
Ternate, HN – Masih sangat pagi, keringat Arima Rajab sudah mengalir dari wajahnya. Perempuan berusia 58 tahun ini tampak lincah mengolah sagu lempeng.
Sesekali Arima terlihat mengambil napas, sedikit jeda, lalu dia mengayunkan lagi tangannya untuk melanjutkan mengolah tepung sagu lempeng.
Tepung sagu lempeng ini berbahan dasar singkong. Pekerjaan mengolah pangan lokal ini setiap hari dilakukan oleh Arima Rajab, warga Kelurahan Dufa-dufa, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara.
Pekerjaan ini ditekuninya semenjak masih remaja bersama orang tuanya. Saat itu, bahan singkong atau kasbi masih mudah untuk didapatkan di Ternate.
“Dulu kami tinggal di Tubo, di sana kasbi masih banyak, tapi sekarang sudah sulit. Kalau sagu lempeng sudah selesai dibuat, biasanya saya yang bertugas untuk jual. Saya berkeliling sambil membawa sagu lempeng di sejumlah tempat hingga habis terjual barulah kemudian saya pulang,” kata Arima, Minggu, 16 Oktober 2022.
Arima bercerita, saat ini bahan singkong harus pesan di Jailolo, Halmahera Barat, ada juga di Halmahera Utara. Tapi biasanya untuk jangkauan yang jauh harganya tentu lebih mahal.
“Untuk di Jailolo itu sudah menjadi langganan, mereka menjual ubi kasbi atau singkong dengan ukuran karung 25 kilo, harganya Rp130 kalau ukuran karungnya 50 kilo penuh maka harganya Rp140 hingga Rp150, sementara di Halut harganya mencapai Rp200 ribu,” ucapnya.
Ia mengaku, cara membuat sagu lempeng harus menggunakan alat pencetak. Alat pencetak sagu tersebut terbuat dari gerabah tanah liat yang berbentuk persegi panjang dan memiliki 5-6 rongga di tengahnya.
“Jadi di dalam rongga itu, tepung sagu dimasukkan untuk mencetak sagu lempeng. Alat ini, warga Maluku Utara menyebutnya forno. Alat ini fungsinya menyerupai oven,” ujarnya.
Arima sesekali dibantu suaminya, Idham Ahadi. Keduanya silih berganti mencetak sagu. Berselang sekitar 3-5 menit, tepung singkong yang dimasukkan ke dalam forno siap diangkat dan hasilnya telah membentuk lempengan sagu.
“Sagu-sagu tersebut kemudian dijemur di bawah panas matahari, setelah itu kami jual ke pasar, harganya bervariasi. Satu ikat terdapat tiga lempeng sagu, harganya Rp10 ribu, biasanya kalau laku dan habis, penghasilan mencapai Rp500 ribu bahkan kadang lebih,” jelasnya.
Arima bercerita, sebelum menjadi tepung sagu, proses pembuatan sagu lempeng ini dimulai dari singkong yang dibersihkan lalu digiling menggunakan mesin.
Untuk memisahkan air yang masih berada di dalamnya, singkong itu kemudian diperas menggunakan alat seperti dongkrak mobil, sampai menghasilkan saripati singkong yang akan digiling kembali hingga berbentuk tepung.
“Jadi mudah saja, karena sudah terbiasa buat sagu lempeng makanya biar sudah tua tapi tetap saya buat,” katanya.
Pekerjaan ini, kata Arima, dilakukan untuk membantu kebutuhan keluarga serta keberlangsungan sekolah anak-anaknya.
“Anak saya ada dua, satu sementara masih kuliah, satunya lagi sudah selesai,” ungkapnya.
Menurutnya, singkong ini bukan hanya dibuat untuk bahan dasar sagu lempeng saja, tapi bisa diolah menjadi popeda, kripik, dan lainnya. Popeda sendiri merupakan salah satu makanan lokal dan khas asal Indonesia bagian timur.
“Tapi karena saya ingin jualan sagu lempeng, maka cuma itu yang saya buat,” pungkasnya.