Sejarah Maluku Utara adalah sejarah raja-raja dan rempah-rempah. Kalimat ini tentu tak berlebihan. Dalam banyak catatan, Maluku Utara adalah negeri yang diperebutkan bangsa-bangsa di dunia berabad-abad lalu.

M Adnan Amal, dalam buku Kepulauan Rempah-rempah, menulis tanaman rempah-rempah seperti cengkih memang disebutkan berasal dari Maluku Utara.

Tanaman ini mula-mula tumbuh liar di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta. Cengkih disebutnya baru dibudidayakan sekitar tahun 1450.

Hal itu yang membuat para pedagang dari Cina, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang ke daerah ini.

Bangsa-bangsa itu datang membawa tekstil, beras, perhiasan, dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan cengkih. Bahkan pemburu rempah-rempah dari Portugis, Spanyol, hingga Belanda, pernah membangun pusat dagang dunia di daerah ini.

Pamor cengkih kala itu sangat menjanjikan. Sekitar abad ke-15, harga 1 kilogram cengkih sama dengan harga 7 gram emas.

Selain sebagai titik rempah dunia, Maluku Utara juga dikenal sebagai negeri raja-raja. Ada sekitar lima kerajaan atau kesultanan yang sangat masyhur pada masanya, yakni Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, dan Loloda.

Mereka pula yang membuat cengkih di tanah ini begitu disegani. Rempah-rempah ini berhasil dibawa hingga ke pulau-pulau lain, bahkan sampai ke negeri terjauh. Sistem perdagangan memang sudah sangat maju kala itu. Kerja sama antarpulau–terbangun karena rempah dan dakwah.

Tapi aroma rempah itu kini seolah tak tercium lagi. Lahan cengkih di Maluku Utara sepertinya sebagian sudah terkonversi karena pembangunan.

Di Halmahera, ada banyak lahan yang berubah menjadi titik investasi pertambangan dan sawit, sementara di Ternate ada juga lahan yang terkonversi untuk proyek pembangunan lainnya.

Sebagai bukti, data Direktorat Jenderal Perkebunan, mencatat Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020, hanya memproduksi 5.101 ton cengkih.

Sementara tetangga, yakni Provinsi Maluku mampu memproduksi cengkih pada tahun 2020 sebanyak 20.499 ton, Sulawesi Selatan sebanyak 20.182 ton, dan
Sulawesi Tengah 18.102 ton.

Sejarah rempah yang besar itu entah kenapa tak terus berjalan mengikuti kemasyhuran yang kini tengah dikampanyekan kembali–dengan nada yang lebih percaya diri, bahwa negeri ini negeri rempah.

Kita sepertinya terlalu percaya diri, bernostalgia dengan masa lalu, tapi malah menjual semua lahan untuk investor dan mengubah lahan-lahannya untuk alasan pembangunan.

Padahal lahan-lahan tidur di negeri ini sebenarnya bisa menjadi lahan produktif untuk kepentingan perkebunan dan lainnya–yang lebih ekologis dan ekonomis tentunya. (*)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *