Perkembangan pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah panjang, semua berangkat dari pengamatan, pengalaman, sehingga kita mampu melahirkan teori atau pengetahuan itu sendiri.

Pengetahuan itu kemudian diuji ketika kita diperhadapkan dengan realitas sosial. Pada zaman klasik semua pengetahuan diterima apa adanya, sebab belum ada usaha untuk mencari kebenarannya, berbeda dengan sekarang, pengetahuan akan diuji untuk membuktikan kebenarannya.

Pengetahuan merupakan sebuah refleksi pengalaman dan pengamatan yang membuat kita selalu mencari dan mengujinya.

Menurut Murtadha Muthahhari, perbuatan tidak lahir begitu saja, melainkan lahir dari sebentuk ideologi. Ideologi merupakan bentuk pandangan dunia dan pandangan dunia hanya bisa dipahami melalui epistemologi atau pengetahuan.

Di era modern saat ini, perkembangan pengetahuan semakin pesat. Ini dapat dilihat dari kemajuan teknologi dan lajunya arus globalisasi saat ini dan penemuan-penemuan dalam bidang ilmiah.

Pengetahuan kemudian menjadi urgensi yang wajib dipegang oleh individu maupun kelompok manusia untuk menjawab tantangan dalam kehidupan.

Dalam pengembangan pengetahuan, semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk mengembangkan pengetahuan tanpa harus ada kelas-kelas sosial dan tingkatan-tingkatan (Umat Islam dan Pertanyaan Tentang Pengetahuan: Indoprogress).

Namun seringkali pengetahuan dihegemoni oleh kekuasaan apabila pengetahuan itu bertolak belakang dengan keinginan kekuasaan.

Kekuasaan sering dilekatkan pada pemberian kepercayaan masyarakat terhadap seseorang menjadi pemimpin atau presiden. Namun bagi Michel Foucault, kekuasaan tidak dimiliki oleh subjek tertentu, melainkan ada dalam diri seseorang sebagai strategi, sehingga kekuasaan itu ada dimana-mana.

Berbeda dengan Karl Marx. Menurut Marx, kekuasaan merupakan hegemoni (dominasi) kelas borjuasi terhadap kelas proletariat. Berangkat dari konsepnya Marx, hari ini kita bisa melihat begaimana praktek kekuasaan yang sering menggunakan jalan kekerasan, penindasan, represif, dll.

Hegemoni dan kekuasaan punya relasi yang begitu kuat, dalam pandangan Foucault, hegemoni merupakan suatu model beroperasinya kekuasaan dari sudut pandang strategi politik, legitimasi, dan kepemimpinan intelektual.

Strategi hegemoni kekuasaan sering dilakukan di negara-negara otoriter, misalnya di Indonesia sendiri, masa Orde Baru, jika menggunakan teori hegemoni Gramsci sebagai kerangka analisa, bagaimana negara telah membentuk hegemoni pengetahuan.

Hegemoni ini tidak hanya dibatasi di ranah pengetahuan perpolitikan atau sejarah semata, namun juga terukir dalam ranah kehidupan masyarakat (Hegemoni Pengetahuan dan Ketakutan Pada yang Liyan: Indoprogress).

Di sinilah kita harus melihat bagaimana kekuasaan tidak hanya memiliki hegemoni atau dominasi terhadap dunia perpolitikan, namun juga turut menghegemoni produksi dan reproduksi pengetahuan yang kemudian berperan langsung dalam pembentukan pola pikir masyarakatnya.

Pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa hubungan kekuasaan. Hubungan pengetahuan adalah hubungan kekuasaan. Pengetahuan adalah peredaran dengan mana perwakilan negara, perusahaan multinasional, universitas, dan organisasi formal lainnya untuk memajukan masyarakat kapitalis (Dr. Mansour Fakih, Jalan Lain).

Benar bahwa, pengetahuan mestinya mengandung nilai-nilai leluhur, seperti nilai keadilan, demokratis, dan peka terhadap lingkungan.

Namun sampai hari ini hegemoni kekuasaan atas pengetahuan sangat begitu kuat, hal ini bisa kita temukan di sebagian kalangan intelektual, bagaimana pengetahuan itu dijadikan sebagai basis untuk masuk dalam lingkup politik praktis, sehingga pengetahuannya dikontrol oleh kekuasaan.

Di dalam ruang lingkup ilmiah seperti universitas, hegemoni kekuasan juga berlaku. Ini artinya lembaga pendidikan hanya dijadikan sebagai sebuah lembaga yang memproduksi tenaga kerja untuk kemudian bekerja di bawah sistem atau pun kebijakan kekuasaan yang mengikat.

Hal ini mirip dengan apa yang pernah diingatkan oleh Paulo Freire, netralitas dalam pendidikan maupun pengetahuan adalah sebuah kenaifan, maksudnya pengetahuan seringkali berpihak pada kekuasaan atau sering digunakan sebagai instrumen akumulasi kepentingan modal.

Selain lembaga pendidikan, hegemoni kekuasaan juga mengakar kuat di dalam dunia media/pers, bagaimana peran sebagian media membuat narasi atau propaganda untuk mengubah pola pikir masyarakat.

Kita bisa berkesimpulan bahwa ada legitimasi kelompok kalangan intelektual tertentu yang menjadikan pengetahuan sebagai instrumen untuk mencari suaka pada kekuasaan dan turut melanggengkan kejahatan tersebut.

Meminjam kerangka berpikir Marx, kita harus berani mengkritik sejarah pembentukan pola pikir dan pengetahuan kita pribadi. Terlepas dari konsepnya Marx, Gramsci, Paulo Freire menekankan pentingnya pendidikan kritis yang dimulai dengan kesadaran diri.

Ia menyebut pendidikan yang memupuk kesadaran kritis tidak hanya menumbuhkan sikap kritis individu terhadap keadaan sosio-politik bangsanya, namun pendidikan tersebut harus mampu membebaskan manusia dari kebinatangannya atau memanusiakan manusia.

Melalui hegemoni kekuasaan atas pengetahuan, kebohogan dipersolek bagaikan raja, kejahatan selalu hebat berdalih. Hal ini berarti proses pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap tabu dan menantang secara kritis hegemoni kekuasaan dalam bentuk sistem dan struktur yang tidak adil yang sedang berlangsung.

Bahkan pengetahuan seharusnya menjadi kekuatan untuk menentang hegemoni kekuasaan dalam kehidupan sosial, bukan sebaliknya. (*)

Bagikan:

Irfandi R. Mansur

Kamerad Gamhas & Mahasiswa IAIN Ternate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *