
“Alam (bumi) tidak mati, ia sedang dibunuh, dan mereka yang membunuhnya memiliki nama dan alamat.” – Utha Philips
Kutipan kalimat tersebut menjadi sepenuhnya benar, bahwa alam, hutan sedang dibunuh. Lalu siapa yang membunuhnya? Ya, Negara. Melalui perusahaan-perusahaan yang dikehendakinya, kemudian proses itu disebut atas nama kebijakan pembangunan.

Tentu saja, pelaku atau pembunuh itu mencantumkan nama panjang dengan tempat tinggal yang diketahui khalayak luas, hingga tak sulit melacak di mana mereka berada.
Namun, bagaimana mereka bisa lolos dari jerat sanksi sampai nyaris tak disebut pembunuh alam? Tentu saja, mereka punya dalil ground economic (pembangunan ekonomi) dengan menggerakan berbagai perangkat diciptakan sebagai stimulus.
Sepertinya itu yang paling dirasakan dewasa ini, mereka juga gencar mengembuskan kampanye membual kesejahteraan, seolah itu memberi kesan kalau dengan membunuh alam manusia dapat menggenggam kesejahteraan.
Bayang-bayang palsu kesejahteraan itu terus menggema, mengiringi masifnya ekploitasi terhadap alam, sembari para pembunuh mendapatkan pengamanan super ketat dari penyelenggara negara.
Dudley Seers, seorang ekonom Inggris mengatakan, pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan menjadi lebih buruk meskipun pendapatan per kapita melambung tinggi.
Sedangkan Mohammad Hatta pernah berujar, memaknai perihal kedudukan negara dalam menjalankan amanat dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tahun 1945, bahwa; “Makna yang dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer lebih tepat jika kekuasaan negara terdapat pada sebuah peraturan yang melarang penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.”
Ungkapan Wakil Presiden Indonesia pertama itu bisa diartikan bahwa semangat cita-cita kemerdekaan adalah menolak segala macam bentuk kolonialisme, imprealisme, kapitalime termasuk oligarki.
Namun hal itu tidak berbanding lurus dengan Indonesia sekarang ini. Pemerintah lebih menunjukkan sikap persekutuan dengan pemodal. Dan secara terang-terangan mencetus Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja, sebagai sikap nyata kemesraan mereka.
Membunuh Hutan Atas Nama Ekonomi
Alih fungsi hutan dilakukan pemerintah tak lain merupakan upaya membunuhnya serta menyulap lahan-lahan di atas hutan menjadi usaha pertanian berskala besar (food estate), perkebunan monokultur (sawit), industri kayu, dan industri pertambangan, masif terlaksana.
Barangkali hutan tak sekadar dianggap sebagai hamparan tanah yang hanya didominasi pohon-pohon tegak di atas tanah, lebih daripada itu ia berperan besar sebagaimana keberlangsungan ekosistem sebagai kesatuan mutlak antarrelasi kehidupan yang tak dapat terpisahkan.
Namun, sudut pandang menjadi kontras, Ia, hutan tidak lebih dari beragam tumpukan sumber daya yang dapat dikalkulasi keuntungan ekonomi. Alhasil, kuasa pemerintah melalui keputusan politik menghendaki izin-izin industri pembabat hutan menumpuk di atasnya, lebih buruk tanahnya dikeruk, tapi masih saja disebut itu pembangunan ekonomi.
Rakyat Tergusur
Alih-alih pembangunan ekonomi untuk rakyat, padahal tak ubahnya kelangsungan rakyat ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Fakta menyadurkan izin-izin perusahaan seolah ganas menggerogoti hutan kemudian menjadi semena-mena merampas, sehingga rakyat yang hidup di pinggiran maupun di dalam hutan meratapi hilangnya ruang-ruang produksi yang mereka kelola dalam menyambung hidup.
Konflik-konflik sosial juga lumrah, menyusul ambruknya stuktur sosial, adat istiadat/kebudayaan yang telah dibangun lamanya, pun paling bobrok rakyat tempatan dihadiahi kualitas lingkungan hidup buruk juga condong mematikan. Mereka seolah diberi pilihan, bertahan menunggu kolaps atau pergi dengan penyesalan. (*)