
Membaca buku dalam pengertian umumnya adalah untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, lebih dari itu, Anne Lamott seorang perempuan novelis Amerika menyebut, “Buku membantu kita memahami siapa diri kita dan bagaimana kita harus bersikap. Mereka menunjukkan kepada kita apa arti komunitas dan sebuah persahabatan; mereka menunjukkan kepada kita bagaimana hidup dan mati.”
Menilik betapa pentingnya kegiatan membaca-menulis, maka tentu Indonesia masih dalam kondisi yang sangat miris. Riset Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, menyebutkan Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (komenkopmk.go.id).
Sementara dari 34 provinsi di Indonesia, 9 provinsi masuk dalam kategori aktivitas literasi sedang; 24 provinsi masuk kategori rendah; dan 1 provinsi masuk kategori sangat rendah. Artinya tidak satu pun provinsi termasuk ke dalam level aktivitas literasi tinggi (Pusat Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan).
Maluku Utara sendiri berada pada urutan ke-29 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia dengan kategori minat baca rendah (Indeks Alibaca).
Banjir Informasi, Rendah Literasi
Di era postmodernisme, informasi dan ilmu pengetahuan berseliweran melalui media sosial, perkembangan teknologi yang semakin maju begitu pesat, sehingga dapat menjawab keinginan manusia meskipun tidak sepenuhnya. Di sisi lain teknologi akan menjadi mara bahaya apabila kita tidak mampu menggunakannya secara bijak.
Di dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak maupun orang dewasa tidak sedikit yang menaruh ketergantungan terhadap gadget, ketagihan bermedia sosial akan menjadi suatu kebiasaan yang diulangi setiap harinya.
Keganjalan akan muncul jika satu hari tanpa bermedia sosial. Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream.
Generasi malas mikir, sekiranya begitu sebutan yang dilabeli pada generasi saat ini. Meditasi pada hal-hal instan, terkungkung lebih memusatkan diri terhadap kesenangan semata. Lebih cenderung menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak produktif. Gadget akan berbahaya bila kita memanfaatkannya sebagai alat pelampiasan rasa bosan atau kesenangan semata.
Mengacu beberapa catatan dalam meningkatkan budaya literasi, maka pertama, budaya literasi harus dibangun sejak dini, mungkin rasanya agak sedikit sulit bagi kita yang jarang atau tidak sama sekali berliterasi. Namun memulai adalah langkah awal yang bijak untuk meningkatkan minat kita terhadap literasi. Perbanyak luangkan waktu bercumbu dengan buku. Mustahil suatu bangsa akan cerdas dengan semangat literasi yang minim.
Kedua, lingkungan sekitar juga merupakan faktor meningkatkan minat baca, hanya saja kebanyakan dari kita yang memilih bergabung dalam lingkungan yang rentan tidak sama sekali meningkatkan minat baca, belum lagi stigma yang sering muncul di dalam masyarakat seperti “sok pintar, kutu buku”. Dan mirisnya stigma seperti ini juga sering dipraktikkan di dalam lingkungan masyarakat intelektual.
Ketiga, secara objektif tentu berbagai cara dilakukan oleh pemangku jabatan untuk mengoptimalkan budaya literasi, namun kebijakan yang dibuat oleh pemangku jabatan sering tidak tepat sasaran. Banyak perpustakaan kekurangan fasilitas berupa buku berkualitas, apalagi di desa-desa terpencil. Perpustakaan tak ubahnya seperti rumah tanpa penghuni. Di dalamnya, buku-buku terbungkus debu.
Keempat, akses bahan bacaan yang masih sulit didapat, padahal bahan bacaan yang digemari tentu akan meningkatkan minat para pembaca.
Akhirnya, seperti kata Najwa Sihab, “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta.” (*)