Catatan sejarah, menjadi salah satu bukti, mengapa Ternate, sebuah kota kecil di timur Indonesia begitu memesona. Sebelum eksotisme teluk Sulamadaha dan pesisir pantai Tobololo dikenal luas, kota ini telah menandai suatu sejarah panjang.
Alfonso de Albuquerque, tokoh besar Portugis di masa lalu, barangkali tak menduga, Francisco Serrao yang diutusnya beserta armada ke Ternate untuk mencari rempah-rempah, adalah kota atau pulau paling berkesan bagi beberapa penjelalah dunia.
Alfred Russel Wallace, salah satu peletak dasar pengetahuan modern, bahkan pernah bermukim di kota ini selama empat tahun. Dari pulau kecil inilah, Wallace menandai sejarah flora dan fauna. Dari sini pula, ia menulis surat kepada Charles Darwin, yang berada jauh di kepulauan Galapagos.
Surat itu kemudian menjadi narasi penting bagi Darwin menerbitkan karyanya, Origin of Species, pada 1859. Wallace memang punya banyak kenangan di kota ini. Pengembaraannya di Ternate dan pulau-pulau sekitar, bahkan dikisahkannya.
Saat tiba di Ternate, Wallace menulis, “Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas. Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan.” Barangkali bukan hanya Wallace, ada banyak penjelajah yang mencatat kesannya saat tiba di Ternate.
Ternate memang telah melintasi fase paling bersejarah. Meski jejak kolonisasi membekas, tak membuat pulau ini tergerus. Ternate hari ini adalah wajah kota masa depan di timur Indonesia. Ruang kota yang penuh dengan jejak sejarah disertai bangunan publik yang artistik, membuat sisi lain kota ini semakin menarik.
Meski begitu, tantangan terberat hari ini adalah merawat ekosistem kota menjadi lebih ramah. Belajar dari kota-kota maju di dunia, pemanfaatan ruang publik kota selalu disertai dengan kaidah-kaidah, seperti yang ditulis Ernest Callenbach, dalam buku Kota dan Lingkungan (1999).
Memiliki sejarah kesultanan yang besar, kaidah pembangunan kota ini tentu perlu mengikuti narasi atau nilai yang mengitarinya. Ernest menggunakan istilah ‘kaidah lama’ dan ‘kaidah baru’.
Selain menjaga ekosistem kota, masyarakat perkotaan dituntut untuk memperbaiki sikap dengan membuang kaidah lama. Sampah atau limbah, misalnya. Kaidah lama menjelaskan masyarakat lebih instan, seperti membeli tisu atau minuman kaleng. Bisa langsung dibuang setelah dipakai. Ernest menyebutnya ‘etika pemborosan’ atau hanya memikirkan hidup dari aspek ekonomi semata.
Namun, untuk kota yang ramah, ruangnya harus diisi dengan perilaku kaidah baru yang mementingkan dampak terhadap tujuh generasi mendatang. Hal ini juga bisa dilakukan pada penanganan penduduk, energi, transportasi, hunian, kebahagiaan, dan investasi.
Sepertinya Ternate belum begitu erat dengan perilaku kaidah baru. Kendati beberapa ruang publik ramai dikunjungi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang (sok) mengusung konsep ekologis, kota ini malah kehilangan wajah yang ramah dengan lingkungan.
Kebijakan ‘ekologis’ itu seperti tempelan-tempelan saja di media massa. Kasus Galian C dan tata ruang kota yang terus memakan punggung hutan Gamalama adalah bagian-bagian dari potret kebijakan tempelan itu. Semakin hari hunian dan bangunan bertema wisata kian menempel di bahu gunung.
Sementara pada wilayah yang lain, penggusuran hutan dan kebun di ketinggian terus terjadi. Cengkih yang pernah menjadi ‘emas hitam’ di masa lalu dan kini sedang ditiupkan kembali kejayaannya, malah menjadi korban dari alat-alat berat yang tampak setiap hari lalu-lalang di pinggiran hutan Gamalama. Industri hunian memang sedang tumbuh di kota. Penjualan tanah kaplingan juga menjadi alasan lain.
Tak berhenti di situ, ketika ketinggian sedang mengalami keterancaman, wajah pesisir Ternate pun terlihat semakin mengkhawatirkan. Reklamasi dan zona ekonomi baru yang tumbuh sepanjang pesisir kota ini telah menandai peristiwa ekologi yang mengancam masa depan kota. Ekonomi tentu tumbuh, tapi tidak dengan lingkungannya.
Pohon masa depan seperti mangrove yang berada di Mangga Dua, misalnya. Di kawasan ini, mangrove pernah tersebar seluas dua hektar. Namun, pembangunan mengubah segalanya. Kendati dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 telah menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan suaka alam, tidak membuat ia terjaga dari alasan pembangunan.
Kalumata adalah alasan berikutnya. Kawasan sempadan pantai yang disebut sebagai wilayah konservasi itu pun lenyap dimakan proyek reklamasi.
Tapi kita seolah tak dapat menolaknya. Kita terpaksa menerimanya karena mereka menyebutnya masa depan ekonomi dan kota. Sampai baris ini saya menulis, saya justru telah menikmatinya; sesekali merayakan kota ini di atas lahan-lahan itu. Tak dapat saya menampiknya. (*)