
Beberapa minggu lalu, publik Halmahera Barat disuguhkan pada perdebatan menarik tentang dasar hukum yang dipakai untuk menentukan hari jadi kabupaten. Perdebatan itu dipicu dari status mantan anggota DPRD Halbar, Samad Moid, pada beranda Facebook-nya.
Tak hanya Samad, mantan anggota DPRD lainnya seperti Rustam Hi Naser juga turut mengomentari sikap DPRD saat ini yang tidak turut merayakan hari jadi kabupaten yang jatuh pada tanggal 25 Februari berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003.
Komentar itu langsung saja ditanggapi oleh Fandi Ibrahim selaku anggota DPRD Halmahera Barat saat ini. Perdebatan tersebut berlangsung sampai pada dialog yang diselenggarakan oleh LSM Jong Halmahera pada 5 Maret 2022. Namun, ada hal-hal yang luput dari perdebatan dan diskusi yang menurut saya merupakan percikan awal dari perubahan Halmahera Barat ini.
Pada diskusi tersebut, saya tidak melihat empat pembicara di antaranya Abang Fandi Ibrahim, Abang Samad Moid, Abang Ramli Naser (Mewakili Rustam Naser), dan Abang Faizer Giwe membicarakan tentang tujuan maupun cita-cita secara kongkrit tentang kenapa sebuah daerah dimekarkan/dipindahkan.
Sekalipun beberapa kali diulas oleh Abang Fandi Ibrahim, tapi menjadikan defenisi kesejahtraan sebagai variabel yang indikatornya adalah kedamaian dan kemakmuran adalah suatu konsepsi yang masih terlalu abstrak.
Saya justru setuju ketika abang Faizer Giwe mengatakan bahwa maksud dari penerapan otonomi daerah adalah untuk memperpendek rentang kendali pemerintah dengan rakyatnya. Hanya saja ulasan demikian tidak dilanjutkan sehingga ada keterputusan konsepsi tentang apa urgensi yang mengharuskan masyarakat Halmahera Barat saat ini harus kembali mempertanyakan hari jadi kabupaten dan menyuguhkan tema otonomi daerah dalam meja-meja diskusi.
Dalam landasan teorinya, tujuan otonomi daerah tentu berbicara dua hal, yang pertama adalah output, dan yang kedua adalah outcome. Tujuan pada output menunjukan bahwa penerapan sistem otonomi daerah tentu berpijak pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan fleksibilitas program pembangunan.
Sementara pada outcome, otonomi daerah berbicara mengenai peningkatan partisipasi masyarakat dan efektifitas pelaksanaan koordinasi. Dari poin-poin itulah yang menjadi akumulasi konsepsi dalam desentralisasi politik, ekonomi, dan administratif.
Saya berharap dalam membedah cita-cita “pemindahan” Kabupaten Maluku Utara ke Kabupaten Halmahera Barat harusnya ada penjabaran demikian sebagai variabel dalam mengukur keberhasilan Kabupaten Halmahera Barat yang katanya telah dinobatkan menjadi daerah otonom.
Kita tentu bisa menjumpai sejumlah fakta bahwa selama belasan tahun kita berdaerah, ada sejumlah masalah yang menunjukkan bahwa kita gagal menjalankan visi otonomi daerah. Lihat saja sejumlah masyarakat yang masih mengeluhkan pelayanan di beberapa instansi yang cenderung berbelit-belit, salah-satunya di Dukcapil. Problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang masih jelas terlihat, belum lagi beberapa kebijakan masih tidak mengutamakan partisipasi masyarakat selama beberapa tahun berjalan.
Hal-hal demikian telah membuktikan bahwa kita perlu mengevaluasi maupun meneguhkan kembali semangat atau visi ini secara kolektif untuk membentuk mentalitas masyarakat maupun mentalitas daerah yang kuat dalam keberlanjutan pembangunan.
Sebab yang dimaksudkan Abang Faizer Giwe untuk memperpendek rentang kendali adalah dimana kebijakan dan koordinasi antara masyarakat dan pemerintah tidak terlalu jauh, sehingga masyarakat dapat meluangkan aspirasi demi menciptakan keadilan dalam pembangunan.
Saya terkesan dengan ulasan Abang Samad Moid dan Abang Ramli Naser soal perjuangannya dalam menuntut pemindahan kabupaten di Halmahera Barat. Namun, memekarkan suatu daerah tentu ada indikator-indikator yang harus dipenuhi. Salah-satunya adalah sumber daya manusia, jika hal itu saja belum mencukupi dan cenderung telah dipaksakan untuk dimekarkan, maka tak ada asumsi lain yang terbangun selain memperalat masyarakat untuk kepentingan pribadi bagi aktor-aktor yang berjuang saat itu.
Hal itu juga akan mengerucutkan kebesaran dari sejarah daerah ini dengan status “pemindahan”. Karena sebelum Maluku Utara dikenal, orang sudah terlebih dahulu mengenal daerah ini sebagai kerajaan terbesar dan tertua.
Olehnya itu, saya justru melihat bahwa urgensi dalam meluruskan kembali sejarah hari jadi Kabupaten Halmahera Barat adalah dari aspek legalitas berdaerah.
Kita mungkin saja sudah menjalankan desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi, maupun desentralisasi administrasi, namun selama tidak ada satu peraturanpun yang mengatur status kabupaten Halmahera Barat secara kongkrit, maka kita hanya akan berjalan dalam ketidakpastian dan kelembekan mentalitas sebagai suatu daerah yang pernah mempunyai sejarah yang besar.
Dalam dinamika polemik hari jadi kabupaten ini, hanya ada dua pilihan. Yakni meluruskan kembali sejarah kita berdaerah dengan mengusungkan pembentukan peraturan secara kongkrit tentang Halmahera Barat, ataukah menjadi pecundang yang rela melihat ketidakjelasan sejarah yang telah melemahkan kita dalam mencapai cita-cita berdaerah. (*)