Halsel, HN – Rencana Harita Group melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), untuk menambah modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun akan semakin menambah panjang daftar derita warga di Pulau Obi, Maluku Utara.

Berdasarkan siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), disebutkan pulau padat penghuni itu tengah diluluhlantakkan oleh operasi tambang dan pabrik smelter nikel milik Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.

Gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini akan digunakan untuk mempercepat proses produksi.

“Upaya Harita Group mengumpulkan tambahan modal yang begitu besar ini, tentu tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi,” ucap Koordinator JATAM, Melky Nahar, Jumat, 24 Maret 2023.

Ia menjelaskan, saat ini PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi, Pulau Obi, dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching, yakni PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend.

“Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal,” paparnya.

Menurutnya, operasional industri tambang dan smelter nikel, dimana seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batubara, juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batubara.

 

Penghancuran Daratan dan Wilayah Laut Pulau Obi

Melky menuturkan, ulah Harita di Kawasi bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, namun juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu.

Kawasi merupakan kampung tertua di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Luasnya mencapai sekitar 286 KM2, dihuni oleh lebih dari 1.118 jiwa penduduk. Masyarakat Kawasi hidup di daratan dan pesisir Pulau Obi sejak tahun 1980-an.

Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela di Pulau Halmahera, dan sebagian lagi dari Buton. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.

“Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi yang semula warga hidup damai, bertani, dan melaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga berubah menjadi area pertambangan yang meluluhlantakkan wilayah daratan, pesisir, dan laut,” jelasnya.

Lahan-lahan warga dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.

Ironisnya, kata dia, proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.

“Perusahaan selalu menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan.”

Di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak.

“Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga yang sebelum tambang masuk dan beroperasi bisa mendapatkan air secara gratis kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih. Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar,” kata Melky.

Ia mengaku, Air Cermin dan Sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, misalnya, kini telah lenyap usai perusahaan membongkar sebagian besar kawasan hutan di daratan hingga pesisir.

Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahaan tambang. Bukit-bukit yang menjadi daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai ini dalam kondisi tercemar dan rusak.

“Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan.”

Ia menyebutkan, pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat.

“Merujuk pada penelitian yang dilakukan Muhammad Aris dalam jurnal ‘Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia’ (2020), polusi logam berat di perairan Pulau Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan. Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar,” tuturnya.

Setelah ruang hidup warga dicaplok dan dicemari, pihak perusahaan kini berencana memindahkan warga di Kawasi ke Ecovillage (perumahan) milik perusahaan.

Lokasi Ecovillage ini berjarak sekitar lima kilometer di bagian selatan Kawasi. Perusahaan mengatakan permukiman warga saat ini terlalu dekat dengan pabrik dan masuk zona rawan gempa bumi.

“Sejalan dengan pihak perusahaan, pemerintah daerah juga turut berdalih bahwa pemukiman warga terlalu dekat dengan laut, dengan demikian rentan terjadi bencana bila gelompang pasang atau tsunami terjadi. Alasan-alasan lain yang dipakai untuk menjustifikasi relokasi ini adalah terkait Kawasi yang dianggap telah kumuh, sampah berserakan dimana-mana, dan lingkungan tidak sehat dan tidak beraturan, serta sering terjadi konflik,” ungkapnya.

Sejumlah alasan relokasi yang digunakan perusahaan dan pemerintah di atas, kata Melky, tentu saja mengada-ada dan ditolak keras warga.

Selain telah hidup ratusan tahun di Kawasi, justru aktivitas perusahaan tambang yang berada di atas zona gempa itulah yang punya risiko besar bagi keselamatan warga.

Sementara itu, mengenai siaran pers ini, halmaheranesia sedang berupaya menghubungi pihak Harita Group untuk mengonfirmasi terkait adanya tanmbahan modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun. Selain itu, terkait laporan JATAM soal daya rusak yang diakibatkan oleh perusahaan tersebut.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *