkan nilai-nilai agama Islam melalui lembaga kultural. Di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, tipikal lembaga tradisional Islam ini disebut Surau. Sedangkan di Pulau Jawa dinamakan Pesantren, kemudian di Aceh mengenalnya sebagai Dayah, dan di Ternate berlangsungnya Pangaji.
Institusi lokal itu tidak lepas dari kemampuan tokoh/ulama/Kyai/joguru/imam/sultan mengakomodasi nilai-nilai kultural.
Historiografi Bias Jawa
Latar belakang sosio-historis dari keragaman struktur dan kekayaan pengetahuan bangsa ini menjadi sangat penting untuk ditampilkan dalam panggung Indonesia modern.
Kurikulum dalam Pangaji adalah oase pendidikan agama, yang berkontribusi membangkitkan spirit berlawan dan pendidikan kebangsaan Nusantara. Namun, diseminasi pengetahuan tentang Pangaji sama sekali tak terlacak bersama teropong pendidikan generasi di tengah ketimpangan penulisan sejarah nasional dan agama di Indonesia.
Sejak Orde Baru, sejarah ditulis menurut kepentingan penguasa yang bias Jawa. Kita masuk dalam labirin Jawasentris. Akhlak perjuangan para Sultan dengan kekuatan aqidah Islam membentuk mentalitas bangsa hanya menjadi “sejarah pinggiran”, tanpa tekad yang kuat menyebarkan ideologi gerakan pembebasan dari tanah Maluku yang heroik dan cerdas itu di Nusantara.
Karena otoritarianisme Orde Baru, anak-anak di wilayah timur dipaksa belajar sejarah bias Jawa di sekolah-sekolah formal. Ramuan “kurikulum otoriter” membuahkan generasi a historis, mudah terprovokasi, cepat lupa, gampang diadu-domba, dan kita kehilangan jalan pulang kultural ketika mendesain pendidikan yang memungkinkan dinyalakannya api perlawanan terhadap praktek ketidakadilan.
Hegemoni pengetahuan berdampak pada generasi seangkatan saya (mungkin juga anda) lebih familiar mendengar nama-nama seperti Majapahit, Gadjah Mada, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dari pada Sultan Baabullah, Rubohongi, Sultan Nuku, Salahuddin, Banau, Zainal Abidin, Sultan Iskandar Muhammad Djabir, Dano Hasan, Yasin Gamsungi, Om Saw, dan masih sangat banyak.
Mereka yang disebut terakhir (tokoh timur) adalah manusia Maluku Utara bernyali seribu, tetapi juga taat agama, dan komitmen menjaga kedaulatan negeri. Sudah sangat lama negara “mencuci otak” kita menjadi generasi yang patuh, tanpa tanya. Kita terkubur dalam memori kolektif yang semata patuh terhadap negara modern. Sejarah kita “dibumi-hanguskan” dari kurikulum pendidikan formal.
Padahal, ada akar kultural berbasis agama paling kokoh di Moloku Kie Raha yang membuat bangsa ini besar dan disegani penjajah/Eropa. Harus ada proses debunking, demikian kata Peter L. Berger, untuk merekontruksi kembali historiografi yang benar-benar merekam jejak pengetahuan dan perjuangan dalam ingatan kolektif (colectif memory) orang Moloku Kie Raha.
Sidego Pangaji dan Counter Hegemoni
Pada waktu Sultan Zainal Abidin Sjah memimpin Ternate (1486-1500), beliau mereformasi total struktur kerajaan Ternate berciri khas kesultanan Islam. Selain itu, sang Sultan mengonsolidasikan pembentukan lembaga agama. Gerakan ini disebut Sidego Pangaji, merupakan langkah kultural paling spektakuler di zamannya, karena melibatkan banyak perangkat adat dan agama dengan Jo Kalem sebagai koordinator.
Konfrontasi fungsi adat dan agama menemukan mementum yang tepat. Dalam gerakan tersebut, Sultan bersama bala (rakyat) berhasil membangun sebanyak 42 Pangaji (Kiemalaha Labuha, Forum FGD 2023, “Pangaji; Struktur dan Polarisasi Siar Islam di Maluku”).
Pendidikan Pangaji, seperti juga dalam Surau dan Pesantren, dimana anak-anak murid (ngofa ngaji/santri) sangat menghargai guru ngaji (Ternate; khalifah, Jawa; Kyai).
Ada metode heja dan rawa dalam Pangaji, yang di Pesantren dikenal sistem sorogan dan bandongan. Dalam sistem tradisional Pangaji, tidak ada pemisahan (kelas). Tidak diberlakukan ketentuan waktu dan batas usia. Ukuran keberhasilan dan lamanya mengaji tergantung disiplin peserta mengikuti ajaran khalifah (Vebrina, 2020).
Tetapi, ada keutamaan, bahwa hal pertama yang diperkenalkan oleh khalifa adalah fael (adab), dengan pelajaran mengenai istinja atau thohara (bersuci) sebagai nilai agama (Laporan Yayasan Pustaka Pangaji, 2023).
Pengajaran figh dan syariat seperti ini juga diberlakukan dalam Surau, Pesantren dan Dayah. Bedanya, pada nama dan praktek budaya di luar sistem pengajaran. Misalnya di Surau, sistem matrilinial yang kental pada masyarakat Minangkabau, maka anak laki-laki yang sudah dewasa diwajibkan tidak menempati kamar di dalam rumah. Apalagi jika di rumah itu ada saudari perempuan, ia harus pergi ke Surau, tradisi itu menghasilkan banyak anak laki-laki tidur dan belajar di Surau (Azra, 2017).
Tan Malaka, Muhammad Yamin merupakan generasi hebat hasil terpaan Surau di Sumatera. Jika di Pesantren lebih dikenal “membaca kitab” dengan nama sistem bandongan (Dhofier, 2011), maka di Pangaji dikenal “baca lefo” dengan sistem durusu (Laporan Yayasan Pustaka Pangaji, 2023).
Keduanya sama merupakan tingkatan belajar yang dilakukan guru dan murid, terutama murid-murid dewasa dan berkeinginan tinggi menggali pengetahuan agama lebih ke dalam. Sultan Baabullah (1528-1583) yang perkasa dan bermental kesatria mengusir Portugis itu, juga sebagai ulama, adalah hasil didikan Pangaji.
Melalui Pangaji, Islam diajarkan dan menjadi daya dobrak penyiaran Islam di bawah kesultanan. Sultan Baabullah sebagai diplomat cum ulama mengonsolidasikan pendidikan Pangaji secara besar-besaran dalam perlawanan Ternate atas Eropa/Portugis (Baca; “Riwayat Perjuangan Baabullah Mengusir Portugis dari Nusantara”, 2020).
Multifungsi Pangaji dapat dipahami dalam peristiwa kepahlawanan Baabullah yang hidup di masa suburnya realisme politik Eropa. Spirit Eropa adalah menjajah dan menguasai. Leonard Andaya (2015) menjelaskan kedatangan bangsa Eropa ke Maluku sejak awal 1500-an ikut membawa misi balas dendam atas kekalahan mereka dalam Perang Salib.
Hanya saja, sejarah konvensional menuliskan tujuan kedatangan sebatas pencarian rempah semata.
Misi agama itu dikemas melalui pendidikan jesuit Katolik Roma di bawah pemimpin Antonio Galvao yang memperkenalkan aksara latin pada masyarakat Maluku pada tahun 1536.
Sebagaimana Koentjaraningrat (1984) menuliskan bahwa sistem sekolah modern ala Eropa sudah ada sejak berdirinya Sekolah Katolik untuk anak-anak yang punya status sosial di Ternate tahun 1536 (Laporan Yayasan Pustaka Pangaji, 2023).
Dalam konteks tersebut, sejarah harus diterjemahkan di luar teks. Oleh karenanya, meminjam istilah Antonio Gramsci, konsolidasi siar Islam melalui pendidikan Pangaji oleh Sultan Baabullah dapat dipahami dalam rangka counter hegemoni terhadap penetrasi luas sekolah Khatolik di Maluku, mengembalikan wacana pendidikan rakyat sesuai dengan karakteristik pengetahuan dan politik kesultanan bernafaskan Islam.
Setelah Portugis, misi agama diteruskan oleh orang Belanda, penganut Calvinis Puritan, fanatik, dan menganggap agamanya saja yang benar, serta menentang agama lain (Dhofier, 2011; Andaya, 2015).
Sejak 1651, Belanda membatasi pertumbuhan Islam dan membatasi peran ulama, melarang pertemuan terbuka, hingga pencabutan resolusi tahun 1852, namun diikutsertakan kewajiban pemimpin di pelbagai wilayah pemerintahan, mengawasi ketat semua haji, dan wajib menyerahkan daftar nama-nama yang berangkat ke, dan baru pulang dari Mekkah (Jacob Vredenbregt, dalam Dhofier, 2011).
Pembatasan ini bukan berarti hilang vitalitas lembaga pendidikan agama di tingkat lokal di bawah naungan kerajaan-kerajaan Nusantara. Tatkala Terusan Suez dibuka, berdampak pada lonjakan jumlah orang-orang Islam untuk pergi ke Mekkah.
Ketika Snouck Hurgronje meneliti di Mekkah tahun 1891, jumlah orang Indonesia di Arab Saudi tidak kurang dari 5.000 orang belajar ilmu agama di Mekkah (Dhofier, 2011).
Bersamaan ini, bermunculan pendirian lembaga tradisional di Nusantara. Karena kondisi itulah, Snouck merancang rekayasa pendidikan modern Eropa untuk diberlakukan di wilayah jajahan Belanda.
Transisi pemikiran dan intelektual Islam dan kebangkitan nasionalisme tak bisa dilepaskan dari kemenangan kaum liberal dalam parlemen Belanda akhir 1800-an, menghasilkan “politik etis”, meluaskan cakupan pendidikan formal kepada warga Indonesia (Azra, 2017; Vebrina, 2020).
Berkembangnya sistem sekolah modern ala Eropa dan pertumbuhan madrasah akibat pembaruan pemikiran Islam Timur Tengah ke Indonesia menjadi sisi lain yang mendinamisasikan pendidikan di lembaga tradisional (Vebrina, 2020).
Namun, tokoh-tokoh lulusan sekolah ala Eropa tidak kehilangan sensivitas kebangsaan, mereka lalu bekerja-sama dengan para ulama atau pemimpin agama yang lahir dari rahim pendidikan tradisional memerdekakan bangsa ini. Berkat mentalitas dasar, identitas proses kebangsaan itulah, mengantarkan bangsa ini kokoh dengan kesultanan-kesultanan di bumi Nusantara. Pangaji menjadi bagian integral dari perangkat historis itu untuk kita bawa ke dalam upaya merawat kemurnian Islam Nusantara, khususnya dengan falsafah Jou se Ngofa Ngare, sebagai interpretasi ajaran Sufisme yang sekian lama berlaku di kawasan ini.
Lefo; Butuh Rekayasa Kultural, Bukan Konflik Jabatan
Laporan riset Yayasan Pustaka Pangaji (YPP, 2023) dengan judul “Pangaji; Monumen Kebudayaan yang Terancam Punah”, menemukan fakta tentang Pangaji di dua wilayah, yaitu Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat. Bagian tulisan ini akan banyak dielaborasi dari riset tersebut. Pilihan meneliti di dua wilayah dilatari alasan cukup menarik.
Secara lingusitik, mayoritas orang Halmahera Barat yang bermukim di pesisir menggunakan bahasa Ternate sebagai bahasa Ibu (lingua franca), dan sebagian masyarakat berbahasa Gamkonora (di wilayah Kecamatan Ibu dan Ibu Selatan) sebagai lingua franca, juga penutur (tidak aktif) bahasa Ternate.
Nunik Kleden dan Imelda (2011) menyebut bahwa di antara penutur bahasa Gamkonora, mereka juga mengetahui kosa kata bahasa Ternate. Penetrasi bahasa Ternate juga dijumpai melalui doa-doa atau kabata yang hidup temurun di Gamkonora.
Aspek sejarah memungkinkan penelusuran praktek Islam melalui media Pangaji di kedua wilayah lebih mudah, karena salah satunya, Islamisasi di Susupu dilakukan berkat jaringan pedagang Arab.
Selain Susupu, jalur dakwah muballig Arab bermarga Albaar di Kota Ternate dan Pulau Hiri, juga melakukan siar Islam di kawasan Payo, Bobo, dan Syaria, yang mana di sini adalah pusat interaksi berbahasa Ternate (Bab II Laporan YPP, 2023).
Tetapi perlu diperhatikan, sekarang ini, adab menghormati antara guru dan murid sudah tidak lagi dijadikan pedoman. Pada generasi yang belajar di Pangaji tahun 1980-an ke bawah, mengaku mereka dulu sangat takut dan hormat terhadap guru ngaji atau khalifa.
Ini dikatakan oleh sejumlah guru ngaji/ustadz pada lembaga TPQ yang dijadikan informan riset, dimana mereka ini dulunya belajar Islam melalui Pangaji.
Kasman Hi. Ahmad dalam diskusi bertemakan “Budaya Islam Moloku Kie Raha (2021) di Pandopo Kesultanan Ternate, mengatakan Pangaji sebagai konsep pendidikan holistik. Jika sekolah modern mengenal metode induktif dan deduktif, maka di Pangaji menerapkan kurikulum; ‘Tike rimoi toma dofu madaha, tike dofu toma rimoi madaha”.
Sejauh diperkenalkan, sistem Pangaji bukan semata “menyebut” huruf hijaiyah, tetapi dimensi yang lebih ke dalam, Pangaji mengajarkan makna “alif”, hakikat “alif” itu apa? Maka metode “heja” di Pangaji merupakan bentuk tahap penggalian makna berketuhanan secara mendalam yang dilakukan (diucapkan) berulang-ulang (Bab III Laporan YPP 2023).
Metode ini menjadi kodefikasi pengetahuan tentang Islam yang tersembunyi, diperkenalkan sejak usia anak-anak, sekaligus menguatkan argumen bahwa Islam yang diajarkan di bawah kesultanan Ternate adalah Islam tasawuf.
Seperti pengakuan para sejarawan Islam di Indonesia yang menyebut bahwa Islam yang mula-mula masuk ke Nusantara merupakan corak Islam tasawuf (Azra, 2013). Membicarakan Pangaji berarti mempertanyakan bagaimana komunikasi siar Islam di masa lalu.
Dalam Pangaji mengenal “Lefo” sebagai “kitab” pembelajaran. Lefo sendiri berisi catatan-catatan yang memuat banyak ilmu agama, yang dapat digolongkan sebagai manuskrip/naskah kuno keagamaan Nusantara. Lefo atau naskah kuno keagamaan di daerah Maluku adalah ciri khas pembeda budaya Islam Ternate dengan daerah lain di Nusantara.
Menurut Akademisi IAIN Ternate peminat Sastra Arab, Rahmat, terdapat tiga kategori naskah yang cenderung ditemukan dalam penelusuran siar Islam, khususnya di Moloku Kie Raha.
Pertama, naskah berbahasa Arab (berupa kitab turats) yang diperoleh mursyid, syekh atau guru-guru agama yang pernah belajar langsung di Mekkah. Naskah-naskah jenis ini memiki tentu memiliki struktur gramatika Arab yang bagus, naskah-naskah ini tidak jarang juga didapati tambahan catatan penjelasan dari pemilik naskah baik itu menggunakan Bahasa Arab maupun aksara pegon berbahasa Melayu juga Ternate.
Kedua, naskah beraksara pegon. Naskah ini ada yang berbahasa Ternate, ada yang berbahasa Melayu, dan ada juga yang berbahasa Melayu-Ternate. Ketiga, tulisan Arab yang tak lagi sesuai dengan gramatika bahasa Arab secara penulisan, tapi ketika naskah jenis ini dibaca sekilas tidak ditemukan kesalahan dalam bacaan (Bab III Laporan YPP. 2023).
Rahmat menduga, naskah terakhir di atas adalah catatan para murid ketika belajar di hadapan guru dengan sistem belajar talaqqy dan tasmi’ (mendengar, menghafal, mencatat langsung di hadapan guru).
Naskah jenis ketiga ini merupakan naskah catatan hafalan yang didapatkan saat belajar, naskah tersebut merupakan koleksi pribadi yang tidak diperuntukkan untuk disebarluaskan. Dan rupanya itu yang berlaku dalam sistem Pangaji, dimana seorang murid (ngofa ngaji) “mendengar” dan “menghafal” yang diucapkan oleh khalifa secara langsung (Bab III Laporan YPP, 2023).
Di atas semua itu, saya tercengang membaca temuan Yayasan Pustaka Pangaji, bahwa saat ini, Pangaji dengan sistem pengajarannya yang khas berada diambang kepunahan, di Kota Ternate maupun di Halmahera Barat.
Pelan-pelan, Pangaji tergerus penetrasi Pesantren dan TPQ. Di wilayah Kota Ternate, dari 27 guru ngaji yang diwawancarai, terdapat 14 TPQ, 11 Pangaji, dan 2 “tak diketahui”. Mirisnya, ancaman kepunahan ini justru terletak di basis-basis adat.
Takome misalnya, sebagai kampung tua, Pangaji sudah tidak ada lagi. Di Ternate Pulau, Ternate Barat dan Ternate Utara, Ternate Selatan dan Ternate Tengah, TPQ tumbuh pesat.
Ditemukan di Rua, guru ngaji mengomparasikan materi Pangaji dan Iqra. Di Pulau Hiri masih ada 3 Pangaji, 2 masih dengan pondok yang kini 1 mulai rusak, dan 1 lainnya memanfaatkan rumah warga yang begitu sempit (Lampiran Laporan YPP, 2023).
Di Halmahera Barat, kemunculan Pesantren di daerah Jarakore telah menarik antusias anak-anak, sehingga kantong-kantong pengajaran Pangaji mengalami penurunan peminat. Di desa Talaga, sebuah TPQ pernah dibangun, tetapi karena pengelolanya dirasa kurang tepat, maka para orang tua memilih mengembalikan anak-anak mereka kepada seorang guru ngaji yang memakai metode Pangaji di teras rumah (Bab IV Laporan YPP, 2023).
Secara umum, terdapat tiga struktur besar yang mempengaruhi. Pertama, kesultanan tidak punya program struktural terkait pengembangan Pangaji.
Kebanyakan tokoh adat lebih disibukkan “membela”, dari pada menjalankan fungsi pendidikan dan politik kebudayaan Islam terhadap bala. Kedua, pertumbuhan lembaga TPQ sebagai semacam lembaga “intern” yang didukung kebijakan pemerintah dan madrasah menjadi fakta lainnya.
Anak-anak usia SD/SMP/SMA, bahkan mahasiswa lebih familiar mendengar nama TPQ dengan metode Iqra, daripada sebutan Pangaji. Di sini, letak lemah kurikulum pendidikan modern yang mendepak anak-anak dari pengetahuan, adab, dan fungsi Pangaji bernuansa identitas luhur.
Adalah bagian kealpaan pemerintah memproteksi kebijakan kebudayaan di negeri ini. Ketiga, melemahnya proses dan kontrol sosial masyarakat. Pada taraf keluarga, secara nyata anak-anak lebih doyan bermain “game”, dari pada memegang Juz Amma.
Jangan anggap sepele. Ini tugas besar dan utama dari kesultanan maupun pemerintah daerah. Selama kesultanan dan pemerintah hanya berurusan politik praktis berebut jabatan dan mengamankan posisi di birokrasi, nilai-nilai kultural bernafaskan Islam akan semakin rapuh di negeri “Auliya”.
Di tingkat universitas, diperlukan pengejawantahan visi Islam kepulauan secara serius. Ruh kesultanan dan daerah ini harus dihidupkan melalui pendidikan kebudayaan dan Islam. Sultan Baabullah dan Sultan Zainal Abidin Sjah telah meletakkan dasar.
Tugas kita sekarang, menghadirkan rekayasa kultural. Butuh “Snouck Hurgronje” di zaman ini, menghidupkan budaya lefo, bukan berkonflik jabatan dan posisi bertahun-tahun atas nama siapa yang layak sebagai Sultan dan wali kota. Pendidikan Pangaji adalah oase, kompas untuk “melahirkan” generasi yang berprinsip, bermartabat, dan berperadaban. Kini, semuanya memudar.
__________
Penulis: Wawan Ilyas | Pemuda Hiri