Ternate, HN – Media massa memiliki peran penting dalam pemberitaan kasus kekerasan perempuan dan anak. Kode etik hingga kualitas berita harus benar-benar bisa dipahami oleh semua redaksi perusahaan pers.

Hal itu mengemuka dalam dialog yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPP-PA), Rabu, 30 Maret 2022.

Ketua HIMPSI Maluku Utara, Saiful Bahry, dalam kesempatan itu mengatakan setiap pemberitaan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak terdapat sejumlah judul yang mengerikan.

“Judul yang baik (sebenarnya) sangat menentukan, karena berita seperti itu yang diperlukan untuk melindungi korban dari pengaruh pemberitaan dan menjadi edukasi bagi pelaku,” ucap Saiful.

Ia menjelaskan, empati jurnalis tentu sangat dibutuhkan dalam menulis teks berita. Hal itu karena media sebagi potret dari kondisi sosial masyarakat mempunyai kekuatan untuk menjangkau dan membentuk opini di tengah publik.

“Ada istilah dalam komunikasi massa yang sangat psikologis, yaitu afektif komunikasi massa. Apabila pesan yang disebarkan media dapat mengubah suasana hati dan pikiran, apa yang disenangi, dirasakan, atau dibenci,” paparnya.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Politik Hukum dan Pemerintahan, Abuhari Hamzah, mengatakan akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Maluku Utara marak diberitakan oleh berbagai media massa.

“Kasus seperti ini kerap terjadi di sekitar kita, sehingga tidak akan pernah luput dari pemberitaan massa, apalagi kejadian tersebut tak hanya dialami oleh perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak di bawah umur,” kata Abuhari.

Ia mengaku, Pemprov sebagai mitra pers justru sangat menyayangkan, masih ada media massa dengan pemberitaan kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang belum sepenuhnya menaati aturan dan etika peliputan berita.

Menurutnya, pelanggaran kode etik jurnalistik masih sering terjadi saat ada pemberitaan, terutama soal psikologi korban.

“Misalnya dalam mengungkap identitas anak, baik sebagai terlapor ataupun korban kekerasan. Dan dengan sajian pemberitaan yang sadis, karena identitas yang disebarluaskan menyangkut nama, alamat hingga nama orang tua, karena dengan begitu bisa menganggu perkembangan anak itu sendiri,” jelasnya.

Ia menambahkan, seiring perkembangan teknologi media daring banyak bermunculan. Tentu media daring banyak diminati pembaca lantaran lebih mudah untuk diakses.

“Namun, hadirnya media daring pula masih menjadi kekhawatiran, sebab masih ada penulisan yang tidak sesuai etika jurnalistik,” ungkapnya.

Tingginya Angka Kekerasan Seksual di Maluku Utara

Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPP-PA) Provinsi Maluku Utara, Musfira Alhadar, mengungkapkan dalam kurun waktu Januari–Maret 2022 sudah ada 64 kasus perempuan dan anak yang dilaporkan ke pihaknya.

“Ini meningkat signifikan dan sangat mengkhawatirkan,” katanya.

Menurutnya, kasus anak yang terjadi seperti fenomena gunung es dan dipastikan masih ada yang tidak dilaporkan atau diketahui oleh pemerintah maupun aparat.

“Sedangkan pada 2021, pihaknya mencatat ada 292 kasus di Maluku Utara,” ungkap Musfira.

Kota Ternate masuk dengan kasus tertinggi dari kabupaten/kota lainnya. Kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan fisik.

“Dan kasus tertinggi ini adalah kekerasan seksual terhadap anak,” pungkasnya.

Bagikan:

Iksan Muhamad

Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *