Ternate, HN – Pekerjaan jurnalis bukanlah pekerjaan mudah. Selain berhadapan dengan banyak kepentingan, pekerjaan ini juga tidak hanya berkaitan dengan dunia menulis saja. Namun, ada integritas, bisnis, dan rasa peduli yang kuat.

Hal itu mengemuka dalam Tadarus Buku yang dilaksanakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Maluku Utara, pada Minggu, 17 April 2022.

Tadarus Buku yang digelar di sekretariat ICMI Maluku Utara ini membicarakan buku yang ditulis Ghalim Umabaihi, yakni Jurnalisme yang Tergadai: Dilema Media Lokal di Era Digital (Independensia, 2022).

Ghalim adalah seorang magister Ilmu Komunikasi dan saat ini bekerja sebagai redaktur di media cermat (partner kumparan).

Diskusi yang dipandu Abd. Rauf Wajo ini menghadirkan dua pembicara, di antaranya Asghar Saleh dan Enang Yusuf Nurjaman. Selain itu hadir juga sejumlah tokoh, akademisi, mahasiswa, dan pekerja pers.

Asghar Saleh dalam kesempatan itu menjelaskan, masalah media di era digital ini tentu gejalanya sama, yakni ada kecenderungan berpihak pada kekuasaan atau oligarki. Media arus utama, misalnya.

“Media besar dalam kasus perang antara Ukraina dan Rusia itu semua berpihak ke Amerika dan Eropa, dan itu problem. Hal ini terjadi juga juga di Indonesia ketika demonstrasi mahasiswa kemarin, tidak ada media yang liputan secara menyeluruh, kecuali pada saat demo besar,” papar Asghar.

Ia mengatakan, digital memang memaksa ada keterlibatan media. Tapi ada tantangan berat bagi pekerja pers; memilih lapar dengan menjaga integritas atau cari makan dengan menggadaikan independensi media.

“Terutama kemunculan media online yang nyaris tidak punya tim redaksi yang kuat. Apalagi wartawannya masih terbatas, tapi media itu akan terseleksi dengan sendirinya sepanjang tidak menjaga kualitas dan tidak memihak ke hal-hal yang benar,” ungkapnya.

Asghar mengatakan, tantangan lainnya adalah kepercayaan publik terhadap platform media sosial yang ada saat ini, seperti Facebook hingga Twitter. Namun, informasi ini akan terseleksi ketika media online dapat meningkatkan standar jurnalismenya.

“Jadi kalau saya, prinsipnya harus ada penguatan terhadap kapasitas wartawan khususnya yang ada di lokal. Karena, jika ingin jujur, jarang sekali media-media di sini buat pelatihan secara internal.”

“Apalagi menggiring wartawannya untuk sekolah atau ikut pelatihan di level yang lebih tinggi itu sangat jarang dan itu masalah besar. Saat ini orang tiba-tiba sangat mudah jadi wartawan di Kota Ternate,” jelasnya.

Selain itu, banyak wartawan yang instan ketika membuat berita, apalagi dengan adanya platfrom media sosial. Sering para pekerja pers menjadikan berita dari sumber yang diambil dari media sosial.

“Sebenarnya tidak masalah, sepanjang dia kredibel. Tapi akan jadi problem serius ketika wartawan tidak lagi berhubungan langsung dengan narasumber. Padahal bertemu langsung itu lebih efektif, sehingga wartawan tidak kehilangan rasa atau insting jurnalistik,” pungkasnya.

Sementara itu, Enang Yusuf Nurjaman, memaparkan era digital saat ini memang membuat semua platform media sosial berlimpah informasi.

“Ketika di media sosial maka orang itu selain dia menjadi konsumen informasi, dia juga sebagai produsen informasi, semakin banyak media sosial maka mungkin semakin banyak informasi yang bertebaran di sana,” ucap Enang.

Enang menyebutkan, dengan hadirnya era ini juga menghadirkan banyak sekali media online. Seiring dengan itu, kemunculan media tersebut ternyata banyak yang belum tersertifikasi dewan pers.

“Dia hanya menggunakan clickbait untuk meningkatkan traffic, dia
mengabaikan kualitas. Sehingga
Semakin banyak media online yang hadir tetapi berbanding terbalik dengan kualitas informasi,” ungkap akademisi IAIN Ternate ini.

Ia menjelaskan, berlimpahnya informasi di media digital ini diiringi juga dengan tiga jenis informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

“Misinformasi adalah informasi yang salah tetapi disebarkan oleh orang yang tidak tahu informasi itu salah. Disinformasi adalah orang tahu itu salah tetapi tetap di-share. Malinformasi ini kadang sengaja diproduksi atau informasi yang sudah tahu informasi itu salah tetapi disebarkan untuk tujuan-tujuan tertentu,” paparnya.

Sehingga itu, kata dia, perlu adanya literasi digital untuk masyarakat. Apalagi sebuah survei menunjukkan, Maluku Utara pada tahun 2021 lalu literasi digitalnya sangat rendah.

“Ini informasi yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Mengingat Maluku Utara memiliki riwayat konflik yang cukup tajam. Berikutnya ke depan kita menghadapi tahun politik. Itu akan kemudian informasi-informasi semakin menyebar,” ucapnya.

Ia lantas mengusulkan kualitas media massa atau media online perlu diperbaiki. Salah satunya dengan membuat variasi produk jurnalisme.

“Variasi produk itu seperti
berita secara teks, berita secara visual, infografis atau juga audiovisual. Masyarakat (digital) perlu diadaptasi dengan produk jurnalistik yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat.”

Ketika produk jurnalisme telah diperbaiki, maka dengan sendirinya bisnis media tersebut akan dilirik. Kesejahteraan media pun mulai meningkat. Dengan begitu idealisme wartawan tidak akan tergadai.

Sementara itu, penulis buku Ghalim Umabaihi, mengatakan motivasi membuat buku ini karena tanggung jawabnya terhadap pendidikannya serta sebagai pekerja media di Maluku Utara. Ghalim memang terus memantau dan berusaha mengevaluasi kerja-kerja media di daerah.

“Perkembangan media daring di Maluku Utara sangat besar. Hasil identifikasi terakhir di Maluku Utara sebanyak 70 media dan khususnya di Kota Ternate sebanyak 43 media, itu data yang saya riset pada tahun 2021 kemarin,” ucap Ghalim.

Ia mengungkapkan, kehadiran media-media ini selain turut memberikan edukasi, ikut menjadi kontrol sosial, juga disertai dengan kepentingan bisnis.

“Berdasarkan data riset media lokal itu rata-rata kepentingan (bisnis) ke pemerintah daerah, karena pemerintah yang beriklan sehingga (bisa) menghidupkan media,” katanya.

“Sementara di Ternate dengan jumlah media yang begitu banyak tidak sebanding dengan jumlah OPD di pemerintah daerah, ini tentu berpengaruh juga pada bisnis media,” sambungnya.

Selain itu, kata dia, pertumbuhan media yang begitu banyak tidak diikuti dengan kualitas yang memadai.

“Soal manajemen media di Maluku Utara, misalnya. Media yang tersertifikasi pun belum juga menjamin media tersebut bisa berkualitas,” ucapnya.

Apalagi media yang tidak tersertifikasi, tentu memiliki masalah yang lebih besar. Salah satunya soal organisasi media. Setiap berita yang diproduksi tentu harus secara kelembagaan, ada wartawan, redaksi, punya perencanaan liputan, hingga kualitas pemberitaan.

“Tetapi rata-rata standar itu diabaikan oleh kebanyakan media di Maluku Utara,” jelasnya.

Ia mengaku, membuat buku ini bukan semata-mata untuk mendakwah para pekerja media, melainkan hanya ingin berkontribusi untuk menjadi renungan semua media di Maluku Utara.

“Kita sama-sama mendiskusikan menjadi bahan refleksi, mengevaluasi diri untuk perbaikan media di Maluku Utara ke depan, karena bagi saya media memiliki peran untuk pembangunan daerah,” pungkasnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *