Jika dengki dan benci memancang tinggi, dunia tak menikmati lekuk damai. Jika jiwa-jiwa tak berhenti bertikai, ketenangan takkan mungkin digapai. Ada secercahuntung dari memelihara sikap dengki, iri hati, kebencian dan pertikaian yang tak pernah bertepi itu, untungnya adalah rugi.

Ya, hanya rugi. Segala torehan jejak yang bermuasal dari najis kalbu itu hanya menyisakan sejarah tentang tragedi, malapetaka yang berpenghujung “rugi”. Keyakinan itu setidaknya yang mendekap erat di dada Sida Arif. Semenjak mahkota kolano menempeli kepala, ia bergerak cepat menata langkah.

Di tahun 1322, Sida Arif Malamo dinobatkan menjadi Kolano Ternate menggantikan Patsyaranga Malamo (1317 – 1322). Dalam sejarah Ternate, Sida Arif merupakan Kolano ketujuh, semenjak Kolano Ciko atau Mashur Malamo mengomandoi Kerajaan Ternate pada 1257.

Ternate di permulaan abad 14 menanjak sebagai sebuah negeri yang penuh dinamika. Lalu lintas niaga berderap laju sekencang kapal-kapal dagang yang menerobos Laut Utara Maluku. Para pedagang dari Makassar, Jawa, dan Malaka aktif berkomunikasi dan bertransaksi dengan orang Ternate. Pun begitu dengan saudagar-saudagar dari Tanah Arab, Gujarat dan China yang terlibat dalam praktek jual beli di Limau Gapi dengan salah satu sasaran utamanya, rempah-rempah Maluku.

Konon semenjak abad X hingga abad XIII, China menutup rapat peta menuju jalur rempah. Cengkeh “Mi-Li-Ku”, sebutan bagi Maluku dituduh menjadi salah satu barang ekslusif yang dijaga kerahasiaannya. Rempah ini terlampau bernilai tinggi dan diserobot pasar-pasar luar negeri.

Dikutip dari Bernard H.M Vlekke dalam Nusantara, A History of the East Indian Archipelago sebagaimana tertumpah dalam buku “Portugis di Ternate” karya Rusli Andi Atjo dibahas tipis perihal nilai cengkeh, “Lima puluh kilogram cengkih mempunyai harga satu atau dua dukat di Maluku, tapi dijual sepuluh dukat atau lebih di Malaka. Dan makin ke Barat harganya makin meningkat. Di Eropa, cengkih dijual dengan keuntungan 2500 %”. Bisa kita bayangkan betapa mahalnya cengkeh yang menjadi sumber perburuan, ia seperti magnet yang lebih berkilau ketimbang emas dan permata.

Sebagai medan niaga yang magnetik, Ternate menjadi poros ekonomi yang disesaki oleh para pencari untung. Pedagang-pedagang ini berhamburan selain di Ternate, juga di Tidore dan Makian yang merupakan sentral rempah-rempah.

Membaca dinamika ini, Kolano Sida Arif Malamo membikin langkah sigap. Ia menyulap Ternate menjadi kota yang nyaman dengan fasilitas ekonomi yang menawan. Sida Arif seperti menghamparkan tikar untuk semua saudagar yang bergelut aktivitas ekonomi di pasar Ternate dengan kemudahan-kemudahan sebagai wujud dari kualitas pelayanan.

Persepsi “jika bisa lebih gampang, kenapa dipersulit” telah lekat di kepala sang kolano. Ia menolak segala tetek bengek praktek birokratif yang membebani tetamu yang bertandang di poros niaga Ternate. Pasar-pasar menjadi makin hidup dan memberi kehidupan. Ekonomi bergeliat dan tumbuh makin hebat.

Sejarawan M. Adnan Amal (Kepulauan Rempah-rempah) menyebutkan aktivitas jual beli itu begini: “Di pasar Ternate, rakyat menggelar dagangannya mulai dari rempah, bahan makanan seperti sagu dan ikan, buah-buahan dari Moro, daging, hasil pandai besi seperti parang dan alat-alat pertanian, hingga beragam kebutuhan lainnya. Sementara para pedagang asing dan nusantara menjual tekstil, berbagai perhiasan emas perak dan batu mulia, beras, dan alat-alat keperluan rumah tangga, seperti kaca, piring, mangkuk dari porselen dan sebagainya”.

Bisa dibayangkan dalam derap ekonomi itu, orang Ternate tak bersikap seperti budak. Dengan segala kepercayaan diri, mereka berdiri sejajar dengan saudagar dari luar Maluku menjalin proses transaksi, komunikasi dan juga persahabatan.

Ada sisi apik yang tak bisa dilupakan dari Sida Arif adalah sifat pembelajar. Demi memuluskan jalan komunikasi dengan pihak asing, ia rela belajar bahasa Arab dan China. Apa sebab langkah itu diambil? Selain untuk merekatkan jalinan persahabatan dan memahami budaya luar, Sida Arif melakukannya demi memudahkan dirinya dan kawula Ternate memungut banyak informasi dan pengetahuan sebagai wujud pancuri ilmu dari pihak luar. Tujuannya hanya satu, untuk kemajuan Ternate.

Jepang yang terkenal sebagai negara super tangguh, cepat bangkit dan bergerak maju itu memegang teguh nilai-nilai yang dijaga dan dipertaruhkan. Jujur, kerja keras, disiplin dan kesediaan untuk belajar dari pihak lain yang lebih maju dianggap sebagai modal besar dan rahasia kebangkitan negeri penganut spirit kaizen itu. Nilai terakhir diatas, yang mewarisi sifat pembelajar, merasa diri masih kurang dan perlu perbaikan dan peningkatan terus-menerus adalah nilai-nilai yang telah tumbuh subur di era Sida Arif Malamo.

Demi kemajuan, Sida Arif menuntun orang Ternate merengkuh teknologi pembuatan perahu junk, cara menggunakan layar dan navigasi dari pihak luar. Proses belajar yang sungguh-sungguh itu telah menerima hasil berupa penguasaan teknologi pelayaran dan pembuatan kapal sebagaimana ditulis oleh sejarawan Adnan Amal. Paket pergaulan erat dengan pihak luar, aktifitas pasar yang kian bersinar serta penguasaan teknologi yang menghinggapi Ternate itu berubah menjadi ancaman.

Kerajaan Tidore dan Kerajaan Bacan seolah cemburu dengan kelajuan Ternate. Barisan sakit hati ini menabur teror. Perampokan dan penghadangan mencuat, ketegangan menerpa dan bentrokan muncul tak terkira.

Sida Arif Malamo yang pembelajar melihat ini sebagai sebuah ujian. Membiarkan kondisi ini berlarut-larut bukanlah pilihan. Ia lalu menghela langkah. “Tak ada kemelut, yang tak bisa didamaikan”. Dengan kecerdasan, sikap terbuka dan visi persahabatannya, Sida Arif Malamo menginisiasi pertemuan Moti (Motir Verbond) sebagai perwujudan politik perdamaian.

Lima kerajaan diundang. Selain Ternate sebagai pelopor, juga ada Tidore, Bacan, Jailolo dan Loloda. Semua kolano bergerak menuju Moti, tetapi hanya Raja Loloda yang tak sampai kesana. Badai topan memaksa perahu rombongan dari Ngara Mabeno menepi dan mendarat di Dufa Dufa Ternate. Andai saja kompatriot Loloda bisa tembus sampai ke Moti, maka sejarah mengenai Moloku Kie Raha bisa jadi lain ceritra.

Yang menarik dari perjumpaan Moti ini adalah munculnya traktat Moti atau Motir Staten Verbond yang berisi persekutuan raja-raja Maluku yang bersepakat menghentikan ketegangan antarnegeri serta melakukan penyeragaman lembaga-lembaga kerajaan dan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Adnan Amal menulis, “Sejak 1322, Maluku mengalami masa damai dan aman dari berbagai  intrik politik dan permusuhan”.

Saya jadi ingat kalimat piawai yang diembuskan Mahatma Ghandi, “Tak ada musuh di dunia ini, yang ada hanyalah saudara yang berbeda pendapat”. Sida Arif seolah mengajari kita bahwa meneguhkan jalan damai itu mesti dimulai dari kebeningan hati. Niat baik harus ditopang oleh langkah yang baik pula.

Sikap Sida Arif yang mengutamakan kebersamaan jazirah menempatkan kelasnya sebagai Kolano yang benar-benar malamo. Sida Arif seperti menjadi pelopor terbaik model kepemimpinan Tara No Ate (Turun dan Merangkul), ia memahami lekuk cara membangun sebuah peradaban harmoni di masa ketika Eropa masih terkapar dalam the dark ages (zaman kegelapan).

Sida yang arif adalah sosok negarawan sejati yang menyuguhkan kemakmuran negeri dari terapan politik damai. Bahwa massa rakyat sejahtera, dapat dimulai dari kepemimpinan yang meneguhkan sikap tenang, tak tegang apalagi saling bersitegang. (*)

Bagikan:

Rusly Saraha

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *