Ternate, HN – Literasi digital saat ini menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan bisa masuk sebagai kurikulum pembelajaran bagi institusi pendidikan maupun untuk semua komunitas literasi di Maluku Utara.

Hal ini mengemuka dalam Bacarita Terarah Literasi Digital yang dilaksanakan pada kegiatan Ternate Membaca ke-5 di kawasan Benteng Oranje, Jumat malam, 22 April 2022.

Diskusi yang dipandu Ghalim Umabaihi ini menghadirkan lima pembicara, di antaranya Wahyuni Bailussy, akademisi Ilmu Komunikasi UMMU, Enang Yusuf Nurjaman, akademisi Ilmu Komunikasi IAIN Ternate, Ikram Salim, Ketua AJI Kota Ternate dan pimpinan redaksi malutpost.id, Faris Bobero, CEO media cermat (partner kumparan), dan Nurkholis Lamaau, pekerja pers atau redaktur media cermat.

“Saya dan rekan saya sedang menyusun kurikulum literasi digital untuk pembelajaran di perguruan tinggi, ini sangat penting untuk menangkal berlimpahnya informasi di semua platform,” ucap Enang Yusuf Nurjaman, akademisi Ilmu Komunikasi IAIN Ternate.

Enang mengatakan, berlimpahnya informasi di media digital ini diiringi juga dengan tiga jenis informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

“Misinformasi adalah informasi yang salah tetapi disebarkan oleh orang yang tidak tahu informasi itu salah. Disinformasi adalah orang tahu itu salah tetapi tetap di-share. Malinformasi ini kadang sengaja diproduksi atau informasi yang sudah tahu informasi itu salah tetapi disebarkan untuk tujuan-tujuan tertentu,” paparnya.

Sementara itu, Wahyuni Bailussy, mengatakan literasi media digital di Indonesia pada saat ini memang berada di bawah rata-rata, padahal pengguna digitalnya sangat besar.

“Penggunaan digitalnya sangat besar, tapi literasinya malah minim,” kata Wahyuni.

Ia menjelaskan, penggunaan digital saat ini lebih banyak mengakses media sosial untuk membuat unggahan dan lainnya. Hal itu tidak masalah, karena itu adalah bagian dari interaksi di era ini.

“Tetapi bagaimana interaksi komunikasi bisa berkualitas maka kita harus berpikir kritis dan kreatif dalam memilih dan memilah informasi yang akan kita sampaikan serta apa yang akan kita dapatkan,” ungkapnya.

Nurkholis, justru menyoroti sumber produsen informasi yang datang dari pekerja media atau jurnalis. Menurutnya, media memiliki peran penting untuk literasi digital. Namun, masih banyak jurnalis yang bekerja tak berbeda jauh dengan warga umum.

“Pekerjaan jurnalis ini sebenarnya hampir punah. Hampir punah bukan karena dibunuh oleh profesi yang lain, tapi dibunuh oleh jurnalisme itu sendiri,” ucap Nurkholis.

Ia menyebut, era digital ini membuat informasi bertebaran di semua platform media sosial tanpa batas dan pengguna digital berpotensi menjadi seorang jurnalis.

“Pertanyaannya apa yang menjadi pembeda, antara seorang jurnalis dan warga biasa yang menyampaikan informasi, saya terus terang saja melihat dinamika kita di sini hampir tidak ada perbedaan sebenarnya,” ucapnya.

“Semestinya jurnalis membuat pembeda, melihat sisi lain dari peristiwa, artinya apa jurnalis itu dituntut untuk merekonstruksi realitas. Publik harus melihat sisi yang lain,” sambungnya.

Era digital ini, kata dia, sebenarnya membantu pekerja jurnalis. Hanya saja ada titik kelemahannya. Masih banyak jurnalis yang mengambil informasi dari platform media sosial.

“Padahal jurnalis itu harus meliput pakai ‘kaki’, maksudnya turun ke lapangan, melakukan observasi dan lainnya,” jelasnya.

Faris Bobero, dalam kesempatan itu melihat dari sisi konten yang diproduksi. Ia berbagi cerita seperti yang dibuat oleh ia dan rekan-rekan saat menjalankan media massa.

“Ketika menjalankan media komunitas, kami selalu menghadirkan konten-konten yang berbeda, seperti tentang kearifan lokal dan catatan lapang,” ungkapnya.

Konten-konten seperti itu diakuinya turut memberikan kontribusi terhadap kualitas informasi atau pemberitaan di platform digital. Namun, Faris mengaku, pemberitaan yang baik harus melalui verifikasi yang ketat dari seorang jurnalis.

“Verifikasi itu sangat penting, sehingga dalam memproduksi berita atau konten dapat dipertanggung jawabkan ke publik. Menjadi jurnalis tentu harus bisa profesional,” jelasnya.

Sementara itu, Ikram Salim, menjelaskan bagaimana cara dapat memilih informasi yang beredar di media sosial. Informasi yang dapat dipertanggung jawabkan adalah informasi yang datang dari media yang secara organisasi memiliki manajamen yang jelas.

“Kalau buka salah satu berita di website media, silakan cek redaksinya, media yang benar memiliki redaksi yang jelas, baik dari perusahaan hingga alamat kantornya,” ucap Ikram.

Ia mengaku, selaku pengurus AJI Kota Ternate, siap berkolaborasi melaksanakan pelatihan atau sosialiasi terkait literasi digital maupun program cek fakta yang sudah beberapa kali dibuat oleh AJI Indonesia.

“Program cek fakta selama ini di Maluku Utara, memang masih untuk jurnalis dan para dosen, tapi kita berharap ke depan bisa dipertimbangkan, atau bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat di kalangan pelajar atau umum,” pungkasnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *