Halteng, HN – Gua Bokimoruru di Sagea, Halmahera Tengah, menjadi destinasi wisata populer bagi masyarakat di Maluku Utara. Kawasan karst dengan aliran sungai yang dikelilingi hutan tropis ini selalu membuat ratusan wisatawan domestik datang berkunjung hampir setiap pekan.

Keunikan geologi dan biodiversiti kawasan Bokimoruru itu membuat Pemda Halmahera Tengah mendorongnya sebagai kawasan pengembangan Geopark (taman bumi) di tahun 2020.

Berdasarkan siaran pers yang diterima halmaheranesia, disebutkan pada tahun 2021 terbit Peraturan Bupati Nomor 35 tentang Pengembangan Geopark Halmahera Tengah dan Keputusan Bupati Nomor 556/KEP/382/2021 Tentang Penetapan Geosite Boki Maruru dan Sekitarnya sebagai Prioritas Pengembangan Geopark di Halmahera Tengah.

Kendati demikian, untuk menuju Geopark, suatu kawasan karst terlebih dahulu ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).

Saat ini pengusulan Bokimoruru sebagai kawasan KBAK tengah didorong oleh kelompok masyarakat di Desa Sagea dan Kiya bersama pengurus daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara.

Wacana pengusulan KBAK ini kembali mengemuka pada kegiatan sharing session IAGI Maluku Utara bersama perwakilan Badan Geologi dari Kementerian ESDM terkait Perlindungan dan Pemanfaatan KBAK di Warkop Jenggala Raya, Ternate, Sabtu, 4 Juni 2022.

Tantan Hidayat, Subkoordinator Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM, mengatakan kawasan Bokimoruru berpotensi masuk kriteria sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) atau didorong menjadi KBAK.

“Ada dua fungsi karst, yaitu pemanfaatan dan perlindungan. Dengan adanya KBAK menjadi ada kepastian hukum dalam perlindungan dan pemanfaatan karst, karena menjadi jelas mana karst yang harus dilindungi melalui KBAK dan mana karst yang dapat dimanfaatkan,” ujarnya.

Tantan menjelaskan, tahapan penetapan KBAK dimulai dengan penyelidikan terlebih dahulu. Fenomena geologi sebagai potensi umum kemudian diinventarisasi dan diinetifikasi awal, jadilah dia sebagai geodiversity atau keragaman geologi.

“Warisan geologi itu belum menjadi suatu yang bisa dilindungi secara aturan, secara hukum, atau secara tata ruang. Maka harus ada pola perlindungan dalam bentuk perlindungan yaitu KBAK dan KCAG. Karena di dasar hukumnya,” jelas Tantan.

Supriyadi Sawai, perwakilan kelompok masyarakat Desa Sagea menuturkan, kawasan Bokimoruru adalah kawasan yang bersejarah bagi mereka.

Ia mengaku, aliran sungai atau air dari Bokimoruru telah lama dimanfaatkan masyarakat secara turun-temurun. Saat ini kawasan tersebut juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam yang menambah pendapatan desa.

“Dari itu kami sedang mempelajari skema untuk perlindungan kawasan ini dan sebagai mitra untuk melakukan kajian akademiknya dari IAGI Malut,” ujarnya.

Sementara itu, Deddy Arief, Pengurus IAGI Maluku Utara mengatakan, pemerintah daerah sudah harus melakukan pengusulan KBAK Bokimoruru dengan melihat animo dukungan masyarakat serta potensi kelayakan.

Terkait tata kelola wisata, IAGI juga siap bersama pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan Bokimoruru sebagai wisata yang berkelanjutan dengan mengedepankan kelestarian lingkungan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *