Abad ke 21 adalah abadnya era informasi yang tersebar lewat televisi dan internet berkembang sedemikian pesat, kita mulai terseret dengan arus disinformasi atau hoax yang berupa ujaran kebencian dan provokasi yang beredar di media sosial.

Saat bersamaan bagaimana untuk menepis informasi hoax atau ujuran kebencian dan provokasi yang akan merusak keadaban sosial kita. Informasi yang benar dan salah menjadi campur aduk dan kian sulit terbendung untuk diverifikasi.

Hikmat Budiman dalam bukunya lubang hitam kebudayaan, mengemukakan bahwa dunia manusia sekarang ini adalah dunia yang penuh dengan huru hara, tetapi tanpa rasa haru (Budiman, 2002: 27).

Informasi di media sosial melimpah yang bertaut dengan percakapan politik di dunia maya seperti Facebook, Twitter dan Instagram, maupun layanan pesan-pesan instan di Whatsapp dan Telegram. Tanpa disadari kita lebih cenderung membagikan informasi yang lebih viral, ketimbang informasi yang berkualitas, inilah ke huru-hara-an.

Kasus hoax yang menghiasi bangsa kita yang paling kegaduhan bahkan mengundang berbagai reaksi spontan publik. Hoax yang mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet yang beredar di Facebook tanggal 2 Oktober-2018, konten terseut kemudian viral melalui Twitter, tanpa melakukan verifikasi kebenaranya.

Fenomena ini bahwa rasionalitas berupa nalar kritis yang merupakan ciri khas mentalitas ilmiah justru terhimpit. Mentalitas ilimiah berarti berpegang pada fakta dan data untuk verikasi informasi hoax dan ujaran pesan kebencian yang pemisahan kita dan mereka berbeda dalam politik.

Problem ini ditandai dengan kepentingan politik yang penuh kebohongan menyelimuti suasana bangsa Indonesia. Informasi datang silih berganti dari siapun orangnya untuk memulai diskusi politik di media sosial dalam hitungan meniti saja akan saling menyerang melalui budaya komentar dari berbagai kalangan.

Dengan sendirinya budaya komentar akan melahirkan arena untuk menyatakan pendapat dan sikap politik yang terkesan saling menghujat dan menebarkan kebencian antara sesama.Sikap saling menuduh semacam ini kiansemakin mengguat di media sosial.

Akibat persaingan perebutan pengaruh politik yang disalurkan melalui media sosial semakin masif dalam perebutan kekuasaan. Informasi politik yang beredar di media sosial dikemas sedemikian rupa untukmenjadi mesin propaganda politik yang melahirkan mobilisasi sosial.

Dampaknya ternyata luar biasa dan mampu mendorong slogan politik yang ditawarkan di publik. Pendek kata, luapan dis-informasi begitu melimpah dan murah yang menciptakan peluang sekaligus petaka.

Karena kebingungan yang menyiksa orang justru menjadi semakin sempit berpikir dan membenci keberagaman hidup. Dalam konteks ini, masyarakat mengalami kerentanan dalam mentalitas implikasi yang destruktif. Karena masyarakat itu mudah dipengaruhi dari pesan- pesan politik yang beredar di media sosial lalu di kelola oleh setiap orang terlibat dalam kepentingan kekuasaan.

Kita pun memasuki anomali atau krisis di media sosial yang distrupsi disinformasi dalam persoalan hakekat masyarakat dan kedirina kita. Distrupsi disinformasi terjadi dengan persoalan kebenaran, keadilan dan moralitas pun tak sederhana dahulu.

Segala hal mulai berubah dengan revolusi digital yang mengarahkan kehidupan dunia alamiah ke dunia internet. Dengan demikian, semua orang hari ini memiliki akses jejaring dan koneksi internet dibelahan dunia mana pun yang disebut kampung global pada kompleksitas masalah diera informasi ini semakin bias dan kaburyang tak lagi mengenal batas-batas sosial dalam keadaan ambigu.

Kita tak cukup mampu membedakan antara kebenaran dan kebohongan, atau antara fakta dan fiksi. Saya teringat Socrates, 470-399 SM, kalau ada orang datang membawa berita kepadamu, pertanyaan pertama yang mesti dimajukan adalah; Apakah berita yang kamu sampaikan itu sebuah kenyataan yang benar, ataukah fiktif.

Mungkin sekali seseorang akan menjawab bahwa berita itu benar adanya, bahkan disertai data dan fakta, ini bukan mengada-ada. Kalaupun yang disampaikan sebuah fakta, bukan hoax, Socrates masih bertanya: Andaikan aku tahu isi berita itu, kebaikan apa yang akan aku peroleh darinya? Jika tak ada kebaikan, sebaliknya, malah menambah beban dan menimbulkan keburukan pada diriku.

Setiap informasi hoax akan berdampak pada emosi sosial yang mengalahkan fakta dan rasionalitas dengan adu sentimental yang mempengaruhi kolektivitas sosial. Itulah mengapa semua informasi tidak bisa diterima begitu saja melainkan harus kesadaran   untuk tepis hoax. Maka setiap informasi harus difilter agar tidak merusak pikiran dan hati kita. Karena dengan cara seperti itu akan membendung gempuran hoax di media sosial.

Sehingga kita menyaring informasi yang benar akan berdampak manfaat kepada publik.Untuk membedakan itu harus identifikasi siapa pelaku penyebaran hoax dan setiap orang harus terbuka dengan sikap kritis menyikapi setiap informasi.

Agar tidak terjebak dengan kebohongan politik yang dimanipulasi sebagai kebenaran yang mengelabui pikiran publik. Gejala ini disebut pascakebenaran, atau postruk, sebuah istilah pada tahun 2016 oleh Oxford Dictionary dinobatkan sebagai word of the year.Istilah itu muncul seperti patahan dalam politik, tidak ada kondisi normal yang mewujudkan politik ideal.

Bahwa kegagalan itu sebagian besar terjadi karena kebenaran diremehkan sehingga mengabaikannya, istilah pasca-kebenaran melukiskan sebuah kondisi ketika kebenaran dianggap tak lagi penting dalam politik.

Dampak dari kondisi kebenaran dianggap tak lagi penting membuat semua orang ahli berpendapat apa saja. Suasana semacam ini membuat kondisi politik kita dewasa ini mulai merosot sampai pada etika dan moral publik. Untuk menanggapi fenomena ini harus literasi politik yang mencerahkan publik.

Mengapa kebenaran itu penting dalam diskrusus politik? kita harus bertolak dari tiga aspek kebenaran sebagaimana dianalisis oleh filsuf kontemporer, Jürgen Habermas, yakni kebenaran sebagai fakta, sebagai moralitas dan sebagai autentisitas. Tiga aspek kebenaran tersebut, yaitu kesesuaian antara pernyataan dengan fakta, ketepatannya dengan moralitas publik dan ketulusan orangnya. Berdasarkan tiga aspek kebenaran itu, kita lalu dapat memberikan argumen mengapa kebenaran itu penting dalam urusan politik. Alasan pertama adalah bahwa demokrasi itu sendiri mengandaikan kebenaran sebagai fakta.

Namun bagaimana kita memahami fakta dan opini di media sosial kita harus verifikasi lewat kebenaran faktual secara objektif dan rasionalitas. Tanpa itu kita sulit membedakan antara fakta dan opini, serta hoax dan realitas.

Politik pasca-kebenaran meremehkan perbedaan-perbedaan itu dan menyebarkan kebohongan sehingga masyarakat kebingunan dan mencari pegangan pada demagogi sang pembohong. Alasan kedua mengapa kebenaran itu penting bagi politik adalah kebebasan berpendapat yang melekat pada demokrasi sebagai ide moral. Jika kebebasaan kita diancam oleh kebebasaan orang lain. Maka terjadi konfilik antara satu dengan yang lain, sikap sentimental seperti ini akan merusak asas nilai-nilai demokrasi.

Demokrasi yang sehat selalu mengutamakan prinsip asas nilai persamaan hak dan kemanusiaan. Agar saling menghargai atas perbedaan dengan tindakan komunikasi yang bebas atas dasar kesetaraan publik. Sehingga dari berbagai pihak tidak salingmendominasi atau membenci pihak lain.

Saling menghargai persamaan hak dengan kebenaran moral yang memungkinkan kebebasan seorang dan juga kebebasan orang lain pula. Seperti keadilan dan hak-hak asasi manusia yang terlibat untuk mengatur kehidupan sosial.

Alasan ketiga terkait dengan hakikat demokrasi yang pada hakikatnya adalah komunikasi, dan tindakan komunikasi melalui dialog untuk membangun kepercayaan timbal balik. Tindakan komunikasi tersebut akan meletahkan kepercayaan adanya kebenaran sebagai ketulusan hati nurani dengan sikap terbuka dan integritas.

Sikap respect semacam ini akan timbal balik untuk mengelola suasana iklim kepercayaan publik. Kepercayaan publik harus diorientasikan pada emansipasi dan keterbukaan pemikiran terhadap kebenaran atas dasar fakta yang menjamin kewarasan masyarakat kita.

Namun jaminan itu, bila kita lengah dan membiarkan demokrasi dikooptasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang merusak tatanan kehidupan sosial. Cara politik yang membuat kebohongan lebih menarik dari pada kebenaran sangat berbahaya dalam kewarasan mental publik.

Kebenaran itu penting secara moral dan eksistensi, sekurangnya secara politik, untuk melatih diri kita menghargai fakta, moralitas, dan transparansi yang tidak terjebak dalam kemelutan konflik politik.

Disinilah kita semuasaling tukar pikiran yang menyangkut pelbagian persoalan untuk mencerahkan publik bahwa hoax dan ujaran kebencian di media sosial jangan mudah termakan. Namun harus dilawan dengan sikap kritis dan objektif yang menciptakan suasana kondusif dipublik yang bermutu. Karena ruang publik hanya tersedia bagi semua masyarakat dengan wacana masalah yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. (*)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *