
Ternate, HN – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Faesal Ratuela, menyebutkan sepanjang tahun 2002 hingga 2021, hutan yang hilang di Maluku Utara sudah mencapai 160 ribu hektar. Hal ini disebabkan masuknya industri pertambangan.
Faesal mengatakan, sesuai dengan data yang dimiliki Walhi, kehilangan tutupan hutan primer mencapai ribuan hektar dari tahun ke tahun.
“Terhitung sejak 2002 saja hilangnya tutupan hutan di Malut mencapai 13,2 hektar, kemudian menyusul tahun 2003 seluas 7,88 hektar, 2004 seluas 7,73 hektar, 2005 seluas 4,32 ribu hektar, 2006 seluas 10,0 ribu hektar, 2007 seluas 3,45 ribu hektar, 2008 seluas 3,15 ribu hektar, 2009 seluas 7,40 hektar,” kata Faesal, dalam rilis yang diterima halmaheranesia, Jumat, 11 November 2022.
“Sementara untuk tahun 2010 seluas 3,86 ribu hektar, 2011 seluas 3,23 ribu hektar, 2012 seluas 4,77 hektar, 2013 seluas 4,01 ribu hektar, 2014 seluas 10,8 hektar, kemudian di tahun 2015 seluas 2,75 ribu hektar, 2016 seluas 20,0 ribu hektar, 2017 seluas 6,22 ribu hektar, 2018 seluas 6,56 ribu hektar, 2019 seluas 7,41 ribu hektar, 2020 seluas 4,52 ribu hektar dan 2021 seluas 3,57 ribu hektar,” sambungnya.
Ia menjelaskan, perubahan tutupan hutan sangat dipengaruhi keputusan politik maupun pertumbuhan ekonomi negara. Kondisi ini juga mendorong penerbitan berbagai kebijakan pemerintah dalam alokasi pemberiaan izin usaha industri ekstraktif terutama di pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Praktik buruk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Malut ini merupakan satu aktor yang berkontribusi pada laju bukaan hutan alam. Aktivitas pembersihan lahan (land clearing) selalu jadi pemicu konflik dalam konteks penyelesaian tata batas dan hak tenurial masyarakat di sekitar dan dalam hutan,” jelasnya.
Faesal mengaku, deforestasi di dalam konsesi pertambangan dan perkebunan monokultur (sawit) juga jadi penyumbang terbesar penggundulan hutan di jazirah rempah-rempah ini melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang lalai penilaian daya dukung lingkungan dan karakter topografi kewilayahan.
“Pengambilan keputusan di level pengambil kebijakan nasional lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada industrialisasi energi kotor dengan mengorbankan banyak hal, terlebih lingkungan hidup,” pungkasnya.