Kau Membentang Jarak dan Aku Menenun Rindu

Pada gulitanya malam, kutitipkan kenangan akan matamu yang kelam.
Aku sungguh didera rindu menggebu.
Benar saja, ketika malam beranjak semakin pekat rasaku menjejak semakin erat.

Lupa sudah kuhitung berapa purnama bertandang semenjak jarak terbentang.
Padamu sosok tampan dengan senyum terbaik, bagaimana bisa kulupakan genggam terakhirmu sebelum langkahmu berjalan semakin jauh.

Haruskah jarak mengajarkan aku artinya melupakan? Tapi nyatanya akal sehat tak bisa benar-benar melenyapkan. Dalam pejam kudapati lesung pipimu tersenyum.
Dalam senyap kurasakan kau mendekap.
Diantara riuh dunia bahkan kucipta ruang imaji antara kau dan aku agar aku bisa menemuimu sesukaku.

Aku tak berdaya menahan pergimu
Dengan pesan singkat kau berkata tunggu
Namun jarak seolah tak mampu menolak
Seluruh hasrat harus kubendung tanpa syarat
Waktu tak mau tahu

Sayang,
Dalam keterdiaman yang berirama
Biar kubisikkan sedikit resah
Sepi tak mampu memaksaku menyerah
Aku ada, di sini bersama derap langkah yang semakin jauh
Tak beranjak, tetap menunggumu berlabuh

Kau hanya perlu terus berjalan
Mengejar mimpi kehidupan
Hingga tiba saat waktu berpihak
Kita tak perlu lagi berteman jarak.

 

Perihal Rasa

Perihal rasa, siapa yang tahu cinta kan menyapa
Ada yang tak mampu dipahami logika
Perihal rasa yang tak terbalas namun tetap ingin mendamba

Masih di sini, meratapi rindu yang tak jua menepi
Enggan beranjak meski berulang kali terisak
Terpaku pada bayang semu, menyadari temu hanya ilusi
Keras kepala, bertahan meski hati terus berteriak
Duhai hati yang mati-matian kuminta pada Tuhan
Adakah doa menyapa meski hanya perlahan
Duhai nama yang tak henti kulangitkan
Bisakah sejenak kau dengarkan

Telah kusiapkan satu ruang hampa
Hanya namamu yang menggema
Rintih rindu tersebar di sudut tahta
Aku menantimu memberi warna
Pulanglah
Jika kelak kau tak sanggup lagi melangkah
Akan kau dapati aku menjadi rumah
Menantimu tanpa jengah

Denting waktu melaju
Meninggalkan aku sendiri terpaku
Rindu semakin pilu
Langkahmu tak kunjung datang bertamu

Ah sudahlah
Mungkin rasa harus berpasrah
Cinta tak lagi terarah
Hatiku mulai berdarah
Jika harus tetap menunggu, biarku usap resah
Jika harus beranjak, biar aku melepas tanpa amarah.

 

Masa Lalu

Duhai masa lalu
Aku pernah begitu berduka
Mencecap luka penuh nestapa
Berdiam diri dalam benteng kepedihan
Menikmati setiap sepi nan pilu

Duhai hati yang telah berlalu
Mungkin kita pernah begitu dekat
Bernafas dalam desah yang lekat
Menantang badai yang kemudian bertamu

Duhai waktu yang lampau
Aku pernah berusaha melupakan
Berpeluh berlari meninggalkan
Nyatanya yang kudapat hanya luka baru

Masa lalu..
Ya, mungkin dulu aku takut berjumpa denganmu
Setiap cerita menyisakan luka
Segala kenangan meninggalkan kepedihan
Berulang kali aku memaksa lupa

Ah, waktu kemudian memelukku dalam takdir
Waktu mengeringkan goresan luka yang tertoreh basah untuk kemudian membuatku mengerti bahwa aku hanya perlu berdamai dengan pilu masa lalu.

Tak perlu pergi sejauh mungkin
Tak perlu menutup telinga
Tak perlu membenci
Aku hanya harus melatih hati untuk melepaskan
Waktu juga yang akan membuatku mengerti bahwa masa lalu tak perlu mati-matian dihapus.

 

Ilusi Rindu

Malam bertandang
Menyapaku dalam keheningan
Aku masih saja berjalan
Menyusuri setiap lorong langit
Mencari jejakmu

Setiap langkah ada debar yang memecah sunyi
Ada namamu yang menjadi harmoni
Ada bayang senyummu di setiap kedipan mata
Ada rindu yang mengiringi segenap rasa

Tak peduli bayangmu hanya ilusi
Rinduku tetap enggan beranjak
Mendekap dengan seluruh sendu
Melukis duka yang kekal

Hasrat tak lagi terbendung
Pesonamu liar menyerang akalku
Aku tak tau diri
Aku hilang kendali
Kau hanya bayang dalam pekat
Namun aku tetap merindui

Biarlah aku tetap menjadi bodoh
Ketika rindu itu hadir tak mau pergi
Biarlah aku tetap menjadi bodoh
Ketika rindu itu bahkan menyakiti

Tak peduli rinduku tak sampai padamu
Tak mengapa rindumu bukan untukku
Doa terbaik saksinya

Rinduku menjelma menjadi pinta
Rinduku yang mencabik sukma
Rinduku yang teramat pilu
Rinduku yang masih milikmu

Aku ingin merindumu
Membingkai senyummu
Memeluk bayangmu
Mengingatkan senja kala itu
Matamu tenggelam dalam pelukan
Namun senyummu tak lekang dimakan malam.

 

Rindu Tak Bertuan

Pada siapa aku merindu?
Hatimu yang mati
Telingamu yang tuli
Atau rasamu yang beku?

Apa yang kurindukan?
Senyum sempurnamu
Peluk hangatmu
Atau tatap teduhmu?

Rindu ini terus saja melaju tanpa arah
Tak pernah sampai pada rengkuhan pemiliknya
Meski yang tersisa hanya sedu, rinduku baik-baik saja.

___

Penulis: Pandan Arum

Bagikan:

Pandan Arum

Pandan Arum, perempuan kelahiran Kota Susu Boyolali 29 tahun silam ini penyuka senja dan warna merah muda. Perjalanan menulisnya tertuang dalam puluhan karya antologi bersama banyak penulis muda dari seluruh Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *