
Ada sebuah perkampungan yang telah didiami oleh sejumlah keluarga yang berada di lereng gunung api Gamalama, sejak sebelum penjajahan Belanda terjadi di tanah Maluku Utara.
Berbagai keunikan dengan ciri khas kampung ini, terdapat budaya yang begitu memikat setiap orang yang mengunjungi kampung Tongole. Keberadaan Cengkeh Afo sebagai cengkeh tertua di dunia di kampung ini mengundang pegunjung dari setiap belahan dunia.

Selain itu, kampung ini memiliki tanah yang subur dan memberi sumber kehidupan, serta sumber air dengan debit yang melimpah, atau dikenal dengan Air Tege-Tege yang dikelola sejak zaman pemerintahan Belanda.
Lingkungan yang asri dan penduduk yang prima. Pemberian rezeki dari Tuhan membuat masyarakat kampung Tongole dikenal dengan masyarakat yang teguh merawat budayanya hingga kini. Saat ini Tongole dikenal dengan kelurahan yang masuk dalam wilayah kerja Kecamatan Ternate Tengah, yang secara resmi dimekarkan pada 4 Oktober 2018 oleh Wali Kota Ternate saat itu Alm. Burhan Abdurahman.
Masyarakat Tongole dengan aktivitasnya yang begitu dekat dengan alam, menjadikan mereka bagian dari orang-orang yang masih merasa bagian dari alam itu sendiri, bagaimana cara merawat lingkungan dengan kebaikan-kebaikan alam yang tengah memberi kehidupan kepada mereka.
Masyarakat merasa nyaman dengan adanya sumber Air Tege-Tege yang mana dikelola sejak zaman pemerintahan Belanda. Tongole merupakan daerah pertanian hingga saat ini, sehingga mayoritas penduduknya berkebun.
Penduduk Tongole memilih bertahan karena akses air yang begitu mudah dan gratis, selain itu, budaya gotong royong yang masih terawat dengan baik, membuat masyarakat enggan untuk pindah ke kota.
Pada momen tertentu, seperti pada Hari Raya Idulfitri maupun Iduladha, ritual ziarah kubur para Aulia atau yang dikenal oleh masyarakat Tongole sebagai para pemuka agama, masih rutin dilakukan oleh seluruh masyarakat. Tahlilan yang dilakukan juga sebagai silaturahmi yang masih erat dengan kelangsungan hidup masyarakat Tongole.
Penetrasi Urban
Kampung saat ini memang memiliki tekanan ganda, nilai-nilai urban yang menjadi penetrasi pada kehidupan tradisional membuat perubahan pada pola konsumsi, pola pikir, dan kebiasaan. Hal ini yang masih terus dapat diperangi oleh budaya di Tongole.
Hal ironis yang kini terjadi pada sejumlah desa ketika melihat kota dengan sejumlah permasalahan yang kompleks mulai dari lingkungan, polusi, bahan makanan yang melambung naik, dan lain-lain. Justru desa diminta menjadi kota dengan segala kebaikan yang ditawarkan di desa.
Padahal kota sendiri, ingin menjadi desa, dan itu mahal. Krisis budaya sudah pasti terjadi pada desa yang seperti ini.
Tetapi, Tongole dengan sejumlah budaya mampu melawan penetrasi urban dengan alam yang diyakini cukup memberi kehidupan yang layak. Kehidupan kota tergantung desa, budaya, bahan makanan, dan lain-lain. Silaturahmi dan gotong royong yang begitu kuat dan masif, antara sesama serta kepatuhan terhadap adat dan budaya membuat masyarakat tetap merasa aman dan tenang untuk terus tetap tinggal di Tongole hingga saat ini. (*)
___
Tulisan ini hasil wawancara terhadap Bapak Jauhar, Ketua RW dan Imam Kelurahan Tongole.