Ternate, HN – Perkumpulan Pakativa Maluku Utara menegaskan kepada pemerintah daerah agar serius dalam mengurangi emisi, menjaga lingkungan hidup, mencegah bencana, dan melindungi pulau-pulau kecil dari masifnya pembangunan.

Ha itu disampaikan Direktur Perkumpulan Pakativa, Nursyahid Musa, pada forum diskusi atau workshop terkait tata kelola perizinan untuk perlindungan hutan di Hotel Sahid Bela Ternate, Sabtu, 17 Desember 2022.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk melihat kembali tata kelola perizinan untuk perlindungan hutan sebagai bagian dari gerakan mitigasi adaptasi perubahan iklim serta merealisasikan pembangunan berkelanjutan di Maluku Utara.

Nursyahid menjelaskan, Maluku Utara adalah salah satu provinsi kepulauan di Indonesia, dengan luas wilayah 145.801,1 km2 dan memiliki 1.474 pulau. Dari total luasan wilayah tersebut, hanya terdapat 23,72 persen (45.069,66 Km2) sebagai daratan, dan sisanya sebesar 76,28 persen (100.731,44 Km2) adalah lautan, dengan panjang garis pantai 3104 Km2. Sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil.

“Dengan kondisi wilayah seperti itu, maka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan dan pembangunan wilayah Maluku Utara,” jelasnya.

“Pengelolaan yang dimaksud adalah pengelolaan yang komprehensif mulai dari tata ruang, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, budaya, sosial, dan ekonomi serta investasi berkelanjutan,” sambungnya.

Ia mengatakan, pemerintah telah menetapkan berbagai undang-undang dan peraturan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di antaranya Undang-Undang Nomor 27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Presiden Nomor 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang juga menyebutkan bahwa pembangunan poros maritim meliputi tujuh pilar, yang salah satunya adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut.

“Berdasarkan undang-undang dan peraturan tersebut, maka ada kewajiban pemerintah daerah/provinsi untuk membuat Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( RZWP3K) sebagai acuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”

Ia menjelaskan, investasi skala besar atau pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir saat ini dilakukan sangat massif, sehingga menimbulkan dampak yang negatif terhadap kelestarian lingkungan pesisir di Maluku Utara.

Selain itu, menurutnya, kegiatan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan merupakan dinamika yang terjadi karena pengaruh keputusan politik dan kepentingan ekonomi negara.

“Sebab terjadinya perubahan tutupan dari berhutan menjadi non hutan atau bahkan sebaliknya sangat dipengaruhi oleh keputusan politik maupun kepentingan pertumbuhan ekonomi negara yang mendorong terbitnya berbagai kebijakan pemerintah dalam hal pemberian izin atas badan usaha tertentu, misalnya industri ekstraktif.”

Tentu saja, kata dia, perubahan penutupan hutan selain dipengaruhi oleh aktivitas yang terencana berbasis perizinan tersebut terdapat juga faktor di luar, salah satunya adalah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Namun bencana semacam ini pun sebagian di antaranya terjadi di dalam konsesi industri berbasis lahan khususnya perkebunan monokultur (sawit).

“Perubahan tersebut berbeda setiap tahunnya yang secara periodik dapat diamati dan dimonitor dalam bentuk tren,” katanya.

Pemahaman terhadap tren ini merupakan informasi yang sangat berguna dalam urusan pengawasan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari di tengah arus degradasi lingkungan hidup dan isu perubahan iklim.

“Saat ini kecenderungan deforestasi telah bergeser ke wilayah timur Indonesia. Padahal hutan alam di wilayah tersebut khususnya Maluku Utara kebanyakan berada di pesisir dan pulau-pulau kecil yang jika hutannya hilang maka dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan daratan besar,” ungkapnya.

Ia mengungkapkan, dari data Perkumpulan Pakativa mengindikasikan bahwa praktek buruk HPH (IUPHHK-HA) di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu aktor yang berkontribusi pada laju bukaan hutan alam.

“Selain itu aktivitas land clearing selalu menjadi pemicu konflik yang inheren dalam konteks penyelesaian tata batas dan hak tenurial masyarakat di sekitar dan di dalam hutan,” ungkapnya.

Sementara itu, deforestasi di dalam konsesi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit juga menjadi penyumbang terbesar penggundulan hutan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dinilai terhadap daya dukung lingkungan dan karakter topografi kewilayahan.

“Beberapa laporan mengindikasikan bahwa 50 persen dari daratan Maluku Utara telah dikuasai oleh pemegang izin konsesi. Hanya 4 persen dari wilayah daratan yang dialokasikan pemanfaatannya untuk masyarakat dalam berbagai bentuk program perhutanan sosial dan hutan adat,” katanya.

Karena itulah, kata dia, dalam situasi krisis iklim global saat ini tentunya diperlukan upaya bersama antarpihak untuk meminimalisir kerentanan, salah satunya dapat dimulai dengan membangun forum komunikasi, diskusi, dan audiensi untuk integrasi data tentang mitigasi tata kelola perizinan.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *