Resensi Buku Yang Sulit Dimengerti adalah Perempuan
Judul Buku : Yang Sulit Dimengerti adalah Perempuan
Penulis : Fitrawan Umar
Penerbit : Exchange
Cetakan : 1, Desember 2015
Tebal : 245 halaman
ISBN : 978–602–72793–3–9
Sepanjang bumi ini masih berputar mengelilingi pusat tata surya, perempuan masih tetap menjadi tema menarik dalam penulisan karya sastra. Dibandingkan lelaki, perempuan dinilai mempunyai estetika tak terbatas dan permasalahan lahir batin yang kompleks, sehingga pembahasan tentangnya dalam karya sastra adalah sebuah magnet.
Karya sastra seperti novel banyak memanfaatkan magnet ini, dimana pengarangnya juga adalah perempuan. Sebagai contoh, perempuan sebagai pengarang dan basis dalam cerita dapat ditemukan di beberapa novel terkenal seperti Pride and Prejudice karya Jane Austen; Eat, Pray, and Love karya Elizabeth Gilbert; Mrs. Dalloway karya Virginia Woolf, Peony dan Imperial Woman karya Pearl S. Buck; dan lainnya.
Dalam novel-novel ini, para pengarangnya memperlihatkan citra perempuan yang mendalam, baik dari segi perasaan maupun logika. Pengarang perempuan dianggap paling tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh perempuan di novelnya karena mempunyai kesamaan pengalaman, perasaan, dan pendapat. Tokoh perempuan merupakan manifestasi dari identitas keperempuanan pengarangnya.
Meski demikian, perempuan sebagai tokoh sentral dalam novel tak hanya ditulis oleh pengarang perempuan saja. Leo Tolstoy dengan Anna Karenina-nya, Arthur Golden dengan Memoirs of a Geisha, dan Madame Bovary karya Gustave Flaubert, juga di Indonesia kita mengenal Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Ali Syahbana, hanyalah contoh kecil dari pengarang laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai tokoh novelnya dan dinilai para kritikus sastra, berhasil menggambarkan citra dan karakter tokoh perempuannya dengan cukup baik dan kuat (jika tidak bisa mengatakan sangat baik dan sangat kuat sebab menurut cerpenis Yetti AKA, akan selalu ada yang hilang pada pemahaman laki-laki akan perempuan).
Tidak mudah menuliskan karakter tokoh perempuan yang kuat, khususnya dalam novel. Karena plot novel yang umumnya panjang, karakter tokoh perempuan haruslah stabil digambarkan dari awal hingga akhir. Stabil di sini bukan berarti tidak ada perubahan dalam karakter tokoh perempuan tersebut, tetapi lebih pada ada alasan atau keadaan tertentu dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membuat perubahan karakternya menjadi lazim atau masuk akal.
Bergelut dengan hal ini bukanlah pekerjaan mudah bagi pengarang. Jangankan pengarang laki-laki, pengarang perempuan-pun kesulitan melakukannya. Sebab walaupun berjenis kelamin sama, pengalaman hidup pengarang perempuan yang berbeda bisa saja membuat pemahaman terhadap perasaan dan isi kepala perempuan-perempuan lainnya akan berbeda pula. Jadinya pengarang laki-laki tentunya akan bekerja lebih ekstra dalam hal ini.
Salah satu pengarang laki-laki yang mencoba bekerja lebih ekstra itu adalah Fitrawan Umar, melalui novelnya yang berjudul Yang Sulit Dimengerti adalah Perempuan (YSDaP). YSDaP bercerita tentang Renja, mahasiswa teknik di salah satu perguruan tinggi di Makassar, yang jatuh cinta pada teman kecilnya, Adel, yang kemudian menghilang selama bertahun-tahun dan baru bertemu kembali di tempat kuliah yang sama, di fakultas yang sama.
Selain kisah cinta, YSDaP juga diwarnai geliat kehidupan mahasiswa teknik di Makassar dan tragedi KOSPIN (Koperasi Simpan Pinjam) di Pinrang. Tokoh utama dalam YSDaP memang seorang lelaki, Renja, yang penokohan orang pertama tunggalnya menjadikannya narator. Namun, sebagian besar ceritanya berfokus pada tokoh perempuan, yaitu Adel.
Karena berfokus pada Adel, YSDaP semestinya mendeskripsikan karakter perempuan dengan baik dan mendalam agar novel ini bisa dikategorikan para kritikus sebagai novel dengan karakter tokoh kuat.
Sepanjang pembacaan, saya mencoba menemukan karakter perempuan dalam diri Adel. Namun hingga ending, saya kesulitan menemukan bagian-bagian di mana Adel melihat dunia dengan kacamata perempuan atau berpikir dengan pikiran perempuan sebagaimana Tolstoy dan Marah Rusli membuat pembaca bisa menyelami dunia dan isi pikiran perempuan seperti Anna Karenina dan Siti Nurbaya. Saya jelas tidak adil membandingkan Fitrawan Umar dengan Leo Tolstoy atau dengan Marah Rusli karena jam terbang kepengarangan mereka yang tentu saja berbeda tingkatan.
Meskipin demikian, Fitrawan Umar saya kira adalah pengarang yang cerdas, juga cerdik. Di YSDaP, ia sepertinya tahu betul di mana level jam terbangnya di dunia penulisan novel. Sebagai novelis pemula, (di uraian Tentang Pengarang disebutkan YSDaP adalah novel debutnya) untuk mencapai level menggambarkan karakter tokoh perempuan yang kuat sebagaimana tokoh perempuannya Leo Tolstoy, Arthur Golden, Gustave Flaubert, Marah Rusli dan Sutan Takdir Ali Syahbana.
Fitrawan sepertinya sadar ia masih harus banyak belajar. Saya rasa karena kesadaran itulah, Fitrawan tidak memperlihatkan bagaimana ia melihat dunia dari kacamata perempuan atau berpikir dengan pikiran perempuan lewat tokoh perempuannya. Dalam mendeskripsikan karakter Adel, saya menemukan Fitrawan sepertinya tidak memposisikan diri sebagai pengarang yang tahu betul perempuan lalu menyampaikannya pada pembaca, tetapi ia meletakkan kakinya di dalam sepatu pembaca dan mengajak mereka bersama-sama menyibakkan misteri “Mengapa perempuan seperti ini? Mengapa perempuan seperti itu?”.
YSDaP adalah novel cinta, tentang Renja dan Adel dengan penggambaran usaha lelaki memahami Perempuan. Adel adalah teman perempuan yang Renja sukai, namun walaupun berteman, Renja kebingungan dan kesulitan memahami karakter Adel sebagai perempuan yang dia sukai. Kebingungan dan kesulitan Renja memahami keperempuanan Adel dapat ditemukan di beberapa bagian dalam novel, seperti: Konon, jika seorang perempuan berkata kau terlalu baik untukku, kau terlalu sempurna, atau semacamnya, itu sama buruknya dengan kalimat aku membencimu. Demikiankah? (hal. 110)// Aku bisa mengerti kenapa pada jam-jam tertentu tokek di kamarku berbunyi. Tapi aku tidak pernah bisa mengerti perempuan. Aku bahkan curiga bahwa perempuan tidak pernah mengerti diri mereka sendiri; apa yang bisa membuatnya bahagia, apa yang bisa membuatnya sakit hati, dan seterusnya. (hal. 169)// Aku menaikkan dua alisku secara bersamaan. Mataku mencari sesuatu pada sepasang matanya. Dalam hal ini, aku tidak tahu apakah kalimat dirimu ini sombong dari perempuan kepada laki-laki bermakna aku rindu atau tidak? (hal. 212) // Sepertinya perempuan tidak sadar bahwa mereka acap kali menimbulkan ketidakjelasan. (hal. 217).
Saya melihat strategi penulisan Fitrawan ini sebagai kecerdikan yang cerdas. Fragmen Renja mencoba memahami Adel seperti merepresentasikan benak para lelaki pada umumnya yang sering tidak memahami dunia dan isi pikiran perempuan.
Sehingga saya rasa setelah membaca YSDaP, pembaca laki-laki dan perempuan akan mendapatkan simpulannya masing-masing. Selama pembacaan, pembaca laki-laki mungkin akan berpikir sama seperti Fitrawan yang memperlihatkan ketidakmengertiannya akan perempuan melalui Renja, lalu mengakhiri novel dengan masih berada dalam kebingungan. Sementara pembaca perempuan mungkin akan bertanya-tanya: “Apa iya saya seperti ini?” atau “Wah…ternyata saya begini toh?” lalu tersenyum-senyum bahagia karena identitas karakter mereka masih terus menjadi misteri. So, kamu, pembaca laki-laki atau perempuan?