Menjadi musisi bukan sekadar bermusik, tetapi ada yang perlu dikembangkan, dipelajari, riset, hingga mampu menampung orang untuk mampir dan mendengarkan musik yang kita mainkan.
Proses itu tidak mudah, hari ini, salah satu musisi lokal asal Ternate, sebenarnya penulis tidak mengingginkan memakai kata lokal, karena itu hanya membedakan-bedakan, musisi timur apalagi, penulis lebih akrab menyebutkan musisi nasional atau Indonesia, biar menyeluruh.
Ya. Mereka band yang dibentuk sejak lama, Eross Vokal bilang Treeshome awalnya bersama Fano-Basis mendirikan pada tahun 2015, namun 2016 mereka hijrah dari Tidore ke Ternate, dibentuklah formasi baru; bersama beberapa personil, yaitu; Jojo drum, Koko gitar, Eros vokal, Vano basis, Teguh musikalisasi puisi, Bams (Presiden Tidore) Hip-hop.
Formasi itu tidak bertahan lama; Eross kemudian berubah formasi, dengan memasukan Dhana drum, dan Aldy gitar, persoalan pergantian personil adalah dinamika bermusik yang sudah menjadi bagian dari cerita anak Band, bisa jadi karena ketidakcocokan dalam bermusik.
Treeshome sendiri band yang sebenarnya lahir dari lingkaran skena komunitas, yang kebutulan di dalamnya pegiat komunitas yang punya jiwa musisi dan skill dalam bermusik, hingga komposisi bermusik makin terasa. Kecocokan dalam formasi baru itulah, menambah bumbu genre musik yang memberikan sentuhan musik Treeshome mulai berbeda.
Kehadiran Dhana cukup membuka perspektif baru soal musik Treeshome, dengan menunjukan daya skill dan insting bermusik yang memberikan sentuhan musik Treeshome mulai terasa energinya; dimulai dari lirik hingga instrumentalnya, band ini juga cukup unik, kita juga tidak hanya dimanjakan lewat lirik lagu, akan tetapi ada penggalan musikalisasi dari Teguh yang membawa irama menjadi sedikit berbeda, kadang-kadang membuat merinding, namun pada saat yang lain membuat kita lebih hening.
Emosi dan nuansa bermusiklah yang menjadikan semangat band ini tetap hidup, mengapa penulis begitu terangsang menulis soal Treeshome, karena ada hal lain yang membuat kita akan memasuki cerita lebih jauh, menariknya, ada satu lirik lagu Treeshome yang cukup membawa emosi mendengar, judulnya ”ruang-sesaat” lirik lagu ini adalah pengalaman dan kisah nyata penulisnya, lirik yang ditulis oleh Eross, pengalaman di dalam lagu tersebut membawa kita untuk lebih rehat, berpikir, dan merenung, di tengah lagu ini Eross menulis; pernah ku bermimpi seatap denganmu, membelai rambutmu di setiap malamku.
Lirik tersebut, sebenarnya sebuah luapan kejujuran penulis, atas kesalahan yang sebenarnya terjadi, dimana seorang yang perempuan yang dimilikinya akhirnya menikah dengan orang lain, sebab mengapa keputusan untuk menikah dengan orang lain, hanya penulisnya yang mengetahuinya, akan tetapi menariknya lagi; di akhir bait lagu ini Erros bilang; semesta ku berdoa, hingga esok datang lagi, seakan mendung ini ku ingin melihat senja lagi.
Kisah dalam lirik akhir lagu ini bukan sekadar ketulusan melainkan sebuah harapan dan doa. Itu sebab mengapa sang penulis lagu, ketika membawakan lagu tersebut, di panggung-panggung yang pernah dia pentaskan, jika diperhatikan ada rasa dari dalam yang membuat lagu ini sering terhenti di tengah-tengah perjalanan.
Ruang Sesaat, jauh berbeda dengan Komang. Jika Komang adalah representasi kekasih dari istrinya dari Raim Laode yang berdarah Bali. Jelas lagu komang adalah spirit rasa cinta Raim Laode pada istrinya, justru Ruang Sesaat, terbalik 180 derajat, bagaimana membawa kita pada intisari dari sebuah pengorbanan atas pilihan seorang yang kita cintai.
