
Dunia fatamorgana sosial telah menciptakan situasi yang di dalamnya realitas tidak lagi seperti yang dibayangkan sebelumnya. Mesin-mesin realitas menciptakan berbagai citra dan penampakan visual yang seakan-akan merupakan bagian dari realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas simulasi yang dibangun secara artifisial lewat teknologi pencitraan (Yasraf Amir Piliang).
Perkembangan teknologi informasi media massa, baik cetak maupuan online tidak selamanya dapat berdampak positif. Selalu ada saja ruang di mana pihak tertentu disudutkan dan dirugikan, meskipun secara halus nyaris tak terasa. Hal ini terjadi karena pengaruh kuasa kapitalisme global yang mencekam.

Masyarakat kapitalisme global dibangun atas dasar “persaingan” yang tinggi (high competition). Persaingan yang ketat antarperusahan, persaingan dalam gaya hidup, antarkelas, antargolongan, antarnegara, dan sesama perempuan sekalipun.
Di dalam masyarakat kapitalis, pandangan dunia dan cara berpikir masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kecenderungan persaingan menunjukan masyarakat berada pada perkembangan yang konsumerisme. Atau masyarakat yang lebih mengutamakan logika hasrat keinginan ketimbang logika kebutuhan (Yasraf Amir Piliang dalam ‘Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial‘)
Dalam konteks demikian, eksistensi perempuan senantiasa terancam dan acapkali ditampilkan sebagai sebuah ‘komoditas’. Misalnya iklan-iklan yang berkelabat di sela-sela media elektronika atau terserak di ruas-ruas media cetak tak jarang menciptakan perempuan sebagai ikon budaya dan objektivitas eksplotasi secara visual.
Iklan merupakan salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa, tentang normalisasi tubuh perempuan, gaya hidup masyarakat, produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adanya muncul strategi mengembuskan wacana tubuh ‘erotis, berambut lurus, wajah cerah tanpa noda, langsing’ yang terus mecuat, sehingga secara tidak sadar cara berpikir masyarakat dikonstruksi dan menganggap tubuh perempuan yang normal adalah sebagaiamana kampanye media tersebut (Perempuan dalam Eksploitasi Kapitalisme Global).
Kuasa media ini akhirnya menggiring semua perempuan dalam sebuah obsesi dan memaksa diri menggapai kuasa media dengan berbagai cara yang terkadang membahayakan diri mereka sendiri.
Misalnya, obsesi “kulit putih, berambut pirang, dan langsing” bagi kebanyakan perempuan yang berkulit sawo matang dan rambut keriting hitam, medorong mereka untuk memborong produk kosmetik yang ditawarkan. Secara tidak langsung ikut menjadi korban dari persaingan kapitalisme global.
Iklan yang disebarkan melalui marketing, televisi, majalah, telah menjadi tuntutan jutaan bahkan miliar umat manusia di bumi ini. Seolah-olah standar hidup manusia diukur menurut kuasa iklan.
Pengaruh iklan punya kekuatan dahsyat yang tinggi sampai menjadi tuntutan gaya hidup masyarakat konsumerisme saat ini.
Contoh lain misalnya, produk body lation milik artis kelas atas Feleicya Angelista, menjadi kosmetik dengan ranting tertinggi di setiap penjuru dunia. Dengan tidak sadar cara pandang perempuan bukan saja dibedakan melainkan diseragamkan.
Yasraf menyebut, budaya konsumerisme adalah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus-menerus lewat pengguna citra, tanda, dan makna simbolik dalam proses konsumsi.
Itulah sebabnya, mesin kapitalisme global disebut juga sebagai mesin hasrat. Artinya disamping memproduksi barang-barang, kapitalisme sekaligus memproduksi hasrat pada diri manusia yang tanpa batas.
Untuk itu, yang diperlukan saat ini adalah pembelajaran tentang bagaimana berpikir dengan berorientasi dan dikembangkan kesadaran, sekaligus cara berpikir jangka panjang, di dalam kepitalisme global selama ini justru cara berpikir jangka pendek yang dikembangkan, untuk mendapatkan keuntung-keuntungan segera, tanpa peduli dengan akibat jangka panjangnya.
Selain itu, kesadaran perempuan tentang life style adalah logika keinginan bukan kebutuhan yang sangat penting dikampanye melalui diskusi, tulisan, dan menunjukan bahwa eksistensi perempuan yang sesungguhnya adalah pada aspek learning and social issues.
Untuk mengurangi laju ekspansi kapitalisme global dalam menjalarkan virus-virus strategi dan ideologinya, khusunya pengaruh hasrat dan gaya hidup yang tanpa batas perlu dikembangkan gaya hidup tandingan “counter life style” dan proyeksi kesadaran masyarakat terlebih perempuan.
Menurut Jonathon Porritt, perlu dikembangkan “kesadaran planet” di dalam masyarakat global. Tumbuhnya kesadaran planet tersebut sangat bergantung pada kemampuan kita menemukan kembali mata rantai kita dengan bumi, yaitu memandangnya dengan sikap empati, ketimbang sekadar mengeksploitasinya. (*)