
Ternate, HN – Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (Gamhas) pada Jumat malam, 22 April 2022, melaksanakan dialog bertema ‘Bumi, Perempuan dan Kehidupan’ di Kedai Soccer, Kota Ternate.
Dialog yang dipandu Astuti Saman ini menghadirkan tiga pembicara, di antaranya sosiolog Herman Oesman, aktivis perempuan Astuti Kilwow, dan aktivis lingkungan Wahida Abd Rahim.
Herman Oesman dalam kesempatan itu mengatakan, selama ini pemerintah daerah memang tidak punya kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam karena semua keputusan terkait hal ini diambil alih oleh pemerintah pusat.
“Artinya selama ini masalah lingkungan dalam tanda petik dikelola ‘oligarki’, maka yang memainkan peran untuk mengatur masalah ini hanya orang-orang yang berkuasa,” ucap Herman.
Menurutnya, sumberdaya alam yang ada di daerah harus dikelola pihak daerah sehingga bisa menikmati kekayaan alam yang dimiliki tersebut.
“Sebenarnya ada Perda yang mengatur tentang masyarakat adat yang harus didorong di setiap wilayah di kabupaten kota agar kelola lahannya sendiri,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, semestinya para aktivis dan generasi muda sekarang harus komitmen membangun literasi, apalagi literasi yang spesifiknya bicara tentang ekologi.
“Literasi ekologi perlu dibangun dan disampaikan kepada generasi agar ada edukasi yang diberikan berkaitan dengan ekologi,” jelasnya.
Sementara itu, Astuti Kilwow, mengatakan bahwa ada relasi antara perempuan dan alam yang sangat kuat.
Misalnya, perempuan kampung, ketika menghadapi ekonomi yang sulit, mereka mampu keluar dari itu dengan karakteristik yang lebih kuat.
“Dalam sejarah, banyak literatur yang menggambarkan perjuangan para perempuan itu tangguh, bahwa banyak perempuan juga yang mampu membuka peradaban baru,” ucap Astuti.
Wahida Abd Rahim mengatakan, Maluku Utara saat ini dikenal dengan wilayah kepulauan dengan sumberdaya alam yang melimpah. Mestinya itu dijaga dan dikelola secara baik.
“Kefokusan kita saat ini adalah masalah krisis iklim dan dan perampasan ruang hidup di Maluku Utara. Semua ini karena dapat dari investasi pertambangan,” katanya.
Menurutnya, semakin hari, perusahaan industri skala besar telah menciptakan dampak lingkungan yang buruk terhadap lingkungan.
“Apalagi Maluku Utara ini wilayahnya kepulauan. Kalau dampak ini tetap dibiarkan maka bisa terjadi kehilangan pulau-pulau kecil itu,” jelasnya.
Sementara Komite Gamhas Maluku Utara, Romansa Upara, mengatakan kegiatan yang dilakukan ini untuk mengingatkan pentingnya hari bumi yang setiap tahunnya dikampanyekan.
“Melihat kondisi yang terjadi di Indonesia, khusunya Maluku Utara saat ini telah banyak izin pertambangan yang masuk dan merusak alam dan isinya,” ucap Romansa.
Ia mengaku, Gamhas dengan sikap yang tegas akan melakukan kajian serta protes kepada pemerintah dan oligarki tambang jika hanya ingin menghabiskan sumberdaya alam yang ada di Maluku Utara.
“Jadi masalah eksploitasi tanah dan perampasan ruang hidup harus menjadi tugas bersama, apalagi di kalangan generasi sekarang,” pungkasnya.