Halsel, HN – Harita Nickel akhirnya merespons terkait laporan JATAM melalui siaran pers yang diterbitkan sejumlah media beberapa hari lalu. Laporan tersebut menyebutkan perusahaan Harita Group menjadi penyebab kerusakan lingkungan di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Berdasarkan siaran pers dari Harita Nickel, mereka menilai apa yang disampaikan JATAM sangat menyesatkan dan berdampak menimbulkan opini tidak baik terhadap upaya pembangunan Harita Nickel di Pulau Obi.
Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, menegaskan sistem operasional penambangan PT TBP yang merupakan unit bisnis Harita Nickel senantiasa mengedepankan praktik-praktik penambangan terbaik.
Praktik tersebut mengacu pada KEPMEN ESDM Nomor 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah teknik Pertambangan yang Baik yakni dimulai dari pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, pemindahan tanah penutup, pengambilan bijih limonit untuk diolah dipabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi, pengambilan bijih saprolit untuk diolah dengan teknologi pyrometalurgi, penutupan lubang tambang, reklamasi, dan revegetasi.
“Kami lah perusahaan yang pertama kali melakukan konservasi mineral yang artinya mengurangi sisa batuan untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya mineral untuk bahan baku baterai mobil listrik,” kata Anie, Minggu, 26 Maret 2023.
Terkait masalah pencaplokan lahan warga yang dituduhkan, kata Anie, bahwa seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi yang telah beroperasi saat ini berada dalam Kawasan Hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Harita memegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) atas setiap bukaan lahan.
Masyarakat yang telah menggarap, diberikan tali asih untuk lahan juga ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) sesuai dengan keputusan Pemda Kabupaten Halmahera Selatan.
“Dan tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga, tetapi melalui proses yang transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat,” papar Anie.
Pernyataan bahwa hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan sungguh menyesatkan.
Ia menegaskan, tidak ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi. Selama ini PT TBP menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack).
Dry Stack dianggap sebagai metode yang aman dan ramah lingkungan serta memenuhi standar nasional dan internasional.
“Tidak ada pembuangan limbah pabrik ke aliran Sungai Todoku dan Sungai Akelemo. Perusahaan selalu bersikap taat aturan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan,” tegasnya.
Sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Sungai Akelamo, namun di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai dengan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ia menjelaskan, saat memulai operasi pada 2010, perusahaan telah mengantongi izin lingkungan dan izin pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah. Kemudian pada 17 November 2020 pemerintah telah menetapkan Harita Nickel sebagai proyek strategis nasional.
“Kami juga telah memiliki izin-izin serta persetujuan teknis dari pemerintah untuk pengelolaan sisa hasil proses atau limbah, di mana sisa hasil proses ini dikelola terlebih dahulu, dan dilepaskan ke lingkungan dengan memenuhi baku mutu yang ditetapkan, dan dilaporkan berkala ke pemerintah,” katanya.
Selama beroperasi, pengelolaan limbah perusahaan selalu mendapat inspeksi dan pengawasan berkala baik dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Instansi pemerintah terkait lingkungan hidup dan pertambangan juga melakukan inspeksi dan pengawasan, baik dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten atas kegiatan pelaksanaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Ia menilai, pernyataan bahwa pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat juta menyesatkan.
“Ini juga sangat menyesatkan. Tidak ada pipa eksplorasi ke laut,” ungkapnya.
Terkait hasil penelitian salah satu dosen Universitas Khairun (Unkhair), Dr. Muhammad Aris, yang dijadikan rujukan tidak bisa menjadi kesimpulan bahwa ikan-ikan di Pulau Obi sudah tercemar, karena dari penelitian itu tidak disebutkan lokasi titik sampelnya di mana dan tercemarnya karena apa.
Selama ini, lanjut Anie, justru sebagian besar pasokan ikan untuk konsumsi karyawan Harita Nickel di Pulau Obi didapatkan dari supplier lokal dari Desa Kawasi dan Desa Soligi.
“Belum lama ini Harita Nickel menggelar lomba memancing di Kawasi dan hasilnya beberapa peserta yang merupakan penduduk Desa Kawasi dan Desa Soligi bahkan ada yang berhasil mengail seekor ikan dengan bobot lebih dari 20 kilogram.”
Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa ikan di sekitar Kawasi masih melimpah yang berarti bahwa eksositem laut terutama di sekitar area tambang masih terjaga.
Sementara itu, terkait isu relokasi pemukiman warga Desa Kawasi ke Eco-Vollage, hal tersebut merupakan program pemerintah yang didukung oleh perusahaan.
Hal ini karena lokasi saat ini sudah terlalu padat dan berakibat menjadi lingkungan tidak sehat.
Pemindahan ke lokasi yang baru, dengan luasan pemukiman tiga kali lipat dari luas yang ada saat ini, semua unit rumah permanen dilengkapi sanitasi yang sangat baik, kawasan sekolah tertata rapi, fasilitas sosial yang lengkap, dilengkapi fasilitas air bersih, listrik 24 jam, dan fasilitas umum pendukung lainnya.
“Pemukiman yang baru ini akan meningkatkan tingkat kelayakan hidup masyarakat. Saat ini program Eco-Village sedang dalam proses penyelesaian dan didukung oleh sebagian besar masyarakat desa Kawasi,” pungkasnya.