Kurang lebih lima bulan yang lalu, informasi di media sosial ramai memberitakan tentang aktivitas penimbunan lahan di RT 01 dan RT 02 Kelurahan Fitu, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Hal ini menarik perhatian publik, bagaimana tidak, lahan dengan luas kurang lebih 7 Ha itu berisi tanaman kangkung, pondak, dan pohon sagu yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas setiap harinya.
Bukan hanya itu, empati banyak orang memuncak akibat penggusuran ini juga berdampak pada lima rumah warga yang masuk dalam area penimbunan.
Dari pengakuan warga, lahan ini sudah mereka (petani) kelola sejak 35 tahun yang lalu. Pada akhir 2021, beredar kabar bahwa lahan yang selama ini telah menghidupkan masyarakat setempat telah memiliki sertifikat.
Informasi ini membuat warga petani yang ada, serta orang-orang yang berkepentingan di dalamnya sontak kaget, karena selama menjalankan profesinya belum pernah melihat ada pihak melakukan pengukuran lahan sampai hari ini.
Dalam merespons aktivitas penimbunan, warga setempat berupaya mencari jalan keluar melalui rapat pada 21 Januari 2022, hingga tiga surat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dari warga kepada Wali Kota Ternate, Ketua DPR Kota Ternate dan Direktur PDAM, diterbitkan secara bersamaan. Alih-alih direspons secara positif, tiga kertas itu tidak ditanggapi sama sekali.
Kondisi ini menyulut kemarahan masyarakat secara luas, dengan anggapan, dalam situasi tegang lagi mendesak ini, pihak pemerintah kota menampilkan sikap abai terhadap masalah yang menimpa warganya. Segala upaya kemudian dipaksakan, bahkan sampai pada meja hijau, yang tidak diketahui akan memihak pada siapa, sementara penimbunan terus berjalan hingga hari ini.
Konflik, sampai saling dorong pun kerap terjadi. Hal ini sangat potensial, kenapa, selain dipengaruhi kelambanan proses penyelesaian, juga akibat kesadaran publik terutama warga sudah disusupi oleh kabar dan berita tentang inkompetensi penyelenggara negara yang bertebaran di media massa, pun akibat tanah yang berstatus sengketa, saat ini, dimasukki dan diobrak-abrik oleh alat penghancur dengan tenaga besar.
Dari rangkaian fenomena di atas, aktivitas penimbunan ini sangat tidak memihak pada masyarakat. Hierarki pemerintah dari atas sampai pada tingkat paling bawah, kelurahan, dengan sendirinya menyatakan posisinya secara tidak langsung.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya lebih antisipatif pada status tanah sebelum penerbitan sertifikat dilakukan, tentu melibatkan masyarakat demi menghindari saling klaim atas tanah. Saya yakin itu bisa teratasi jika saja dalam proses verifikasi dokumentasi tidak hanya mengandalkan surat-surat yang disediakan oleh pemohon. Kerja-kerja observatif mutlak dilakukan.
Demikian juga tanah yang telah memiliki sertifikat, jangan dianggap telah selesai, pun menjadikannya tolak ukur. Biasanya ini akan menonjol ketika pemilik yang baru memperolehnya dari pemilik sebelumnya, kecenderungan merasa memiliki hak atas tanah menjadi sangat konsekuen. Apalagi tidak didekati dengan sikap kritis para calon-calon pembeli, tanah kepunyaan orang banyak pun diakuisisi olehnya (Istijad, 2018, “Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria” Vol 1, Nomor 1 halaman 20. WIDYA YURIDIKA Jurnal Hukum).
Dalam masalah ini tentu tidak sederhana, vis a vis antara kuasa/pemilik lahan dengan warga petani. Pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung mulai memasang simpul-simpul demi memperkuat konsolidasi (Al-Mubarak, Dhiya’ul Fikri. 2020, “Konspirasi Politik Penguasa dan Pengusaha: Analisis Kisah Fira’un, Haman dan Qarun Dalam Prespektif Tafsir Al-Azhar” halaman 16).
Apakah kekuasaan yang akan memenangkan konflik vertikal ini, atau sebaliknya, puluhan warga yang bekerja di dalamnya? Jawabannya bisa keduanya, untuk mendekatinya, kita bisa melihat mana yang berdaya dan yang tidak, yang punya uang dan mereka tak berpunya.
Sistem masyarakat berkelas memang sarat akan ketidakadilan dan pengisapan, semua berkiblat pada “capital”. Puluhan warga petani berhadapan dengan satu pemilik sertifikat, begitulah rakyat diperdaya, struktur pemerintahan yang membebek pada modal menjadikan masyarakat semakin dimiskinkan.
Ketimpangan ini cukup akut, khawatirnya jika tida bisa dibendung akan merugikan kedua pihak, apalagi konflik ini menyangkut penghidupan, yang telah mereka ramu sejak lama.
Untuk Petani
Saya melihat ini akan berlangsung beberapa pekan hingga bulan ke depan, pertama, warga tidak akan serta merta menerima legalitas sertifikat yang ada. Kedua, praktek kerja dari awal sampai sekarang menunjukan tanda-tanda ketidaksiapan, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menutupinya satu-satu.
“Setelah kita turun dan cek ternyata penimbunan di Kelurahan Fitu tidak ada izin, setelah kita cek data di DLH Ternata benar bahwa penimbunan itu ilegal,” ucap pihak DLH Ternate, Syarif Tjan, Selasa, 22, Maret 2022 (halmaheranesia.com).
Ketiga, hal ini diperparah oleh dampak ekologis yang dihasilkannya, selain banjir, juga mengingat bahwa tempat penimbunan ini merupakan daerah rawa, sumber cadangan air tanah.
Persatuan adalah kunci utama yang harus dimiliki oleh warga hari ini, dalam soal apa saja, sudah banyak contoh, kisah herorik para tetua membalut perlawanannya dengan persatuan.
Saya peryaca itu bisa dilakukan, dengan segenap perlawanan yang sudah diupayakan sampai sekarang. Tentu ini soal yang tak mudah, banyak yang harus dikorbankan, tenaga, pikiran bahkan diri kita sendiri.
Tapi apa yang lebih membahagiakan, semuanya demi masa depan yang diimpikan, anak yang bisa menyelesaikan sekolah, cicilan yang harus dilunasi setiap bulan, dan tak kalah penting ialah demi hak yang sudah lama ditenteng di atas tanah Fitu.