Ternate, HN – Ruslan Majid (54 tahun) tidak pernah menyangka bisa meneruskan pekerjaan orang tua sebagai pembuat Tuala Lipa yang dirintis sejak 1998.
Rabu, 21 September 2022, kru halmaheranesia bertemu Ruslan di rumahnya, di Kelurahan Sangaji Utara, tepatnya di belakang kawasan Makam Pahlawan.
Dalam kesempatan itu, ia bercerita, topi adat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuala Lipa ini adalah topi khas atau penutup kepala di Kedaton Kesultanan Ternate.
Ruslan mengaku, pekerjaan ini dilakoninya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus meneruskan pekerjaan para tetua dahulu.
“Saya belajar buat topi ini ketika ayah saya masih ada. Kebetulan orang tua saya memang pandai membuat topi yang biasanya dipesan langsung dari kedaton waktu itu, dan saya melihatnya sambil belajar hingga bisa buat sendri,” ucap Ruslan.
Ia mengatakan, Tuala Lipa ini merupakan ciri khas sekaligus identitas orang Ternate, khususnya di kedaton yang seringkali digunakan pada saat acara-acara besar kesultanan.
Awalnya, kata dia, membuat topi Tuala Lipa ini agar pekerjaan yang ditinggalkan orang tuanya tidak hilang. Namun, usaha ini terus berkembang dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
“Saya dari awal menjadikan ini sebatas pekerjaan biasa, kebetulan saya juga guru di salah satu SD Negeri di Ternate, jadi kesibukan pasti banyak, sehingga pekerjaan pembuat topi ini hanya mengisi waktu kosong saja,” ucapnya.
Ia menjelaskan, cara membuat Tuala Lipa ini sangatlah mudah, bahannya digunakan dari kain yang dinilainya unik. Tapi, biasanya menggunakan kain batik, ada juga kain hitam, kuning, dan merah. Kain-kain itu digunakan sesuai dengan pesanan yang diminta.
“Bahannya dari kain dan lem, ditambah juga dengan pilox kalau mau dibuat berwarna,” tuturnya.
Bahkan ia mengaku, bukan hanya dari pihak kesultanan saja yang memesan, tapi pesanan juga datang dari pemerintah kota, instansi sekolah, dan komunitas.
“Banyak instansi yang pesan, bahkan ada yang pesan sampai 200 buah, itu pihak pemerintah, tapi kalau komunitas paling tinggi 50 buah saja, dan ini kerjanya cukup teliti, apalagi kalau waktunya mepet,” ungkapnya.
Guru SD ini menyebutkan, satu buah topi Tuala Lipa diberi harga Rp 100 ribu, tapi kalau pesanannya banyak dan bermacam-macam motif maka harganya bisa turun.
“Harganya Rp 100 ribu, soalnya bahan kain juga naik, bahkan kadang susah untuk didapatkan.”
Ia mengaku, pembuatan Tuala Lipa ini awalnya diberi harga murah. Seingatnya, tahun 1998 topi ini diberi harga Rp 15 ribu per satuan. Tapi, lama-kelamaan dan sesuai perkembangan zaman, tahun 2005 naik menjadi Rp 25 ribu, kemudian tahun 2012 menjadi Rp 75 ribu dan pada 2020 hingga saat ini naik menjadi Rp 100 ribu.
“Kalau harganya tidak naik, rugi juga kita, karena harga bahan mahal,” katanya.
Ruslan menuturkan, ia hanya membuat satu jenis Tuala Lipa, tapi ada yang lipat ke dalam dan ke luar. Bahkan makna dari topi ini sendri sangat luar biasa.
“Saya belum tahu persis maknanya, tapi menurut para tetua dulu, Tuala Lipa ini punya makna tersendiri yang menyimbolkan kedekatan kita kepada sang pencipta,” ujarnya.
Ia lantas berharap, agar pemerintah daerah melihat ini sebagai satu ciri khas peninggalan sejarah yang diwariskan para pendahulu kepada generasi saat ini. Apalagi sudah sangat langka generasi sekarang mau belajar untuk mengetahui cara pembuatannya.
“Mastinya ini diwajibkan kepada semua para (stakeholder) pemerintah di Ternate untuk menggunakannya pada saat jam kantor berlangsung, sehingga tidak hilang makna dan identitas kita sebagai orang Ternate,” harapnya.
Ia menambahkan, topi Tuala Lipa ini tidak bisa dipakai oleh perempuan, dan hanya bisa digunakan oleh para lelaki.
“Perempuan hanya bisa mengambil topi Tuala Lipa ini untuk menaruh di kepala para lelaki, itu pun hanya pada saat perang saja,” jelasnya.