Kita akan sampai dan berlama-lama untuk memenuhi energi, bahwa Eross bukan sedang menciptakan lagu semata, akan tetapi barangkali membawa sebuah usaha cita-cita atas pergolakan batinnya, penulis berasumsi; lagu tersebut, sedang menujukan rumahnya, apalagi penulis lumayan memahami watak dari si penulis lagu tersebut. Akhirnya lagunya telah sampai pada pendengarnya, dan hari ini masih dalam proses editing dan komposisi agar segera sampai pada pendengar dengan versi terbarunya.
Kini Treeshome telah menujukan hal baru dari sebuah cerita bermusik di Maluku Utara, musik bukan sekadar sampai di telinga, bernyanyi, atau sekadar menikmati, jauh dari harapan itu, musik harus berlama-lama harus menjadi lirik dan bunyi yang memberikan pengertian baik pada dinamika sosial masyarakat; satu hal yang penulis yakin bahwa band ini akan besar dengan genre musiknya, karena buat apa kita kita menciptakan lagu, nada, lirik, tetapi orang-orang di sekeliling masih menderita dan lapar; Habib Jafar pernah bilang, pengertian musik adalah sendok yang kau pakai ketika makan bersentuhan melahirkan bunyi sementara tetanggamu kelaparan.
Treeshome bukan sekadar genre musik bisa jadi sampai pada kesimpulan itu, musik untuk menghidupkan sesama, ada kolaborasi di sana, adan skena yang hidup di sana hingga mereka tumbuh dan berkembang.
Modal utama dari tulisan ini, sebenarnya memberikan petunjuk pada musisi di Maluku Utara terutama generasi milineal, bahwa bermusik; bukan hanya sekadar ingin mencari popularitas, pengakuan, ingin dikenal orang, bermusik bukan hanya bermodalkan skill yang bagus, suara yang enak, bukan hanya soal attitude.
Akan tetapi jauh dari pada itu; memberikan kesadaran bermusik, membawa kita pada kesimpulan tentang rasa memiliki atas karya sendiri, harus memiliki Harmoni dari manifestasi di dalam eksistensi dan media antara Tuhan dan manusia. Itu mengapa John Lennon bisa dikenal sampai hari ini. Hal yang sama juga dikatakan Tasawuf Mistis asal india Hazrat Inayat Khan dalam bukunya; dimensi mistik, musik, dan bunyi bahwa musik itu harus membawa kita pada kesadaran Ilahiyah, membawa kesadaran atas peristiwa sosial, masyarakat, dan spiritualitas.
Barangkali penulis ingin menyampaikan demikian; band Treeshome sebentar lagi akan diberikan kesempatan untuk manggung di prambanan Jazz pada 7 Juli 2023, sebuah upaya dari hasil kerja keras untuk bisa tampil di panggung Internasional tersebut.
Langkah ini, wajib diberikan support terutama bagi musisi dan pegiat kesenian di Maluku Utara. Dengan menunjukan satu bentuk kolaborasi tersebut, penulis yakin support system para pelaku industri musik di Maluku Utara bakal bangkit, kita perlu belajar dari Alm. Herman Sikumbang musisi asal Tidore yang membesarkan band Seventeen, karir dalam bermusik adalah keseriusan menggeluti, bagaimana Herman sampai pada perjalanan akhirnya; harus berpulang dalam usia muda ketika manggung terakhir di pantai Tanjong Legung Banten, di sanalah beliau sampai pada akhir dari perjalanan bermusiknya.
Artinya, perjalanan dari sebuah peristiwa, hingga ajal menjembut adalah urusan Tuhan dan hambanya, akan tetapi bermusik adalah kompleksitas yang padat, jika kita hanya sekadar bermusik ala kadar, lebih baik berhentilah menjadi musisi, dan bekerja di tempat lain.
Penulis melihat seberapa jauh musisi Maluku Utara, mampu memberikan support system-nya, bangkit dan memberikan semangat baru bagi ruang kolaborasi. Seberapa hidup mereka dalam karya-karyanya, semoga tulisan ini sampai pada pembaca, terutama mereka yang setia dalam kerja-kerja kesenian dan kebudayaan.
Musik adalah bunyi yang tersembunyi biarkan pembaca menarasikan hal tersebut sebagai simbol kekuatan bermusik. Dari perjalanan Treeshome sebenarnya kita bisa menyimpulkan bermusik adalah titik awal dari nilai-nilai ketulusan dan modalnya adalah kejujuran dalam karya. Sebagaimana Eross yang mampu berdamai dengan lirik lagunya sendiri. Semoga.
___
Penulis: Teguh Tidore – Pegiat Literasi