Ternate, HN – Wastumi, perempuan paruh baya itu begitu getir menjalani hidup di Ternate, Maluku Utara. Sehari-hari berdagang pentolan untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak, tapi kerap berhadapan dengan Satpol PP.

Perempuan berusia 56 tahun asal Semarang, Jawa Tengah, saat ini semakin gelisah dengan kondisi ekonominya, setelah beberapa kali ditertibkan Satpol PP Ternate.

Wastumi justru heran, penjual lain seperti jajanan jagung dan kacang kerap tak mendapat perlakuan yang sama seperti dirinya.

“Kita jualan di sini kadang ditertibkan bahkan diusir, katanya saus pentolannya nanti menetes ke jalan dan merusak. Sementara yang lain tidak diusir,” ungkap Wastumi, Kamis, 11 Agustus 2022.

Bahkan, kata dia, kerap diusir dengan cara yang kasar. Apalagi saat ia berjualan pada saat jam kantor, yakni Senin-Jumat.

“Pihak Satpol PP hanya izinkan kita jualan di sini pada Sabtu dan Minggu. Kalau masih jam kantor lalu jualan kita akan ditertibkan,” tukasnya.

Ia mengaku, padahal ia sedang berusaha untuk keluar dari masa sulit setelah dua tahun dihantam pandemi Covid-19. Di tengah memulihkan kondisi ekonominya, ia justru berhadapan dengan masalah penertiban yang membuat pendapatannya terus menurun.

“Pokoknya sulit bangat, jualan aja dibatasi. Kita pernah dapat bantuan dari pemerintah ketika masa Covid-19, tapi hanya sekali aja,” jelasnya.

Ia berharap, pihak Satpol PP tidak hanya menertibkan para penjual pentolan. Tapi perlakuan yang sama harus berlaku untuk penjual lainnya.

“Karena hanya jualan ini yang bisa menopang kehidupan keluarga dan biaya anak untuk sekolah. Tempat jualan kita juga harus disediakan, supaya kita tidak jualan sembarangan sama dengan yang dipikirkan Satpol PP itu,” katanya.

Wastumi bercerita, sejak tahun 2009 bersama Suryono, sang suami dan dua anak laki-laki memilih Kota Ternate sebagai tempat untuk berjualan.

“Saya bersama keluarga sudah 13 tahun di Ternate, nggak pindah-pindah. Kita jualan macam-macam, sampai sekarang masih jualan pentolan sama tahu,” ucapnya.

Dulu ketika masuk ke Kota Ternate, ia bersama suami mulai berdagang dengan jualan bubur, setelah itu jualan nasi keliling, tapi hanya berjalan selama enam bulan.

“Keuntungan tergantung cuaca. Ya, kita jualan saja, (sekarang) keuntungan per hari hanya Rp 200 ribu, ya kita bersyukur.”

Rasa syukur itulah yang membuat ia bertahan, berusaha mencari cara agar tetap berjualan. Sebab, hanya dengan jualan, Wastumi bisa terus melihat dua anak kesayangannya dapat menikmati bangku pendidikan seperti anak-anak lainnya.

“Anak saya dua orang, mereka sekolah di sini. Anak pertama kuliah di Unkhair, yang satunya masih SMA,” pungkasnya.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *