Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia tidak dapat lepas dari alam dan lingkungan sekitarnya. Dari alamlah manusia mendapatkan sumber makanan, bahan sandang, dan bangunan yang digunakan untuk membangun tempat tinggal.

Selain itu, kualitas dan kesejahteraan hidup manusia juga tidak dapat dipisahkan dari kondisi alam dan lingkungan.

Krisis lingkungan hidup akan menimbulkan kesengsaraan pada umat manusia. Manusia dan lingkungan tentu saling mempengaruhi. Pengaruh alam terhadap manusia lebih bersifat pasif, sementara pengaruh manusia terhadap alam lebih bersifat aktif.

Namun, lingkungan sebagai wahana bagi makhluk hidup terus mengalami kerusakan, lebih jauh dapat dikatakan, perilaku manusia terhadap alam sangat tergantung bagaimana cara pandangnya terhadap alam itu sendiri. Antroposentris adalah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta.

Selain masalah sampah, industri ekstraktif dan laju pembangunan yang menggila turut menjadi penyumbang kerusakan lingkungan hidup. Seperti reklamasi pantai, deforestasi hutan tropis, penggalian, penebangan liar, perubahan iklim, dan eksploitasi ruang hidup.

Masalah lingkungan di Maluku Utara sudah sangat binasa, selain mengganggu kestabilan mendasar yang berkaitan dengan ekonomi politik masyarakat, juga soal kehilangan atas ruang hidup warga tempatan.

Data BPS 2018 (kabarpulau.co.id) misalnya, ada 216 Desa di Maluku Utara tercemar air limbah pertambangan, belum lagi air tanah, udara, dan baku mutu air laut dalam kondisi kritis. Ada juga sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) kepulauan yang dilaporkan dalam keadaan kritis akibat kegiatan eksploitasi tambang di bagian hulu.

Dari segi lingkungan hidup, terdapat beberapa hal yang merugikan masyarakat, di antaranya partisipasi masyarakat dalam Amdal, penghapusan izin lingkungan yang menghilangkan kesempatan untuk menggugat.

Selain itu, dampak paling siginfikan terus terjadi pada masyarakat. Hak dasar masyarakat, yaitu hak partisipasi dan akses informasi dibatasi dengan diterapkannya UU Cipta Kerja (walhi.or.id/).

Seperti Kota Ternate yang merupakan salah satu kota pesisir dihadapkan dengan problem lingkungan, yakni reklamasi dan abrasi pantai. Di pantai Ternate dan pulau-pulau kecil di sekitarnya semakin hari mengalami perluasan wilayah dengan kondisi objektif mempengaruhi kualitas darat dan laut yang cenderung rusak.

Reklamasi diartikan sebagai upaya pengadaan lahan dengan cara mengeringkan rawa, daerah pasang surut, dan sebagainya. Secara substansial reklamasi sebagai kegiatan pembuatan daratan baru ke arah laut. Kota Ternate dengan luas wilayah 76 km2 tidak memungkinkan jika proyek reklamasi ini terus dibangun, karena akan mengakibatkan dampak yang besar.

Pengembangan kawasan reklamasi pantai ini sesuai dengan konsep pemerintah kota, yaitu memberikan identitas Kota Ternate sebagai kota pantai (water front city). Namun, dalam kajiannya, proyek reklamasi ini memiliki dampak buruk terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, mulai dari dampak sosial, ekonomi, maupun fisik.

Pembangunan kawasan reklamasi sendiri sudah diaplikasikan dari arah selatan ke utara Kota Ternate, Kalumata, Salero, Dufa-dufa, oleh badan usaha/swasta (kontraktor/pengembang) dan sebagian masyarakat yang menyetujui proyek pembangunan reklamasi ini.

Di satu pihak, pemerintah kota sering memandang reklamasi pantai sebagai satu-satunya jalan untuk mengembangkan sumberdaya lahan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi dan industri, khusunya dalam konteks pertumbuhan kota.

Tapi, di pihak lain muncul suatu kekhawatiran, baik dari sudut pandang lingkungan, misalnya bahaya banjir, polusi, dan sampah. Sedangkan sudut pendang hidrologi misalnya, penurunan kualitas air tanah sehingga terjadi pendangkalan perairan yang akan mengancam ekosistem pantai.

Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab besar kita semua untuk menghentikan eksploitasi dan perusakan lingkungan yang berlebih-lebihan. (*)

Bagikan:

Tuti Saman

Kamerad Gamhas Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *