Sebagai seorang pelaku kesenian yang lahir, tumbuh, dan berkarya di Ternate, Zainuddin M. Arie—selanjutnya akan kita sebut sebagai Arie—telah memilih untuk mengekspresikan relasi diri dan masyarakatnya dengan alam melalui sastra. Arie, yang lahir pada 3 Maret 1953, mulai menulis puisi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas meskipun sebelumnya ia telah menumbuhkan kecintaan pada dunia teater sejak usia yang lebih muda. Maka, berteater dan juga menulis puisi kini menjadi bagian tak terpisahkan darinya.
Saya menjumpai Arie di suatu sore yang masih menyisakan garang matahari. Bersama tiga orang teman, kami duduk berhadap-hadapan di lantai dua rumahnya setelah menapaki undakan-undakan tangga kayu. Di atas meja, tertumpuk berjilid-jilid puisi, naskah teater, esai, termasuk pedoman dasar kelompok teater yang ia dirikan bertahun-tahun lalu dan masih terus bertahan hingga saat ini. Kerja-kerja dokumentasi tentu sangat penting bagi seseorang yang berjalinan erat dengan dunia kepenulisan.
Usai membolak-balik halaman pada salah satu jilid, saya memilih tiga puisi yang tampaknya memiliki kesamaan napas: menggemakan tema rempah berbalut narasi sejarah. Ketiga puisi tersebut masing-masing berjudul “Cengkehku, Riwayatmu Kini”, “Dan Sultan pun Bertitah”, serta “Risalah Zaman Berzaman”. Berikut saya kutipkan bait pertama dari puisi “Cengkehku, Riwayatmu Kini”.
Cengkeh rambahi sejarah
galeon-galeon berlomba datangi negeri, untung lipat berlipat sarati kepala
bersenjata, bermuslihat tak segan menjarah
maka dalam yakin atas hak, kami jejaki sejarah
walau balakusu se kano-kano luka parah.
sepotong negeriku diinjak-injak
anak-anak negeriku sekarat
berpuluh sultanku menerjang
dan para bala dipaksa angkat senjata
maju kami dalam suba, jou se ngofa ngare
Dari nukilan pendek puisi di atas, terbentang sejarah panjang kolonialisme di Ternate yang jejaknya terus mengendap hingga hari ini. Ketika Alfred Russel Wallace pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini pada 8 Januari 1858, ia menggambarkan Ternate dalam catatannya sebagai sebuah kota yang “terentang sepanjang pantai dan berada tepat di kaki gunung. Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas. Di depan kota berdiri gunung berapi Tidore dengan puncaknya yang indah dan semenanjung yang permukaannya tidak rata…… Vegetasi lebat menutupi jalur ke puncak yang diselubungi kabut tipis abadi. Segalanya terlihat begitu tenang dan indah, meskipun tepat di bawahnya tersembunyi lava yang seringkali meletus menjadi sungai lava.”
Tak seorang pun membantah keindahan alam Ternate. Namun, yang memikat para petualang abad XVI untuk berlomba melabuhkan kapal mereka tentu saja adalah aroma rempah-rempah: cengkih dan pala. Perkembangan ilmu navigasi telah membimbing orang-orang Eropa untuk datang dan tak segan menggunakan senjata sebagai alat dominasi atas perdagangan rempah yang sebelumnya telah dilakukan secara damai oleh bangsa Cina, Arab, dan Gujarat, termasuk suku-suku di nusantara sendiri. Mereka berlayar mengikuti peta dunia hingga tiba di bumi Moloku Kie Raha, sebutan bagi konfederasi Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Lalu dimulailah perang ratusan tahun atas nama penguasaan komoditas. Ada alasan kuat mengapa orang-orang rela melintasi lautan hingga mesti berkorban nyawa untuk mencari kepulauan rempah. Dari berbagai literatur, kita mengetahui bahwa cengkih memiliki banyak manfaat, misalnya sebagai bahan parfum, kosmetik, pengawet, bumbu masak, dan obat-obatan. Bahkan menurut M. Adnan Amal dalam buku berjudul Ternate, bubuk cengkih dimanfaatkan orang-orang Eropa sebagai obat hirup dan asesori bagi golongan menengah ke atas. Para pedagang membeli cengkih dengan harga yang sangat murah lalu menjualnya berkali-kali lipat di pasar Eropa sehingga rempah-rempah ini mendapat gelar sebagai emas hitam. Ledakan keuntungan dari perdagangan rempah membawa kemakmuran pada Eropa, tetapi manusia-manusia di mana cengkih itu tumbuh tidak banyak berubah sejak kedatangan pertama bangsa Eropa hingga hari ini. Dari perspektif intertekstualitas, kita dapat menemukan keterhubungan tulisan Adnan dengan bait ketiga puisi “Cengkehku, Riwayatmu Kini”.
Kusebut cengkeh amatlah hormatnya
permaisuri cantik hingga pharao yang dibalsem
hidangan hangat lezat hingga penawar-penyembuh
kau lihat Eropa berjaya
gedung, jembatan pun jalan-jalan kota nan gemerlap
dibayar cuma-cuma atas cengkeh dari hutan-hutan kami yang senyap
dari kampung desa kami yang gelap
nasib peruntungan pun lenyap
uh!
Kita pun bisa membaca lanskap budaya masyarakat Ternate yang berlekatan dengan lanskap alamnya dari dimensi spiritual. Puisi berjudul “Dan Sultan pun Bertitah” berangkat melalui perenungan dan sebuah pengakuan bahwa hasil alam yang tumbuh di bumi Ternate merupakan berkah Tuhan, diwariskan dari generasi ke generasi, yang harus dijaga sepenuh jiwa meski harus berkorban darah dan air mata.
O, gunung hijau, ruhku
pala — cengkeh, nafasku
aha — jurame, nadiku
orang kuli nu su su menyemai mimpi juga asa
menyemai doa
Pamor cengkih dan pala memudar begitu cepat sejak mesin pendingin pertama ditemukan. Kebutuhan dunia pada rempah sebagai pengawet makanan terus berkurang menyebabkan kemunduran yang tak terbayangkan sebelumnya dan hanya menyisakan kejayaan dalam manuskrip kolonial. Tapi, waktu juga selalu memberi kesempatan untuk pulih dan tumbuh lebih berdaya.
Bumi cengkeh
Bumi pala
Kami masih sanggup bicara kini
“Kamilah giki yang punya mole
setia sejak fajar hingga petang merembang
dalam segala ta’zim kami berkhidmat,
suba
jangan teteskan lagi air mata dan darah
indahkan niat, berdiri di muka
bersihkan tangan, bangun negeri!”
Dua bait terakhir puisi Arie yang berjudul “Risalah Zaman Berzaman” merupakan harapan demi bangkit kembali melalui pemaknaan baru atas apa yang masih tertinggal, sebuah upaya untuk tidak berhenti melihat rempah-rempah dalam semangat romantisme masa lampau, sebab sejarah terus bergerak dengan dinamikanya sendiri.
Di hadapan ketiga puisi Arie di atas, sejarah mendapatkan bentuknya yang baru. Sejarah disikapi, ditanggapi, ditafsirkan, dan dibahas ulang melalui medium yang lebih estetis. Akhirnya, sebagai karya sastra, puisi-puisi ini membuka ruang bagi pembaca untuk memberinya makna dengan bebas, dengan merdeka.
_____________
*Mariati Atkah | Penulis berdomisili di Ternate.