Ternate, HN – Wito, pria asal Jember, Jawa Timur, kala itu tampak serius menjahit sepatu di tengah panasnya matahari. Ia terlihat cekatan berjibaku dengan jarum dan benang.
Tepat di bahu jalan Pasar Gamalama, Kota Ternate, Maluku Utara, Wito menjahit nasibnya sehari-hari demi istri dan anaknya.
Pria 54 tahun ini mengaku, pekerjaan ini telah dijalaninya sejak tahun 1971. Dari pekerjaan ini pula, ia bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi.
“Alhamdulillah, walaupun hanya menjahit sepatu dan berpindah-pindah tempat, saya bisa membiayai anak saya untuk masuk di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur,” kata Wito kepada halmaheranesia, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Ia menjelaskan, setiap sepatu yang dijahitnya, ongkosnya sebesar Rp 25.000, dan untuk sendal sebesar Rp 20.000.
“Kalau dulu pendapatan kita setiap harinya itu bisa sampai Rp 100.000, sekarang paling banyak Rp 50 ribu, bahkan terkadang kita tidak mendapatkan orderan sama sekali,” kata Wito.
Para pelajar dan mahasiswa adalah pelanggan yang paling banyak menghampiri lapaknya. Namun, mulai mengurang akibat lama dihantam badai pendemi Covid-19 beberapa tahun terakhir.
“Sebelum pandemi, banyak mahasiswa dan anak sekolah yang sepatunya sering rusak, sekarang sudah jarang walaupun sekolah dan kampus sudah rutin belajar tatap muka,” ujarnya.
Walau begitu, dengan pendapatannya yang tidak menentu seperti ini, Wito tetap bersyukur karena masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, termasuk biaya pendidikan anaknya.
Ia tak lupa meminta Pemerintah Kota Ternate untuk memperhatikan nasib penjahit sepatu serta memberikan tempat yang layak dan permanen.
“Kita juga sudah merasa capek pindah-pindah terus. Apalagi ada larangan tempat-tempat yang tidak bisa dipakai untuk usaha, kan kita merasa kesulitan. Ya tempatnya sederhana juga tidak apa-apa. Yang penting itu diizinkan pemerintah,” harapnya.