Ternate HN – Dosen atau akademisi Universitas Khairun (Unkhair), Dr. Muhammad Aris, merespons pernyataan dari pihak perusahaan Harita Nickel yang disampaikan lewat siaran pers beberapa hari lalu, terkait hasil riset yang dilakukan di perairan Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, dalam keterangan persnya menyebutkan, hasil penelitian Dr. Muhammad Aris, tidak bisa menjadi kesimpulan bahwa ikan-ikan di Pulau Obi sudah tercemar, karena dari penelitian itu tidak disebutkan lokasi titik sampelnya di mana dan tercemarnya karena apa.
Menanggapi itu, Dr. Muhammad Aris, mengatakan laporan penelitiannya harus dibaca secara keseluruhan, sehingga tidak terkesan terbatas dalam meresponsnya.
“Mungkin saja yang mereka (pihak Harita) baca itu lewat jurnal. Karena dalam jurnal itu tidak dibahas secara detail tentang penelitian tersebut,” kata Aris, saat ditemui halmaheranesia pada Senin, 27 Maret 2023.
“Jadi saya perlu tegaskan kembali bahwa apa yang saya sampaikan itu hanya seujung kuku dari sebuah kerusakan ekosistem yang ada di sana,” sambungnya.
Ia menjelaskan, jika pihak Harita masih ragu akan kondisi kerusakan perairan di wilayah industri pertambangan, maka bisa kembali melakukan penelitian.
Dalam penelitian, kata Aris, memang ada keterbatasan, salah satunya terkait dengan sumber daya manusia.
“Namun, ada beberapa parameter kunci yang menjadi penanda bahwa suatu ekosistem itu mengalami gangguan atau mengalami ketidakseimbangan lagi, nah itu yang kami kejar dan kami teliti untuk mendapatkan hasilnya sejak penelitian kemarin,” ungkapnya.
Ia memaparkan, ada lima titik pengambilan sampel dalam penelitiannya. Dan penelitian ini dilakukan pada tahun 2019. Kelima sampel itu diambil berdasarkan jarak dan distribusi perairan dengan tetap mengacu pada pola arus yang ada di perairan tersebut.
Lima titik sampel itu tersebar pada masing-masing lokasi, yaitu tiga titik sampel berada tepat di depan Kawasi, satu titik di daerah Akegula yang jauh dari kawasan industri, dan satu titik sampel di perairan Sogili.
“Karena daerah ini (Kawasi) kami anggap sangat rentan, kemudian dua titik sampel sebagai pembanding. Ternyata ikan yang kami temukan di sekitar perairan Kawasi ini, hampir kita tidak temukan lagi ikan yang sehat secara ilmu histologi,” paparnya.
Ia menyebutkan, memang benar yang tertera dalam jurnal itu tidak dijelaskan secara spesifik, tapi semua jenis ikan yang ditemukan, mengalami kerusakan jaringan.
“Ini artinya kalau dalam ilmu histologi (jaringan tubuh), merupakan satu penanda bahwa ekosistem itu tidak lagi seimbang.”
Menurutnya, jika hasil penelitiannya diragukan atau dinilai urgen, maka ia siap membuka diri untuk berdiskusi, jika perlu ia pun mau melakukan banding data terkait hasil penelitian.
“Sebab apa yang saya hasilkan adalah saya mampu mempertangungjawabkan secara saintis sesuai dengan bidang keilmuan saya. Saya paham betul apa yang disampaikan oleh pihak perusahaan, itu secara normatifnya iya, namun realitanya tidak sama sekali,” jelasnya.
Ia mengaku, sudah berulangkali mengunjungi kawasan perusahaan yang ada di Kawasi dan memang kerusakannya sudah sangat tampak, seperti perubahan bentang alam dan perubahan ekosistem.
“Dari hasil penelitian beberapa teman saya meskipun tidak dipublikasi, tetapi sudah saya baca, ternyata kerusakan terumbu karang di sana berada pada level yang cukup tinggi,” ucapnya.
Jika terumbu karang sudah mengalami kerusakan, kata dia, maka satu elemen ekosistem mata rantai makanan juga telah terputus.
“Selain itu, apa yang saya jelaskan dalam beberapa tulisan saya, bahwa terjadinya akumulasi dari berbagai organisme itu nantinya akan berdampak terhadap manusia sebagai level terakhir yang memanfaatkan sumberdaya, khususnya di perairan.”
Pada tahun lalu, lanjut Aris, pihaknya telah melakukan survei meskipun hasilnya belum dipublikasi, bahwa ternyata dalam tubuh ikan di kawasan tersebut memang telah terakumulasi dengan lumpur, dan itu sudah ia dokumentasikan.
Ia mengkhawatirkan, nanti tidak ada lagi ikan yang hidup melakukan pembesaran di daerah itu. Kalaupun ada ikan yang kedapatan sudah membesar, maka kuat dugaan, ikan tidak membesar di wilayah tersebut.
Kawasan perairan Obi memang merupakan daerah migrasi atau ruaya ikan, sehingga potensi ikan cukup melimpah di sana karena faktor migrasi.
“Dalam siklus perkembangan ikan, ada daerah-daerah tertentu yang dijadikan sebagai tempat pembesaran, nah pada kawasan Pulau Obi bukan lagi daerah pembesaran karena ekosistemnya telah mengalami kerusakan.”
Ia memastikan, ikan yang mereka temukan tidak bisa lagi berproduksi. Bagaimana ikan itu melakukan reproduksi sementara organ-organ sudah mengalami gangguan atau perubahan yang abnormal, karena kualitas ikan itu menentukan kelangsungan surfival ikan tersebut.
Ikan bisa saja berproduksi kalau dalam keadaan sehat atau normal. Hal ini diakuinya merupakan ilmu dasar dalam reproduksi ikan. Kalau organnya sudah tergganggu, maka tidak akan mungkin lagi melakukan reproduksi secara normal.
Jadi kalau ingin mengajukan bantahan terhadap hasil risetnya, maka ia menyarankan perlu melakukan riset yang lebih detail, sebab risetnya juga sudah mengukur kualitas air di kawasan tersebut.
Ia menganggap, bahwa daerah itu terjadi run off dari sungai yang masuk ke perairan akibat dari operasi nikel, dan memang mengalami pencemaran yang cukup berat. Run off adalah aliran air yang mengalir di atas permukaan karena penuhnya kapasitas infiltrasi tanah.
“Jika punya niat baik dalam penyelamatan lingkungan, sebaiknya kita bisa duduk berdiskusi secara bersama untuk merumuskan hal ini, dan kami bisa menjelaskan dan memastikan bahwa apa yang terjadi di sana itu tidak sesuai yang disampaikan oleh pihak perusahaan beberapa waktu lalu dalam siaran persnya,” paparnya.
Ia mengaku, sebagai seorang saintis, masih akan terus terpanggil untuk melakukan riset ini, dan riset ini bukan semata-mata untuk mengganggu pihak perusahaan.
“Tetapi ini untuk kemaslahatan manusia, karena ikan ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di Pulau Obi,” pungkasnya.