“Kita akan mungkin dan tetap melihat orang-orang asli (Maluku) sebagai pecundang abadi (the perennial loosers) di tanah mereka sendiri.” Roem Topatimasang (34:2016)

Ibarat tinju pemikiran Ibrahim Yakub (selanjutnya ditulis Kak Baim) hanya sekadar pemanasan, bahkan cenderung membosankan, ekspektasi penonton justru sebaliknya menunggu jap, uppercut, cross bahkan hook yang melayang dari arah tak terduga.

Sederhananya Kak Baim  mengurai persoalnya “Korporasi Tambang dan Warga yang Kehilangan Masa Depan” (terbit sebelumnya) semacam petarungan Mayweather vs Logan Paul yang menampilkan “pertempuran berpelukan” sepanjang ronde. Hambar dan memuakan.

Tulisan terkait: Korporasi Tambang dan Warga yang Kehilangan Masa Depan

Dari paragraf awal Kak Baim mengantarkan pembaca secara perlahan untuk melihat sumber daya alam perihal emas, perak, dan mutiara. Kak Baim pengabaikan “nikel” padahal menurut Stave Brown, “Adanya transisi ke Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti peningkatan permintaan kendaraan listrik dan pembangkit energi listrik baru terbarukan yang membutuhkan bahan baku nikel, dunia kini bergantung pada pasokan nikel Indonesia.”

Begitu pernyataan Stave ketika diwawancarai CNBC Indonesia. Bahkan CNBC Indonesia merilis data, Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai penyuplai nikel terbesar di dunia, dimana PT. Antam yang beroperasi di Maluku Utara menjadi korporasi sumber kuasa nikel di dunia.

Pada paragraf ke dua, Kak Baim hanya sekadar menegaskan pesimisme Friedman. Akan tetapi pada kalimat “mereka cenderung  tidak peduli apakah produksinya merugikan lingkungan, baik darat, laut, maupun udara”, di sini Kak Baim salah kapra dalam memposisikan lingkungan (enviroment).

Sebab dengan “merugikan lingkungan” secara inheren melibatkan “darat, laut maupun udara” karena lingkungan perlu dipandang secara holistik sebagaimana dikatakan Sonny Keraf dalam Filsafat Lingkungan Hidup (43:2014), yakni “lingkungan adalah sebuah ekosistem, alam semesta” itu sendiri. Sekali lagi “merugikan lingkungan” secara inheren melibatkan “darat, laut, maupun udara.”

Selanjutnya pada paragraf ke tiga, Kak Baim justru hanya mengulangi kalimat akhir pada paragraf ke dua, dengan memberi sedikit metafor, hal ini berakibat pada tulisan yang mengalami “obesitas.”

Dan pada paragraf ke empat tak jauh berbeda dengan paragraf ke tiga, yang mana lagi-lagi mengulangi apa yang sudah diurai dalam paragraf pertama bahkan terlihat mubazir, yaitu soal sumber daya alam. Sekadar memberi pengingat kepada pembaca perihal nasib “rempah-rempah”.

Pada paragraf ke lima, ia menjelaskan bagaimana kolonialisme memiliki sub sistem yaitu kapitalisme dalam hal ini “eksplorasi pertambangan” dengan merujuk pada fakta historis yang terjadi di Sumatera pada tahun 1842-1866 tanpa menjelaskan secara detail apa yang ia sebut “cara mainnya kolonial dengan eksplorasi geologi pertambangan.”

Pada momentum Pilpres 2019 kemarin, Tempo (edisi 14/02/19) menampilkan “Berita Utama; Lakon Tambang di Lingkaran Kandidat” Jokowi-Maaruf vs Prabowo Sandi seolah-olah menampilkan persaingan demokrasi elektoral agar terlihat kompetitif.

Tempo memberi perspektif berbeda dan mengurai bagaimana para korporasi dari kedua kompetitor justru ketemu di belakang layar (bisnis), bahkan sebelum terbentuknya kabinet “Indonesia Maju” publik secara kritis telah membayangkan “politik bergandengan tangan” yang terjadi hari ini sebagaimana yang digambarkan Kak Baim dalam paragraf enam sampai sembilan.

Usai dari paragraf sembilan, Kak Baim seolah “berayun” dalam uraian yang dilebeli “Warga yang Kehilangan Masa Depan”. Hal itu terbaca dengan jelas namun tidak memiliki kekuatan yang cukup representatif untuk menggambarkan persoalan (baca paragraf 10). Walaupun pada paragraf dua belas lagi-lagi Kak Baim tidak lagi melampirkan fakta emprik sebagai kekuatan argumetasinya.

Kita sampai pada akhir tulisan yang ditutupnya secara hambar, tidak ada yang menarik sebagaimana dikatakan di atas, hambar. Seolah mengharapkan belas kasih oleh negara lewat apa yang dia sebut kebijakan integratif dan memprioritaskan tenaga kerja lokal yang diistilahkan sebagai “SDM lokal” dan ditutup dengan kalimat yang sebenarnya seolah memaksa negara lebih jeli dalam melihat objek permasalahan, terutama soal pembangunan.

Oligark(i) dan altenatif, adalah dua poin yang paling sering disentil, walaupun tidak telalu mendalam sebatas riak-riak (gambaran paragraf sembilan) yang sebenarnya secara jelas tokoh yang disebutkan Kak Baim lebih nyaman menggunakan istilah “korporasi tambang” tanpa melacak secara akademis.

Padahal gambaran semacam itu Jeffrey A. Winters dalam tesisnya Oligarki (8:2011) mendefiniskan mereka sebagai pelaku yang menguasai dan mengendalikan besar kosentrasi sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meninggkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekskluifnya.

Mereka itu di antaranya Erick Thohir, Gribadi Thohir, dan Luhut Binsar Panjaitan bahkan Feri Musyidan Baldan (Ketua Umum PB HMI 1990-1992) dikatergorikan Tempo (Edisi 14/02/19) “Lakon Tambang.”

Jeffrey A. Winters (2011) kemudian membeberkan perpanjangan tangan dari para oligark yaitu oligarki, yang berfungsi sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material, bahkan Jeffrey menyatakan, “Stratifikasi material akstrem dalam masyarakat menimbulkan konfilik sosial. Distribusi material ekstrem itu mustahil tanpa ada penegasan, artinya klaim harta dan hak milik tak pernah bisa dipisahkan dari pemaksaan dan kekerasan (10:2011).”

Siklus korporasi tambang dan konflik sosial sekali lagi inheren, lantas apakah alternatif yang ditawarkan? Lewat paragfaf akhir merupakan gagasan solutif? Barangkali tidak sesederhana itu bastie! Reoem Topatimasang dalam penelitiannya Orang-Orang Kalah; Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (2016) memberikan kerangka dalam mengembalikan posisi tawar ekonomi, otonomi politik, dan identitas budaya mereka.

Pemulihan hak ulayat, pada konteks ini, Roem menekankan pentingnya pendidikan hukum tentang tanah tehadap masyarakat tempatan semacam “pengurusan sertifikat hak-milik, tata cara penyelesaian sengketa tanah, hukum acara peradilan tanah, bahkan penyususnan altenatif peraturan dan hukum atau counter-draf  legislation berdasarkan asas-asas hukum adat (31:2016).

Tawaran Roem semacam penginggat permasalahan yang menyangkut dengan korporasi “tambang” yang mana tanah selalu menjadi akar permasalahan konflik.

Tak berhenti sampai di sini, Roem juga menawarkan penguatan organisasi rakyat tempatan sebagai daya filter masyarakat tempatan dengan korporasi; “kaderisasi kepemimpnan lokal, sosalisasi demokrasi politik secara lokal, pengenalan konteks makro dalam skala lokal, pembentukan jaringan informasi, dan kesetiakawanan regional (32:2016).”

Pola-pola penguatan yang nantinya menjadi satu variabel kekuatan masyarakat tempatan. Yang terakhir yaitu pendidikan budaya asal. Pada bagian ini Roem menekankan penguatan dalam aspek teologis, kesadaran para pemimpin agama secara serius dan sistematik serta para pemimpin agama didorong lebih aktif dan progresif (34:2016).

Dari tawaran Roem (2016) yang mengafirmasi adanya konflik sosial pascakehadiran korporasi, laporannya Laksmi A Savitri “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” (2013) mempraktekan tawaran Roem di tanah Papua, masyarakat Makaling berhasil melawan korporasi.

Tanah bagi masyarakat Makaling tetap memegang teguh pesan-pesan tetua adat,  “Moyang belum pernah bilang bahwa besok kalau perusahaan besar datang kau serahkan tanah supaya kau hidup mewah begini-begini, tidak! Biar saya hidup sederhana.” (*)

Bagikan:

Firman M Arifin

Pegiat Literasi Independensia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *