Ternate, HN – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) secara resmi menyurati dua institusi penting terkait investasi pasar modal dan keuangan, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis, 30 Maret 2023.

Hal itu terkait penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) oleh PT Trimegah Bangun Persada atau sebuah perusahaan tambang nikel milik Harita Group, yang beroperasi di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Berdasarkan siaran pers JATAM, dalam surat tersebut terdapat sepuluh poin penting yang disodorkan, yakni IPO saham PT Trimega Bangun Persada yang berlangsung di tengah meluasnya kerusakan lingkungan dan derita warga di Kawasi.

Koordinator JATAM, Melky Nahar, dalam rilisnya mengungkapkan, operasi PT Trimegah Bagun Persada bersama PT Gane Sentosa Permai, PT Halmahera Persada Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel di Pulau Obi itu berada di bawah naungan Harita Group.

“Sejumlah perusahaan ini telah meluluhlantakkan wilayah daratan, lahan perkebunan warga, mencemari sumber air, air sungai, dan air laut, mencemari udara akibat debu, dan polusi yang berdampak pada kesehatan warga, hingga memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya,” kata Melky, Jumat, 31 Maret 2023.

Menurutnya, pencaplokan lahan secara sepihak ini juga dilakukan oleh PT Trimegah Bangun Persada, bersama sejumlah perusahaan lainnya milik Harita Group, tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil. Hal ini setidaknya dialami Lili Mangundap, dan empat keluarga pemilik lahan di Kawasi.

“Jadi, ganti rugi paksa dilakukan perusahaan itu hanya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Selatan Nomor 117 Tahun 2017 yang mengatur harga untuk tanaman jambu, dengan rincian per satu pohon jambu berbuah dihargai Rp 75.000, tidak berbuah Rp 35.000, dan yang kecil atau anakan seharga Rp 6.000. Sementara di luar jenis tanaman itu dianggap tidak bernilai secara ekonomis,” jelasnya.

Ia menjelaskan, seluruh sumber air warga Kawasi juga telah tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Akibatnya, warga yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis, kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar.

“Terkonfirmasi juga telah terjadi pencemaran ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Kawasi, Pulau Obi. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan mengarah ke laut, hasilnya menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan tercemar logam berat,” jelasnya.

Selain itu, kata dia, PLTU batubara yang menjadi penunjang operasi PT Trimegah Bangun Persada dan sejumlah perusahaan lainnya di bawah Harita Group, juga telah mencemari udara dan menyebabkan kesehatan warga terganggu.

Jaraknya begitu dekat dengan pemukiman, sehingga debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor mesti dihadapi warga. Saat musim panas, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara.

“Warga kini mengaku, hampir setiap hari ada anak-anak kecil dan dewasa yang dibawa ke fasilitas kesehatan desa yang peralatan medisnya tidak lengkap.”

Ia menyebutkan, para petugas di Polindes Kawasi mengaku jika infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi.

Kebanyakan pasien adalah balita. Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang.

Menurutnya, fakta-fakta di atas karena selama ini pihak perusahaan tidak mematuhi prinsip-prinsip Environment, Social, dan Governance (ESG).

Sebaliknya, seluruh prinsip-prinsip ESG tersebut justru dilabrak, sebagaimana operasi perusahaan yang secara terbuka merampas hak-hak warga Kawasi dan lingkungan hidup yang sehat dan lestari.

“Jika rencana IPO saham PT Trimegah Bangun Persada hendak diteruskan, maka pihak perusahaan harus menerbitkan pernyataan tertulis secara terbuka, baik untuk bertanggungjawab atas seluruh tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang sudah dilakukan, maupun untuk memastikan agar infrastruktur ekologis pulau dan perairan pesisir tidak dirusak, terutama dalam kaitan dengan rencana pembuangan limbah cair di wilayah hutan pulau Obi,” paparnya.

Ia menegaskan, investasi PT Trimegah Bangun Persada menjanjikan pemasukan pendapatan raksasa, namun seluruh proses produksinya berlangsung di medan operasi pertambangan dan pengolahan bahan baterai dengan skala kerusakan yang sama sekali tidak mungkin dipulihkan.

“Proses IPO akan secara langsung memicu percepatan prospek pemburukan kondisi lingkungan hidup maupun nasib warga penghuni pulau, baik di daratan dan perairan Pulau Obi, maupun di sekujur perairan laut Halmahera yang tidak mungkin bebas sepenuhnya dari pencemaran limbah pertambangan terbuka dan proses HPAL,” pungkasnya.

Mengenai hal ini, hingga berita ini ditayangkan, halmaheranesia sedang berupaya kembali mengonfirmasi pihak Harita Group.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *