Matahari tampak meninggi kala itu. Sinarnya menyelinap masuk ke celah-celah pepohonan yang berbaris sepanjang punggung Kalaodi, sebuah negeri ‘atas awan’ di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Siang itu, saya berada di sana, mendengar kisah petani cengkih dan pala.

Hamzah Falila mengambil posisi duduk di samping saya. Ia lalu membuka obrolan tentang fasilitas yang dipakai untuk mengeringkan hasil pertanian seperti cengkih dan pala. Ia menyebutnya rumah pengeringan.

“Setahu saya dari Januari 2023, ini program (rumah pengeringan) dari WALHI membantu warga, mempermudah warga untuk mengeringkan pala dan cengkih,” ucap Ata, sapaan akrab Hamzah Falila, Jumat, 10 Maret 2023.

Sambil memandangi rumah pengeringan di hadapan kami, Ata berusaha memaparkan yang diketahuinya tentang bangunan tersebut. Bangunannya kecil dan rangka-rangkanya dari kayu serta pipa kecil.

Tak ada atap seng seperti rumah tentunya. Rumah pengeringan ini hanya dibungkus kertas dengan jenis tertentu. Tampak transparan. Di dalamnya, terdapat rak-rak yang dibuat memanjang sebagai alas untuk penjemuran.

Ata bercerita, selama ini proses pengeringan cengkih dan pala masih menggunakan cara-cara lama, yakni dengan menjemurnya di jalan serta memanfaatkan cahaya matahari. Tidak ada yang salah dengan cara itu.

Pola-pola tradisional semacam itu telah membuat warga yang menetap di ketinggian atau tepat di lereng gunung ini dapat menikmati hasil komoditas tersebut sejak turun-temurun. Namun, drama selalu saja ada, apalagi kala tiba musim panen. Kendala paling nyata yang dihadapi petani adalah cuaca.

Hamzah Falila, pemuda Kalaodi, Tidore Kepulauan, saat berada di dalam rumah pengeringan. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

“Memang belum musim cengkih, tapi alhamdulillah pala dan kayu manis saat ini cukup membantu. Meski sekarang musim hujan, tapi rumah pengering ini termasuk jadi solusi,” kata Ata.

Sudah lima tahun terakhir ini, pohon cengkih di Kalaodi memang belum berbuah. Dalam kurun waktu itu, mereka lebih banyak memanen pala dan berupaya mendapatkan sumber-sumber ekonomi dari tanaman bulanan. Mereka juga mengolah kayu manis.

Kehadiran rumah pengeringan ini setidaknya dapat menjawab kegelisahan terkait cuaca ketika tiba musim panen.

“Sudah tidak perlu panik lari mengambil pala yang dijemur (di jalan). Biasanya kan jemur di jalan, kalau hujan itu baku cepat buka (jemuran pala/cengkih), kalau panas matahari ada lagi, berarti kasih kaluar lagi, jadi kerja dobol begitu,” tuturnya.

Cara pengeringan seperti itu diakuinya jika sedang musim hujan, maka membuat kualitas pala menurun.

“Kalau pala dijemur di luar, kan malam kasih masuk kalau hujan, jadi itu bisa berjamur. Kalau pala berjamur itu kualitasnya jatuh. Tapi saya taruh di rumah pengeringan, meski hujan atau mendung, tetap hangat, jadi pala tetap kering (dan tidak berjamur).”

Petani muda itu mengaku, selain rumah pengeringan, WALHI juga sempat membuat pelatihan terkait pembuatan minyak dari daun cengkih. Upaya itu dibuat untuk menjawab kondisi pohon cengkih di Kalaodi yang sudah tidak berbuah sejak lima tahun terakhir.

Tapi, ada saja kendalanya. Alat yang dipakai untuk proses penyulingan tidak dapat dioperasikan secara maksimal. Dengan sedikit tertawa, Ata mengaku saat mengoperasikan alat tersebut ada sedikit kekhawatiran. Mereka khawatir kalau alat itu bisa meledak atau mencelakakan mereka.

“Kami sempat takut juga, karena kan ini baru pertama kali bikin,” kata Ata.

Kendati begitu, optimistis masih menyala di dada pria 31 tahun itu. Ia berharap, ke depannya ada pendampingan yang lebih intens. Selain itu, ia mengaku alatnya perlu diganti, karena menurut mentor yang pernah melatih mereka, fasilitas penyulingan tersebut masih tergolong sangat kecil.

Sementara itu, Sudarwin, petani lainnya menyambung pembicaraan mengenai rumah pengeringan. Bangunan ini memang dibuat tepat di depan rumahnya.

Ia menyebutkan, kehadiran rumah pengeringan di Kalaodi benar-benar menjawab permasalahan cuaca. Apalagi 90 persen warga di Kalaodi adalah petani.

Rumah pengeringan di Kalaodi, Tidore Kepulauan. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

“Karena kalau lihat pala ini dijemur, bisa tiga-empat hari sudah kering, itu dalam kondisi panas sekali. Tapi kalau tidak full panasnya sehari, itu bisa lima sampai enam hari keringnya. Kalau pala ditaruh di rumah pengeringan, itu biar dua hari mendung, dua hari panas, itu sudah kering. Berarti kalau cengkih bisa taruh dua hari setengah saja sudah kering. Karena malam itu (rumah pengeringan) masih simpan panas,” kata Sudarwin.

Sebelum ada fasilitas ini, warga di Kalaodi sebenarnya sudah memiliki cara-cara tradisional lain ketika memanen cengkih dan pala pada musim hujan. Mereka menyebutnya dengan fufu atau bafufu yang berarti mengasapi.

“Kalau pala masih bisa bafufu, tapi kalau cengkih tidak. Kalau cengkih hasil fufu tidak bagus, bisa kering, tapi hasilnya tidak bagus. Dulu sekitar tahun 1990-an, cuaca sedang buruk. Dan saat itu, banyak petani yang fufu cengkihnya. Tapi setelah dijual, harganya malah jatuh karena kualitasnya buruk,” tutur pria 34 tahun itu.

Di Kalaodi sendiri, ada kepercayaan bahwa adanya cuaca buruk tidak terlepas dari sikap dan perilaku para buruh petik saat musim panen.

Kalau buruh petiknya berperilaku baik dan tidak membuat bunyian-bunyian yang besar, maka cuaca akan dalam kondisi baik pula. Begitu pun sebaliknya.

“Kalau buruh petiknya berasal dari sini, torang (kami) masih bisa jaga untuk jangan baribut (bersuara besar atau bikin bunyi-bunyian). Tapi kalau dari luar itu datang kerja petik di sini lalu mereka baribut, oh itu biar kalender ini musim panas lagi, pasti akan hujan,” ungkapnya.

Dengan begitu, Sudarwin bersama petani lainnya sangat bersyukur adanya rumah pengeringan. Namun, untuk tidak menimbulkan kecemburuan terhadap penggunannya, ia berharap fasilitas seperti ini dapat ditambah untuk dusun atau lingkungan lainnya yang berada dalam wilayah Kelurahan Kalaodi.

Kelurahan ini memiliki empat lingkungan atau dusun, yakni Dola, Kola, Gulili, dan Swuom. Sementara rumah pengeringan ini sendiri dibuat di dusun Dola.

“Lingkungan dua dan tiga pernah tanya tentang rumah pengeringan, dan kami bilang ini sebagai contoh, mereka bilang kalau bisa setiap lingkungan ada satu rumah pengeringan,” katanya.

Namun, ia menyahut, jika tiba panen besar, maka pemanfaatan rumah pengeringan ini tidak dibuka untuk umum. Bangunan penjemuran tersebut hanya dipakai untuk hasil-hasil dari kebun yang dikelola bersama.

Kalaodi memang memiliki kebun yang dikelola secara bersama. Mereka menamakan kebun ini dengan sebutan kebun lingkungan. Luasnya mencapai 2 hektar. Di atas lahan itu, lebih banyak tanaman cengkih. Sementara lahan sisanya ditanami pohon pala.

Hasil dari kebun ini biasanya dibagi dua, satu untuk ditabung, satunya lagi untuk kebutuhan dalam lingkungan, seperti pembuatan pagar, perlengkapan PKK, hingga kebutuhan untuk masjid.

Sementara itu, Sekretaris Pemerintah Kelurahan Kalaodi, Samsudin Ali, menyebutkan selama ini petani cengkih di Kalaodi sebenarnya tidak dapat dikatakan sejahtera. Sebab saat musim panen, para petani kerap mengeluarkan biaya tak terduga.

Sekretaris Pemerintah Kelurahan Kalaodi, Samsudin Ali, saat berada dalam rumah pengeringan di Kalaodi, Tidore Kepulauan. Foto (Rifki Anwar/halmaheranesia)

“Setiap musim panen kami selalu kesulitan, karena cuacanya selalu tidak stabil, kadang pancaroba, di situlah petani mengeluarkan uang tidak terduga terlalu banyak,” ucap Samsudin.

Maksud dari uang tak terduga itu adalah upah kerja, konsumsi, dan biaya transportasi. Petani Kalaodi sendiri, ketika panen besar, mereka membawa hasil tersebut ke wilayah pesisir. Hal itu karena ruang jalan di Kalaodi yang sempit sehingga tak dapat lagi dijadikan tempat penjemuran.

Tak berhenti di situ, ketika hari panen bertepatan dengan musim hujan, mereka juga mengeluarkan biaya tambahan menyewa ruangan untuk mengamankan hasil panen tersebut.

“Dengan adanya program ini sangat mendukung sekali kami yang ada di Kalaodi ini, karena supaya musim panen membatasi orang untuk menjemur cengkih hingga dataran rendah,” katanya.

Kendati begitu, ia berharap ada upaya bersama untuk mencarikan solusinya supaya fasilitas rumah pengeringan ini dapat ditambah untuk lingkungan atau dusun lainnya.

Direktur WALHI Maluku Utara, Faizal Ratuela, menjelaskan proses pembuatan rumah pengering dan penyediaan gudang penampungan produk wilayah kelola rakyat serta pelatihan pembuatan minyak atsiri merupakan dukungan dari program Dana Nusantara yang dilaksanakan oleh WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).

“Program Dana Nusantara bertujuan untuk mengembalikkan praktek baik yang telah ada secara turun-temurun oleh masyarakat lokal dalam hal pengelolaan alam secara lestari dan berkelanjutan,” paparnya.

Ia mengaku, dengan program Dana Nusantara yang digagas bersama WALHI, KPA, dan AMAN diharapkan bisa mengembalikkan kejayaan rempah-rempah di Nusantara yang saat ini terus tergerus oleh ancaman investasi perkebunan monokultur dan industri pertambangan skala masif.

Namun, ia menyebutkan semua program ini merupakan hasil diskusi dengan warga atau Komunitas Folila Kalaodi dan pemerintah kelurahan. Program ini bertujuan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi para petani di Kalaodi.

“Teman-teman komunitas itu bagian dari petani yang mengurus kebun kampung, kebun desa, dan lingkungan, yang notabenenya cengkih dan pala,” ucapnya.

Masalahnya, kata dia, ketika panen mereka berhadapan dengan ketidakpastian kondisi cuaca yang cenderung berdekatan dengan musim hujan.

“Ketika panen yang tidak masif atau tidak besar, cenderung warga tidak lagi memetik, karena ribetnya mengurus saat penjemuran, itulah yang menjadi diskusi bersama untuk menjawab persoalan tersebut.”

Dorongan membuat pelatihan minyak atsiri karena hampir lima tahun terakhir panen cengkih tidak lagi stabil. Sementara cengkih, kata Faizal, bukan saja tentang buahnya. Tapi lainnya juga bisa dimanfaatkan, seperti daunnya yang dijadikan bahan dasar pembuatan minyak atsiri.

Mengenai rumah pengeringan, pihaknya ke depan akan berupaya membuat dengan skala besar, apakah dalam skala kelurahan atau per lingkungan.

“Kita lihat pembuatan rumah pengeringan ini sangat menjawab masalah mereka, pemerintah seharusnya melihat ini sebagai jawaban untuk dibuat di kampung-kampung lain,” tukas Faizal.

 

Mensyukuri Hasil Panen

Kopi hampir tandas. Samsudin memperbaiki posisi duduknya lalu kembali melanjutkan pembicaraan. Matahari kian miring ke barat, memancarkan sinarnya di antara lembah Kalaodi yang hijau pepohonan.

Kali ini tentang hubungan manusia Kalaodi dengan alam.

Ia menuturkan, dalam pandangan orang Kalaodi, ketika hendak mengolah lahan, mereka harus meminta izin dulu pada tanah.

“Sebelum orang olah itu lahan, dia minta pamit ke tanah dulu, itu istilah di sini bilang tola gumi, semacam minta izin begitu,” kata Samsudin.

Pengertian meminta izin di sini adalah untuk menghindari binatang buas atau berbisa yang berada di area perkebunan. Petani meminta agar binatang tersebut pergi jauh-jauh dari lokasi mereka untuk keselamatan selama menanam.

Setelah itu, sebulan kemudian, ada ritual yang dikenal dengan tolo bopo atau dapat diartikan dengan mengetuk pangkal pohon bekas potong yang ada di area kebun.

Proses mengetuk ini diikuti dengan bacaan tertentu. Ritual ini mengisyaratkan agar tanaman dapat tumbuh subur dan merata.

Selain itu, Kalaodi memiliki ritual khusus untuk mensyukuri hasil panen komoditas pertanian. Ritual ini bernama hoimasou yang dapat dimaknai sebagai bentuk ucapan syukur saat panen raya.

Ketika panen cengkih, misalnya. Setiap petani harus membuka hasil panennya sebanyak 1 kilogram per kepala keluarga (KK), kemudian hasilnya dibawa ke rumah adat.

Setelah dari rumah adat, selanjutnya dibawa ke masjid atau musala, lalu mengaji atau tahlilan. Kemudian diantar juga ke Kesultanan Tidore. Pihak yang menerima pun turut membaca doa.

Ada juga ritual paca goya. Ritual ini memiliki hubungan dengan selesainya musim panen. Dalam pelaksanaannya, warga adat pergi ke tempat keramat untuk membersihkannya. Semua ritual tersebut sebagai rasa syukur pada Allah dan permohonan perlindungan ke tuan-tuan tanah.

Usai ritual paca goya, selama tiga hari, yakni Jumat, Sabtu, dan Minggu, di Kalaodi tak ada aktivitas yang berlebihan.

Pada hari itu, tak boleh ada bunyi-bunyian. Semacam membiarkan alam tenang atau memberi sedikit jeda pada lereng Kalaodi untuk beristirahat. (*)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *