Ternate, HN – Kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Ternate meningkat sejak dua tahun terakhir. Kasusnya beragam, dari masalah perselisihan suami-istri hingga pencabulan yang dilakukan orang terdekat.

“Kalau data yang kami punya ada peningkatan. Karena antara jumlah yang sebelumnya di 2021 itu meningkat di 2022 usai Covid-19,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Ternate, Marjorie S. Amal, Selasa, 31 Januari 2023.

Ia merincikan, untuk dua tahun kebelakang, total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2021 sebanyak 13 kasus, namun meningkat pada tahun 2022 sebanyak 65 kasus. Sementara untuk KDRT sendiri tercatat 10 kasus.

"Jadi usai Covid-19 kemarin, kasus kekerasan terhadap anak yang lebih banyak. Untuk perempuan sebagai korban itu di kasus KDRT. Kalau anak didominasi oleh kasus kekerasan terhadap anak persetubuhan dan pencabulan," paparnya.

Meski demikian, pihaknya sudah berupaya melakukan pelayanan terhadap kasus anak dan perempuan, dimana telah disiapkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga).

"Jadi kedua unit layanan ini memang disiapkan untuk dilakukan pembinaan dan pendampingan terkait berbagai macam kasus yang terjadi pada anak dan perempuan, termasuk kasus KDRT," jelasnya.

Selain itu, kata dia, untuk unit Puspaga itu lebih pada tataran pencegahan pola asuh orang tua terkait kasus anak yang kedapatan mengonsumsi lem, mabuk-mabukan, dan terhadap anak yang sering melakukan bullying. Kemudian untuk unit P2TP2A lebih pada kerja bersama dengan pihak instansi lain untuk pengawasan, pengawalan, dan masalah hukum.

"Sehingga ketika misalnya ada kasus kekerasan yang diharuskan untuk tindak lanjut atau penanganan khusus, contohnya ada anak yang kedapatan ngelem, kemudian setelah ditelusuri, anak tersebut kurang mendapatkan perhatian orang tua maka tugas itu diambil alih P2TP2A kemudian diserahkan ke Puspaga untuk dibina dan diberikan edukasi lanjutan," ujarnya.

Ia menyebutkan, peningkatan kasus yang terjadi di tahun ini karena masyarakat sudah memiliki kesadaran, sehingga berani berbicara ketika menjadi korban. Selain itu, mungkin ini dampak dari mulai berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Mungkin dengan berlakunya Undang-Undang TPKS keberanian orang untuk speak up, berani berbicara itu semakin tinggi juga. Dan sudah ada kesadaran masyarakat tentang hukum dan perlindungan terhadap kekerasan seksual, itu juga semakin banyak," ungkapnya.

Ia menjelaskan, pelaku kekerasan seksual pada anak kebanyakan dilakukan oleh orang terdekatnya. Kalau KDRT, faktor ekonomi tidak mendominasi, hanya perselisihan atau masalah komunikasi di dalam keluarga.

"Permasalahan kecil, kadang-kadang melakukan (penganiayaan), tidak murni ekonomi, karena mereka (suami-istri) sama-sama memiliki kerja. Kalau untuk (kekerasan seksual pada anak) rata-rata yang banyak terjadi orang yang dekat dan kenal yang melakukannya," pungkasnya.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *