Ternate, HN – Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, M. Sofyan Daud, pada Sabtu malam, 23 Juli 2022, melaksanakan Sosialisasi Empat Konsensus Berbangsa dan Bernegara di Kelurahan Tanah Tinggi, Kota Ternate.

Dalam kesempatan itu, selain Sofyan Daud, hadir juga Prof Husen Alting, mantan Rektor Universitas Khairun (Unkhair) dan seorang akademisi, Muhammad Assyikin, sebagai pembicara.

Sofyan Daud mengatakan, kegiatan ini menjadi peran untuk DPRD Provinsi Maluku Utara dalam rangka berpartisipasi memberikan sosialisasi terhadap empat konsensus berbangsa dan bernegara. Empat Konsensus tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

“Karena saat ini kita lihat, misalnya, dalam sistem kurikulum nasional mengenai porsi pelajaran-pelajaran atau bahan ajar yang berhubungan dengan Pancasila sebagai falsafah, konstitusi UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika ini sudah terlalu minim,” ucap Sofyan.

Sementara di sisi lain, kata dia, dinamika kebangsaan ini menghadapi banyak tantangan, baik di tingkat lokal, regional, dan nasional.

“Bahkan globalisasi tampaknya memicu keterbukaan informasi, demokratisasi juga menuai kritik dan keprihatinan dan itu menjadi tantangan yang sangat faktual. Belum lagi pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat. Jadi 15 sampai 20 tahun ini perubahannya luar biasa drastis tentang perilaku generasi, misalnya dengan maraknya informasi dan telekomunikasi yang mudah diakses. Kemudian ke level struktur juga masih minim,” paparnya.

Ia menjelaskan, sosialisasi kebangsaan pada wilayah pendidikan saat ini sangat formalistik, lebih mementingkan hal-hal yang administrasi.

“Jadi kemasannya tidak harus terlalu formal atau dialogis seperti itu. Tapi (mestinya) lebih interaktif ke masyarakat,” ungkapnya.

Sementara itu, Prof Husen Alting, menyebut mengapa harus menggunakan kata konsensus dan bukan lagi disebut pilar, karena konsensus itu menjadi dasar bernegara di dalam kehidupan bermasyarakat.

“Pada fase tertentu, nilai-nilai itu bergeser, apalagi di era teknologi, pergeseran nilai semakin dahsyat. Kalau itu tidak dilandasi dengan konsensus, maka kehidupan bermasyarakat menjadi lemah,” kata Husen Alting.

Ia memaparkan, nilai tidak bisa hanya mengubah mindset, nilai itu butuh perilaku. Seperti pada hal-hal kecil yang selalu dianggap remeh.

“Padahal hal-hal kecil itu akan menjadi membesar. Seperti tidak menghargai budaya antre, urusan di kantor kita bypass, ini menurut saya nilai-nilai mulai terkikis,” ungkapnya.

Ia mengaku, untuk Maluku Utara sepertinya sulit adanya perpecahan lagi, tapi yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya sikap atau perilaku menghargai dan tolong-menolong atau nilai-nilai sosial dari generasi.

“Teknologi saat ini sangat signifikan mengubah perilaku dan nilai. Oleh karena itu, pendidikan keluarga serta nilai-nilai konsensus mari kita dijaga dan dapat dilaksanakan dengan baik,” jelasnya.

Sedangkan M. Assyikin dalam kesempatan itu menjelaskan, yang harus dibicarakan pada empat konsensus ini adalah implementasi dari nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.

“Masyarakat dituntut untuk mengamalkannya nilai-nilai, tapi yang perlu dipertanyakan, apakah pemerintah sendiri sudah mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kebijakannya atau tidak,” ucap Assyikin.

Ia mengaku, jika ada perpecahan yang terjadi di masyarakat, seharusnya yang dilihat adalah mata rantai atau benang merah sehingga adanya gerakan-gerakan disentegrasi.

“Oleh sebab itu, maka dalam pembukaan UUD 1945, menyebutkan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa, dan itu bukan hanya untuk warga, tapi implementasinya juga harus dilakukan oleh perangkat birokrasi pemerintah,” pungkasnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *