
Masalah kebebasan berpendapat di Maluku Utara, belakangan ini menyita perhatian publik. Demokrasi dan kebebasan berpendapat yang didefinisikan sebagai dua bagian yang tak terpisahkan, nampak anomali secara praktikal.
Kritik sering ditafsirkan secara sentimentil oleh kekuasaan dan hanya sedikit yang terbuka melayani secara argumentatif. Kritik yang fitrahnya harus keras, pedas bahkan sangar, tak jarang harus berakhir dengan tidak mengenakkan.

Kekuasaan, nyatanya memang berwajah ganda; menyeru untuk dikritik, namun berkuping tipis saat ditampar kritik.
Partisipasi publik didengungkan, namun faktanya, kritikan masih saja dianggap sebagai pengganggu. Kasus kekerasan yang menimpa seorang jurnalis Cermat bernama Nurkholis, adalah potret kusut wajah kekuasaan di Maluku Utara, tepatnya di Kota Tidore Kepulauan.
Padahal, ruang publik sebagai tempat lalu lintas gagasan, mesti dibiarkan liar. Tak boleh dibatasi dengan alasan kesantunan atau dimatikan dengan perkara pidana.
Hasilnya, ruang publik terancam mati di tangan kekuasaan yang anti kritik, tanpa harus menyebut kekuasaan anti pikiran. Habermas, seorang teoritikus kritis menyinggung, ruang publik adalah syarat terpenting di dalam demokrasi. Ia adalah tempat di mana warga negara bisa mengungkapkan sikap, argumen, dan opini-opini politiknya.
Kritik Nurkholis di ruang publik, jelas beda dengan hinaan, jangan di bolak-balik. Kritik Nurkholis pada kekuasaan, tentu menyasar tubuh politik kekuasaan, bukan menyoal persona. Sebab, secara intrinsik, kritik akan menampilkan sudut pandang yang lebih bernas dalam meneropong masalah. Kritik berbasis argumentatif, dibalas argumen, bukan dengan ancaman, pukulan, pidana atau dibenturkan dengan perihal kesantunan.
Dalam genealogi filsafat dan sains, kritik mendapat tempat yang sungguh istimewa. Seorang Karl Popper (Mikhael Dua, 2009), menggunakan kritik sebagai metode untuk mencapai kebenaran. Baginya, kritik merupakan satu-satunya metode untuk mendekati kebenaran.
Sejarah panjang demokrasi pun begitu. Demokrasi sebelum menjadi demokrasi, dikuliti dan diuji secara berulang-ulang kali oleh kritik. Maka pada wilayah ini, kekuasaan seharusnya menjadi pelopor kultur egaliter. Sebab masyarakat berhak tumbuh dalam semangat itu.
Dalam pustaka demokrasi, kekuasaan harus dikritik, agar tak terjatuh ke dalam neraka otoritarianisme. Namun nyatanya, kekuasaan di Kota Tidore Kepulauan, sepertinya mulai tabu dengan kritik. Hanya karena sebuah kritik mengandung kata-kata menyakitkan, bukan berarti mesti disebut sebagai sebuah hinaan. Sinergitas pembangunan, tak melulu harus satu pandangan. Karena kekuasaan bukan sentral kebenaran, maka keberagaman dialektika dan perspektif baru adalah sinergitas sesungguhnya dalam proses pembangunan.
Kritik, bisa berasal dari mana saja. Dari seorang jurnalis seperti Nurkholis atau bisa pula berasal dari seorang tukang ojeg pangkalan. Tak harus jadi politisi untuk jadi pengkritik, siapapun bisa menjadi pengkritik. Sebagaimana Nurkholis memerankan itu, merakit argumen kritis dan menembakkan ke tempurung kepala kekuasaan.
Nurkholis, diwartakan media online, menulis opini berjudul “Hirup Debu Batubara, Dapat Pahala” yang diterbitkan oleh media online Cermat. Pemilihan judul tersebut, diilhami dari petikan pernyataan Wakil Wali Kota Tidore, Muhammad Sinen, pada saat acara pembukaan turnamen domino di Kelurahan Rum Balibunga. Konteksnya bagi Nurkholis, menghubungkan peristiwa polusi debu batubara PLTU Tidore dengan pahala, merupakan kesalahan logika (logical fallacy).
Dalam menjelaskan kesalahan logika Wakil Wali Kota, Nurkholis mendudukkan konsep pahala secara teologis juncto asas inter-subjektifitas untuk memperlihatkan kesalahan konsep bernalar Wakil Wali Kota Tidore. Nurkholis sampai-sampai membawa-bawa nama Pondok Pesantren Modern Pendidikan Al-Quran IMMIM Putra Makassar, tempat dimana ia menimba ilmu agama selama 6 tahun. Pun basis pengetahuannya dari beberapa Ustadz tentang perkara lingkungan yang berbeda dengan konsep lingkungan ala Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan.
Nurkholis mempersoalkan konsep yang diungkapkan Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan secara korelatif, bahwa pernyataan ‘hirup polusi debu batubara’ dan ‘dapat pahala’ adalah dua pernyataan yang berbeda secara sifat. Pernyataan pertama, mengandung makna anteseden, sedang pernyataan kedua, mengandung aspek konsekuen. Artinya, anteseden dari ‘hirup debu batubara’, berkonsekuensi pada ganjaran pahala.
Kerangka pikir seperti inilah yang bertentangan dengan pengetahuannya sebagai seorang alumnus Pesantren dan sebagai seorang jurnalis pecinta lingkungan. Bahkan sekalipun rangkaian narasinya begitu meledak dan rada-rada meledek, namun Nurkholis konsisten dalam bernalar. Terbukti, Nurkholis tetap mencantumkan premis-premis yang melatari narasinya. (*)