Ternate, HN – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ternate berkolaborasi dengan Google News Initiative pada Sabtu-Minggu, 10-11 Juni 2023, melaksanakan Pelatihan Mis-Disinformasi di Safirna Transito Hotel, Kota Ternate.

Pelatihan ini menghadirkan dua pembicara atau trainer, yakni Zainuddin Muda, akademisi Ilmu Komunikasi UGM, dan Inggried Dwi Wedhaswary, jurnalis Kompas.com. Selain itu, ada 25 peserta dari berbagai media massa yang ikut dalam pelatihan tersebut.

Zainuddin Muda dalam kesempatan itu mengatakan, manipulasi informasi masih selalu menjadi masalah dalam setiap momentum politik. Sehingga itu, jurnalis dituntut untuk benar-benar ketat dalam melakukan verifikasi terhadap setiap informasi.

“Media sosial boleh jadi sumber pemberitaan, tapi tetap verifikasi,” ucap Zainuddin.

Ia menjelaskan, literasi politik atau literasi pemilu sangat penting dan itu juga bagian dari tugas jurnalis, yakni menghadirkan berita yang dapat dipertanggungjawabkan dengan verifikasi yang luas.

Apalagi dalam momentum politik, verifikasi terhadap informasi menjadi bagian yang tak boleh dilewatkan oleh seorang jurnalis. Contoh kasusnya, seperti yang terjadi pada Pilpres sebelumnya, yakni Jokowi dan Prabowo kerap menjadi sasaran dari serangan politik identitas.

Sehingga di situlah peran media massa untuk mengecilkan dampak-dampak negatif yang lebih besar dari beredarnya ‘manipulasi informasi’ di jagad media sosial.

“Namun, kehadiran media partisan akan menggerus kepercayaan publik terhadap media. Hal itu karena media partisan kerap bekerja tidak berdasarkan kaidah jurnalistik,” ungkapnya.

Ia lantas memaparkan, untuk melawan gangguan informasi tersebut, maka jurnalis harus memberikan informasi yang kredibel. Sebab informasi yang kredibel akan menjadi pedoman untuk mengedukasi pemilih.

“Jika ada keraguan, maka sebaiknya menahan berita (sampai memiliki informasi yang faktual). Hal itu karena kecepatan (penayangan berita) selalu saja tidak berbanding lurus dengan ketepatan,” katanya.

Sementara itu, Inggried Dwi Wedhaswary menjelaskan dari aspek informasi berbasis digital yang kerap menjadi bagian paling urgen dalam kontestasi politik.

Salah satu yang tengah menjadi buah bibir adalah penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau dikenal dengan kecerdasan buatan.

“Artificial Intelligence atau kemajuan teknologi saat ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan apapun, termasuk untuk momentum politik pada 2024 nanti,” ucap Inggried.

Ia menyebutkan, kemajuan teknologi saat ini tentu akan menjadi tantangan yang lebih besar bagi pekerja jurnalis. Tantangan itu bisa berupa gangguan informasi.

“Ada tiga jenis gangguan informasi, yakni misinformasi, disinformasi, malinformasi. Dan ketiga itu masuk dalam ranah kerja-kerja Cek Fakta,” jelasnya.

Sekadar diketahui, misinformasi adalah informasi yang memang tidak benar atau tidak akurat, namun orang yang menyebarkannya berkeyakinan bahwa informasi tersebut dapat dipercaya.

Disinformasi adalah informasi yang juga tidak benar, namun memang direkayasa sedemikian rupa oleh pihak yang berniat membohongi masyarakat, sengaja ingin mempengaruhi opini publik dan lantas mendapatkan keuntungan tertentu darinya.

Sedangkan malinformasi adalah informasi yang penyajiannya dikemas sedemikian rupa untuk melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lain atau kondisi tertentu, ketimbang berorientasi pada kepentingan publik.

“Fenomena internet memang ikut mengubah wajah kampanye politik. Hal itu karena orang-orang lebih mudah memanfaatkan ruang maya atau digital. Di era internet, mereka dapat menyasar kelompok-kelompok kecil atau khusus, seperti di grup-grup media sosial,” paparnya.

Ia mengatakan, ada juga dua jenis kampanye saat momentum politik, yakni kampanye negatif dan kampanye hitam.

Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye negatif disebutnya lebih pada mengumbar kelemahan daripada lawan politik. Sementara kampanye hitam cenderung menyampaikan tuduhan-tuduhan palsu.

Sementara itu, Ketua AJI Kota Ternate, Fikram Salim, menambahkan jurnalis menjadi bagian paling penting jelang pemilu, karena akan banyak misinformasi, hingga malpraktek pemilu.

“Kegiatan ini bertujuan agar jurnalis ikut menyediakan konten-konten terkait misinformasi pemilu di newsroom. Harapannya peserta yang sudah dilantik cek fakta bisa memberikan pemahaman informasi yang benar dan tidak,” pungkas Fikram.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *